28 - JAZMINE

276 28 2
                                    


Jazmine memegang kertas yang menyatakan bahwa Richard Ackles, pria yang selama ini dibencinya setengah mati karena dianggapnya tidak bertanggung jawab dan yang telah menerima berbagai perlakuan tidak menyenangkan darinya, ternyata bukanlah ayah dari Brandon.

Berulang kali Jaz membaca hasil tes tersebut, berharap tulisan yang tertera paling bawah akan berganti. Namun tidak ada satu pun huruf atau kata yang berubah. Jaz tidak paham dengan segala angka yang tertulis pada kertas yang dipegangnya, tetapi mustahil tes DNA itu memberikan hasil yang keliru. Dia menelan ludah, mengetahui kesalahan fatal yang sudah dilakukannya kepada Richard. Jaz sadar, akan ada konsekuensi yang harus ditanggungnya atas sikap sembrono yang selama ini dia tumpahkan ke pria itu.

Menarik napas, Jaz menyodorkan kembali kertas yang terasa jauh lebih berat di tangannya ke Mina. "Jadi, sekarang apa yang bakal lo lakuin?"

Jaz mendapati Mina terdiam sesaat sebelum sahabatnya tersebut mengedikkan bahu. "Aku nggak punya pilihan selain ngebesarin Brandon sendirian. Selain itu ... aku nggak tahu."

"Lo nggak mau nyari siapa ayah Brandon? Mumpung dia masih bayi dan lo nggak harus nyembunyiin apa-apa dari dia. Bakal makin ribet kalau Brandon udah gede. Dia akan punya banyak pertanyaan, belum lagi kalau dia udah sekolah. Kids nowadays can be extremely cruel, Mina."

Dengan tegas, Mina menggeleng. "Nggak ada gunanya juga, Jaz. Aku harus nyari ke mana? Minta semua cowok yang ada di pesta itu buat tes DNA? Jelas nggak mungkin." Dia lantas menyandarkan punggungnya ke sofa, pandangannya menerawang jauh ke luar jendela apartemen yang menampilkan Jakarta dengan kekelaman malam. "Aku harus balik kerja dan siap-siap buat denger omongan miring banyak orang. Aku nggak tahu apakah bakal sanggup dengerin mereka ngasih label ke Brandon, tapi itu adalah konsekuensi yang harus aku tanggung. Aku akan jujur ke Brandon kalau dia nanya, aku nggak mau dia tumbuh dengan kepura-puraan."

"Mina, lo nggak sendirian. Lo masih punya gue."

Untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu malam itu, Mina tersenyum. "Aku tahu, Jaz. Tapi aku juga nggak bisa selamanya bergantung ke kamu, kan? You have your own life. Kamu akan punya suami, kehidupan rumah tangga sendiri, sibuk dengan keluarga, rasanya nggak adil misalkan kamu masih harus mikirin aku dan Brandon."

Mendengar itu, Jaz berdecak. "Lo tahu kan persahabatan kita ini udah kayak keluarga, jadi nggak ada yang namanya gue bakal lupain lo kalau nanti gue udah nikah. That's nonsense! Gue bakal selalu ada buat lo, nggak peduli gue udah nikah atau belum."

"How's Daniel?"

Mulut Jaz sudah terbuka untuk melontarkan protes karena percakapan mereka tentang Mina dan Brandon belum selesai, tetapi sahabatnya itu justru mengalihkan pembicaraan. Mulut Jaz kembali terkatup.

"Dia tadi yang nganterin gue ke sini, terus balik. Dia nggak mau gue nyetir malem-malem sendirian, apalagi dalam kondisi pikiran kalut begini."

"Dan itu nggak jawab pertanyaanku tentang Daniel," sahut Mina cepat.

"Dia baru nembak gue, jadi kami baru aja resmi pacaran." Tawa kecil Jaz terdengar sembari dia menggeleng, seolah geli dengan status yang baru diceritakannya kepada Mina. "Dia cowok paling sopan yang pernah gue pacarin, Mina. Attitude-nya juara."

"Biasanya kamu nggak doyan tipe cowok begitu karena kurang greget."

"I know! I told him that as well," balas Jaz dengan penuh semangat. "Tapi gue enjoy ngabisin waktu bareng dia, Mina. Tadi gue juga bilang, gue lebih nggak rela cowok kayak Daniel pacaran sama cewek yang ngincer duit sama statusnya doang. Mending sama gue yang nggak manfaatin dia buat apa pun. Seenggaknya dia tahu gue bukan cewek matre."

Mina tertawa. "Kalau memang dia bikin kamu seneng, aku juga pasti ikutan seneng, Jaz. Apalagi dia ganteng banget, pasti yang ngincer banyak."

Untuk satu hal itu, Jaz tidak punya keberatan. "Mungkin kedengeran klise, tapi jujur, gue suka sama Daniel karena sikapnya. Cowok kayak dia langka. Gue bahkan nggak akan percaya kalau nggak ngalamin sendiri. He's one in a ... trillion. Muka dia yang enak dipandang itu bonus."

"Siap-siap aja, Jaz. Aku yakin banyak yang bakal coba rebut Daniel dari kamu."

