29 - THE READING

268 28 4
                                    


Di antara suka yang menghinggapinya setelah hasil tes DNA menyatakan dia bukanlah ayah dari bayi Mina, ada kecemasan yang menghinggapi Richard selama beberapa minggu. Ketakutannya hanya satu: media mencium berita itu dan dia harus dihadapkan pada rentetan pertanyaan yang tidak berkesudahan. Namun Richard bisa bernapas lega karena kekhawatirannya tidak terbukti.

Richard pun kemudian bisa fokus dengan Revulsion karena hari proses pra-produksi semakin dekat. Selain itu, orang-orang terdekatnya juga tidak lagi menyinggung tentang Mina yang membuat Richard bersyukur. Dia bersiap menutup persoalan dengan Mina dan melanjutkan hidup.

Jadwal utama Richard hari ini adalah reading untuk Revulsion, yang berarti akan menjadi pertemuan pertamanya dengan Jaz setelah mereka beargumen di depan Priya. Sejujurnya Richard tidak bisa menebak akan seperti apa perjumpaan mereka kali ini mengingat dirinya yakin, Jaz pasti tahu mengenai hasil tes DNA dari Mina.

Sesampainya di hotel tempat mereka akan melakukan reading, Richard dengan ramah menyapa beberapa kru serta aktor dan aktris lain yang akan mendukung aktingnya dan Jaz. Satu hal yang sangat disukai Richard dari proses pembuatan film adalah bertemu dengan banyak orang dan belajar hal baru.

Sesaat setelah dia menyeruput kopi di tangannya, pandangannya terpaku pada Jaz yang diantar seorang pria. Richard mengerutkan kening, berusaha mengingat di mana dia pernah melihat pria tersebut. Namun perhatiannya segera teralihkan ketika dia mendapati pria itu mendaratkan kecupan di pipi Jaz, yang dibalas dengan sebuah senyum. Dengan segera, Richard menekuri kembali naskah di tangannya supaya Jaz tidak memergokinya. Hanya saja, dari ujung matanya, dia mampu mendeteksi langkah perempuan itu yang berjalan semakin dekat.

"Can we talk?"

Dari sekian banyak kalimat yang direncanakan Jaz untuk diungkapkannya ke Richard Ackles, dia memutuskan untuk tidak berbasa-basi. Meskipun jantungnya berdegup lebih kencang, Jaz menghampiri Richard yang sedang bersandar ke tembok sembari memegang naskah di tangan kanan dan kopi di tangan kiri. Jaz pun sudah menyiapkan diri jika respon pria itu tidak menyenangkan. Dia sudah berbesar hati dengan menerima apa pun reaksi dari Richard.

"Soal apa?" jawab pria itu tanpa mengalihkan perhatian dari naskah yang dia tekuri.

"Lo nggak usah pura-pura nggak tahu." Menyadari intonasinya masih bernada menuduh, Jaz menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. "Lo tahu soal apa."

"Gue rasa nggak ada yang perlu kita omongin."

Jaz benar-benar tidak ingin mengaktualisasikan ide yang baru saja melintas dalam pikirannya, tetapi reaksi Richard yang masih belum mengangkat wajah untuk memandangnya, membuat Jaz sedikit meradang. Dengan cepat, dia menyambar naskah yang dipegang Richard hingga membuat pria itu tidak memiliki pilihan selain memandangnya.

"Lo nggak usah bikin gue emosi, ya? Gue punya niat baik sama lo."

Seolah ucapannya tidak berarti, pria di depannya justru menyeruput kopinya sebelum berjalan meninggalkan Jaz. Mulut Jaz menganga, tidak memercayai sikap Richard yang pergi begitu saja. Sedetik kemudian, pria itu menghampiri Jaz—ternyata Richard hanya membuang tempat kopi yang sudah tandas ke tempat sampah—dan kali ini, benar-benar menatap Jaz dengan lekat.

"Silakan kalau lo mau nyampein niat baik lo. Gue siap dengerin."

Mungkin Jaz hanya membohongi dirinya sendiri dengan mengatakan tidak akan terpancing dengan tanggapan yang diberikan Richard. Saat ini, dia ingin sekali menumpahkan kekesalannya pada pria yang sekali lagi justru membuat setiap tombol emosi dalam dirinya bereaksi. Bahkan kalimat tersebut terdengar meremehkan.

"Lo bisa nggak sih bersikap layaknya cowok normal yang menghargai cewek?"

