39 - WHEN BETH MEETS JAZ

222 25 1
                                    


Sejak meninggalkan vila, Richard tidak sekali pun berusaha menahan senyum menyaksikan Beth membawa satu buket bunga ke acara makan malam mereka bersama Jaz. Adiknya terlihat jauh lebih ceria dibanding ketika pertama kali datang ke Bali dan itu membuat Richard sedikit lega tiap kali harus berangkat syuting.

"They're here," bisik Richard begitu melihat sosok Jaz yang datang bersama Daniel.

Richard tentu tidak keberatan ketika Jaz mengatakan dia harus mengajak Daniel, karena dia pun datang bersama Beth. Meski bagi sebagian besar orang pasti menduga mereka tampak seperti sedang double date, Richard merasa lega ada Beth di sampingnya. Dia sadar canggung pasti akan menyerang jika hanya bertiga.

Dengan cekatan, dia dan Beth bangkit dari kursi yang mereka duduki untuk menyambut Jaz dan Daniel.

"Udah lama nunggu?" tanya Jaz begitu dirinya dan Daniel sudah berada di depan Beth dan Richard.

"Nggak, kami barusan sampai juga," bohongnya.

Dalam waktu singkat, Richard memperkenalkan Beth kepada Jaz dan Daniel, sementara Jaz memperkenalkan Daniel kepada Richard dan Beth. Senyum Richard mengembang lebar ketika Beth memberikan buket bunga kepada Jaz.

"Gue udah bilang kan sebelumnya?" Pertanyaan Richard itu jelas ditujukan ke Jaz.

"Beth, lo nggak perlu repot-repot begini."

"Udah jadi tradisi," balas Beth. "And I love doing it."

"Ada yang bisa jelaskan?" tanya Daniel yang tampak bingung melihat Jaz mendapatkan buket bunga dari Beth.

"Mungkin kita bisa duduk dulu?" usul Richard yang lantas ditanggapi ketiganya dengan duduk di kursi masing-masing.

"Aku selalu ngasih bunga ke temen-temen Richard yang donasi ke You'll Get Better," terang Beth, menjawab pertanyaan Daniel yang belum sempat ditanggapi Richard. "Itu organisasi non-profit untuk penderita kanker. Our mother passed away because of ovarian cancer."

"Buat gue sama Beth, organisasi itu penting karena Mama kami dulu suka donasi dan cukup aktif di sana setelah didiagnosis. Setelah beliau nggak ada, kami pengen ngelanjutin apa yang Mama mulai," lanjut Richard. "Dan entah kapan mulainya, Beth kemudian selalu ngasih bunga ke temen-temen gue yang donasi ke sana, itu juga kalau dia tahu. Just like what Jaz did."

"Aku cuma mau kasih apresiasi karena itu berarti banget buat kami."

"Kalau kalian nggak keberatan, mungkin perusahaanku bisa mengadakan fundraiser untuk You'll Get Better. Kami selalu mencari organisasi serupa tiap tahunnya untuk acara annual fundraising di perusahaan."

Beth dan Richard saling bertukar pandang sebelum Beth mengangguk. "That will be great. I believe the organization will be delighted."

"Let's have dinner first. I believe we are all hungry."

Kalimat Daniel tersebut langsung diamini Richard, Jaz, dan Beth dengan menjelajahi menu yang sudah diberikan kepada mereka.

Jaz sesekali melirik Richard yang tepat duduk di depannya yang tampak begitu dekat dengan Beth. Ketika ajakan makan malam ini datang, Jaz tidak langsung mengiyakannya. Begitu dia menceritakannya kepada Daniel, pria itu justru langsung meminta Jaz untuk menyetujuinya, seolah pertengkaran mereka di mobil mengenai Richard beberapa hari lalu tidak terjadi. Sekalipun lega karena Daniel ada di sampingnya, Jaz tetap berusaha tidak menunjukkan perhatian lebih atau menguasai obrolan hanya dengan melibatkan Richard. Sejauh ini, usahanya berhasil.

"Beth kerja di mana?" tanya Daniel begitu pramusaji meninggalkan meja mereka setelah mencatat pesanan.

"Aku kerja di Manor & Partners."

"That's a very good company."

Beth tampak bangga dengan pujian yang dilontarkan Daniel tersebut karena Richard menangkap senyum adiknya."The current goal is to be relocated to their headquarter. Hopefully next year."

"I believe it's in New York, isn't it?"

"Lo bener, Daniel, dan Beth selalu ingin berkantor di New York. Gue nggak tahu kenapa," sela Richard. "Dan ninggalin gue sendirian di sini. Emang tega banget adik gue satu-satunya in—Aww! Sakit, Beth!" keluh Richard dibuat-buat ketika lengannya dicubit adiknya.