"Gue juga udah siap kok buat ngadepin cewek-cewek kegatelan yang nggak punya kerjaan selain gangguin laki orang."

Mereka berbagi tawa sebelum Mina mencondongkan badannya dan menatap Jaz dengan serius. "Terus gimana dengan Richard?"

Pertanyaan Mina yang tiba-tiba beralih dari Daniel ke Richard cukup mengagetkan Jaz. Namun dia sadar, cepat atau lambat, nama pria itu akan muncul di antara mereka. Sejujurnya, Jaz belum siap membicarakan ini, tetapi karena sahabatnya justru membuka obrolan tentang Richard, Jaz tidak punya pilihan.

"Gue rasa dia pasti bakal pesta semalam suntuk buat ngerayain statusnya yang ternyata bukan ayah Brandon."

"Aku nggak peduli Richard mau ngapain, Jaz. Yang mau aku tahu, gimana sikap kamu ke dia setelah ini? Aku tahu kamu benci banget sama dia karena seperti aku, kita juga beranggapan dia adalah ayah Brandon. Tapi kita berdua terbukti salah. Aku nggak keberatan minta maaf langsung ke Richard—bahkan itu udah aku pikiran begitu tahu hasilnya—tapi kamu sendiri gimana? Kamu nggak lagi punya alasan buat benci ke dia, kan?"

Mulut Jaz serasa diberi lem yang sangat kuat hingga dia tidak mampu berkutik. Pertanyaan Mina sangat to the point. Jaz harus mengambil sikap dengan cepat sebelum berita ini sampai ke media. Apalagi dirinya dan Richard terlibat dalam Revulsion. Jaz diburu waktu sementara dia masih kebingungan menentukan langkah selanjutnya.

"Mau nggak mau, gue harus minta maaf ke dia meski bayangin muka dia pas gue ngelakuin itu udah bikin muntah." Rasa tidak suka Jaz jelas masih dengan gamblang terpampang dari eskpresi wajahnya. "Tapi sebagai cewek yang bukan anak kecil lagi, gue harus bertanggung jawab atas semua sikap gue ke dia. Gue nggak mau dia berpikiran gue takut atau nggak mau nelen ego gue sendiri. Nggak bakal gampang, tapi ya gue harus."

Mina sepertinya cukup senang mendengar rencana Jaz karena detik berikutnya, dia mengelus lutut Jaz. "I'd love for you to do that," ucap Mina. "Siapa tahu kalian malah bisa cocok jadi temen. Aku yakin, banyak sikap baik Richard yang nggak kamu perhatiin karena tertutup rasa nggak suka kamu. Saatnya buat kenal dia, Jaz. Apalagi kalian akan main film bareng, jadi pemeran utama pula."

"Lo nggak berpikiran gue bakal tertarik ke dia kan, Mina?" tanya Jaz menyelidik sambil memandang sahabatnya dengan pandangan dipenuhi curiga. "Karena lo bakal kecewa. Richard bukan tipe gue, itu satu. Kedua, gue muak banget liat muka dia yang sok kegantengan itu. Ketiga, nggak ada satu pun sikap dia yang cocok di gue. Yang ada, kami gontok-gontokan tiap saat kalau pacaran." Jaz menggeleng cepat. "Duh, amit-amit! Jangan sampai, deh. Pengen muntah gue bayanginnya."

"Jaz, aku bukannya mau jadi setan yang bujukin kamu sama Richard, tapi Daniel juga bukan tipe kamu, kan? Nyatanya kalian sekarang resmi pacaran. Never say never, Jaz. Kamu nggak tahu jalan hidup kamu sama siapa nanti. Aku seneng kamu jalan sama Daniel, tapi kalau suatu hari nanti, kamu jalan sama Richard pun, aku akan tetep dukung."

"Bisa nggak kita berhenti ngomongin dia? Nggak ada faedahnya. Yang ada lo malah bikin gue makin ilfeel sama dia."

Tawa Mina bergema di ruang tamu apartemennya. "Aku ngecek Brandon dulu, ya? Biasanya dia suka banyak gerak jam-jam segini."

"Udah sana. Gue tungguin bentar, abis itu gue balik."

Begitu Mina beranjak dari hadapannya dan masuk ke kamar, Jaz ikutan bangkit. Dia mendekati jendela kaca yang memamerkan bintik-bintik lampu yang menghiasi Jakarta sementara pikirannya dipenuhi berbagai cara yang mungkin dilakukannya untuk meminta maaf ke Richard.

Jaz mendapatkan pelajaran yang sangat mahal dari peristiwa ini dan dia yakin, sampai kapan pun, waktu tidak akan membiarkannya lupa begitu saja.

Membuang napasnya, Jaz membuka kunci ponselnya dan mencari nama Anggi. Setelah menemukannya, dia langsung menghubungi asistennya tersebut. Begitu suara Anggi terdengar, Jaz langsung mengutarakan maksudnya menghubungi asistennya selarut ini.

"Nggi, sorry gue telepon lo jam segini, tapi kita perlu ketemuan besok. Di rumah gue aja, karena yang bakal gue ceritain ke lo sifatnya confidential."

REVULSIONWhere stories live. Discover now