Pertanyaan itu sukses membuat ekspresi Richard berubah. Dia sebenarnya tidak ingin meladeni pancingan Jaz karena ingin memegang teguh ucapannya tentang melanjutkan hidup. Hanya saja, perempuan di depannya ini seperti punya magnet yang kuat untuk menarik keluar rasa tidak suka yang dimilikinya.

Dengan langkah pelan, Richard memotong jarak di antara mereka. "Dengan senang hati gue bisa nunjukkin ke lo betapa normalnya gue karena lo minta. You'll be surprised to know." Dia memandang tubuh Jaz dari ujung kepala hingga ujung kaki sebelum kembali menatap sepasang mata cokelat itu. "Tapi gue bukan cowok yang suka ngerayu cewek orang karena gue pria yang tahu batasan." Richard mendekatkan bibirnya ke telinga Jaz, memastikan perempuan itu mendengar setiap suku kata kalimat yang akan diucapkannya. "Dan asal lo tahu, hidup gue udah damai karena tuduhan yang selama ini lo sebarin ke semua orang ternyata salah." Richard mengeluarkan tawa kecil. "Tapi apakah gue koar-koar ke media betapa salahnya lo?" Dia menggeleng pelan sekalipun Jaz tidak bisa melihatnya. "Karena gue nggak punya penyakit hati kayak lo. Lo mau minta maaf karena udah berusaha hancurin karir gue? Mending lo minta maaf ke semua orang yang udah lo giring buat benci sama gue." Mengeraskan rahang, Richard mengucapkan sesuatu yang selama ini dipendamnya dalam-dalam. "I don't need to forgive you or forget what you have done to me to move on. I can do without both."

Setelah mengucapkannya, tangan Richard dengan cekatan mengambil kembali naskah yang tadi direbut Jaz sebelum meninggalkan perempuan itu di lorong hotel. Dia serius dengan ucapannya karena bagi Richard, pembuktian bahwa dia tidak meniduri dan menghamili Mina sudah lebih dari cukup.

Kedua kaki Jaz terpancang pada karpet karena suara Richard berhasil mempercepat detak jantungnya. Belum lagi, hidungnya berontak dengan menikmati aroma pinus bercampur lemon yang menguar dari tubuh pria itu. Semua kalimat yang sudah direncanakan Jaz—bahkan sempat dilatihnya bersama Anggi—luluh seketika karena otaknya dikacaukan oleh keberadaan Richard yang sangat dekat.

Jaz menggeleng keras, mengusir kemungkinan dirinya jatuh ke dalam pesona Richard Ackles. Dia menarik napas panjang untuk menetralkan emosi yang menguasainya saat ini sebelum meraih ponsel dari dalam tasnya. Dia langsung menghubungi Anggi.

"Kenapa, Jaz?"

"Kayaknya kita harus mulai nyusun surat permintaan maaf terbuka yang sempet lo usulin kemaren itu."

"Hah? Kok tiba-tiba nyinggung soal itu lagi? Bukannya kamu lebih suka ngomong langsung sama Richard?"

Jaz mendengus pelan. "Ternyata ngomong langsung sama dia nggak semudah yang gue bayangin, Nggi. Gue rasa itu satu-satunya cara paling masuk akal buat gue minta maaf. Sekalian ngasih tahu ke semua orang bahwa selama ini gue salah."

"Kamu yakin, Jaz? Efeknya bisa panjang dan ngikutin karir kamu, lho."

Jaz mengangguk paham. "Gue ngerti, tapi dengan begitu, gue juga bakal ngasih kesan kalau gue bertanggung jawab atas tindakan gue. Lo siapin aja poin-poin yang kira-kira perlu gue tulis nantinya, dan juga siapin kemungkinan media bakal ngejar gue abis-abisan."

"Perlu kita ketemuan abis kamu reading?"

"Gue mau balik ke rumah, Nggi. Nenangin diri bentar. Ntar kalau udah kelar gue telepon lo, deh."

"Oke. Good luck buat reading-nya."

"Thanks, Nggi."

Begitu panggilan berakhir, Jaz masih belum beranjak dari tempatnya berdiri. Dia perlu menyimpan semua kekesalannya pada Richard selama reading berlangsung. Jika pria itu bisa bersikap profesional, dia pun bisa melakukannya.

Dengan satu tarikan napas, Jaz membalikkan tubuhnya untuk masuk ke auditorium yang sudah disiapkan untuk memulai perannya sebagai Claudia. 

REVULSIONWhere stories live. Discover now