"Rick memang suka melebih-lebihkan," tambah Beth. "Kerja di New York akan lebih banyak punya tantangan meskipun aku juga lumayan sering ke sana untuk urusan kerja. Tapi tinggal di sana pasti punya dinamika yang berbeda."

"Rick?" Kali ini giliran Jaz yang tampak kaget dengan sebutan itu. Pandangannya langsung beralih ke Richard. "Apakah itu panggilan khusus kalian, atau?" tanya Jaz.

"Aku kadang panggil dia dengan sebutan itu—kecuali kalau lagi kesel banget, maka aku manggil nama lengkapnya—tapi selama ini, dia paling nggak suka dipanggil Rick, kecuali dia memang deket banget dengan orang itu."

"Richard is better, because that's my name," tukas Richard cepat.

Dengan santai, Jaz menyilangkan kedua lengannya di atas meja sambil mencondongkan tubuhnya. "Apakah gue bisa manggil lo Rick?" goda Jaz.

Sekalipun tahu maksud perempuan yang tampil tanpa cela dengan gaun terusan berwarna hijau muda tersebut adalah menggodanya, Richard justru dengan serius memandang Jaz begitu dia menyandarkan punggungnya.

"Tergantung apakah lo bisa gue percaya apa nggak. Gue cuma kasih izin sedikit banget orang buat manggil gue dengan Rick."

"Well, asal lo tahu, Richard. Gue punya banyak sekali waktu."

Richard lantas mendapatkan sodokan pelan dari Beth, seolah adiknya tahu bahwa semakin lama dia meladeni ucapan Jaz, maka semakin canggung suasana di meja tersebut. Hal itu juga mengingatkan Richard bahwa ada orang lain di sekeliling mereka. Richard berdeham pelan sekalipun pandangannya masih belum beranjak dari Jaz. Tatapan Richard kemudian beralih ke Daniel, berusaha membaca ekspresi pasangan Jaz tersebut. Namun dia tidak bisa menganalisis raut muka Daniel.

"Jadi, dalam rangka apa Beth ke sini?" tanya Daniel.

"Cuma liburan sebentar, mumpung Rick ada di sini. Kami susah cari waktu untuk liburan berdua."

"Dia yang jauh lebih susah cari waktu buat cuti," sahut Richard sambil menunjuk Beth. "Kalau gue kan jauh lebih fleksibel." Richard benar-benar berusaha keras tidak mengarahkan pandangannya ke Jaz, tapi dia tidak bisa mengekang reaksi tubuhnya.

"I believe you, Richard," balas Daniel. "Kerja di perusahaan sebesar Manor & Partners memang susah cari waktu luang." Pria itu lantas mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. Sebuah kartu nama diulurkan Daniel ke Beth. "Kalau kamu perlu apa-apa di New York, let me know. Meski sudah nggak terlalu sering ke sana untuk urusan kerja, aku tahu orang yang bisa kasih kamu last minute ticket ke New York City Ballet. Atau tempat duduk di Broadway dengan kursi terbaik."

Menerima kartu nama itu, Beth mengangguk dengan senyum di wajah. "Thanks so much. I appreciate it."

"Gue izin ke toilet dulu, ya?"

Tanpa menunggu persetujuan dari mereka yang ada di meja, Richard dengan segera bangkit dari kursi dan berjalan menuju kamar mandi. Dia perlu menenangkan diri karena ada perasaan yang sebelumnya absen dan tidak dia kenal mulai merambati.

Begitu sampai di toilet, dia langsung menuju wastafel. Dia menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan.

"Get a grip, Richard," ucapnya pelan pada bayangannya di cermin. "Dia udah punya pasangan, dan lo nggak mau bikin situasi syuting jadi lebih canggung. Dan ini bukan perasaan suka. Sekali lagi, ini bukan perasaan kayak gitu. Lo cuma kebawa peran Brian."

Selepas mengucapkan kalimat pengingat itu, Richard menyalakan keran untuk membasuh tangannya. Dia sama sekali tidak ingin perasaan aneh yang mulai melilitnya menjadi semakin kencang.

"Dia udah sama Daniel, Richard Ackles. Ingat itu."

Richard mengangguk, seolah dengan kalimat pendek yang diucapkannya sendiri itu mampu menormalkan lagi detak jantungnya. Setelah yakin dia tidak bisa lama-lama meninggalkan Beth, Richard meraih tisu untuk mengeringkan tangannya yang basah sebelum membalikkan tubuh untuk kembali bersama Beth, Daniel, dan Jaz. 

REVULSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang