5 - RICHARD

396 32 0
                                    


Pandangan Richard terpaku pada satu baris dialog yang cukup panjang sementara otaknya masih berusaha membujuk agar dia memilih adegan lain yang jauh lebih sederhana. Namun keputusan Richard memilih adegan yang menantang tidak bisa ditawar. Dia perlu menunjukkan kemampuan yang selama ini tersembunyi di balik adegan laga dan aksi.

Setelah berdiskusi dengan Ruri, pendapat Richard mengenai Revulsion bergeser. Jika awalnya dia tidak terlalu tertarik dengan naskah yang diberikan, setelah membacanya tiga kali, Richard mulai bisa membentuk karakter Brian dalam pikirannya, termasuk menciptakan back story, sesuatu yang jarang dilakukannya. Richard pun mulai yakin, Revulsion jauh dari kesan film rom-com yang selama ini berusaha dia hindari karena stereotipe yang tela terbenam dalam benaknya.

Mulutnya berkomat-kamit melafalkan baris demi baris sembari memilih intonasi yang pas dengan adegan yang dipilihnya. Dia tidak ingin terlihat berlebihan. Satu hal yang dipelajarinya ketika sempat mengambil kursus akting di New York adalah kemampuan menghafal dialog sehingga kalimat tersebut terdengar natural, dan tidak dibuat-buat. Richard bahkan ingat dengan salah satu kritikus film yang memberikan ulasan tentang film pertamanya. Kritikus tersebut memuji akting Richard yang sangat natural sekalipun hanya sebagai pemeran pembantu. Sejak saat itu, Richard selalu mengucapkan dialog berkali-kali sampai mulutnya berbusa–literally–setiap kali mendapatkan satu project.

Richard berusaha menyingkirkan semua hal dan ketakutan yang mengejarnya. Selain dari Ruri, dia mendapatkan informasi valid bahwa Randy dan Primo memang akan ikut audisi. Hal itu cukup meresahkannya, tetapi Ruri bersikeras mengatakan bahwa mereka punya kesempatan yang sama.

Menarik napas dalam, Richard lantas mencoba beberapa variasi intonasi sebelum membaca seluruh dialog. Dia berdecak, mengetahui usaha pertamanya masih sangat kaku dan dibuat-buat. Richard mencoba lagi sebelum pintunya diketuk. Dia diam sebentar, masih tenggelam dalam suasana hati Brian, sebelum sadar ketukan itu masih belum berhenti. Tanpa meletakkan naskah di tangannya, Richard menghampiri pintu apartemen dan membukanya.

"Ruri! Gue lagi latihan!" serunya saat melihat asistennya berdiri di balik pintu.

"Gue udah berbaik hati mencegah supaya lo nggak mati kelaparan, tauk!" Ruri melenggang masuk menenteng dua tas tanpa mengindahkan Richard.

Bola mata Richard berputar menyadari Ruri bersikap berlebihan seperti biasa. Selepas menutup pintu, dia membalikkan badan dan menyaksikan Ruri sudah mengeluarkan seluruh isi tas yang dibawanya ke atas meja yang ada di ruang tamu. Dengan gontai, Richard menghampiri asistennya.

"Lo kan bisa ngabarin dulu."

"Kayak lo bakal baca message gue aja," sahut Ruri ringan sebelum menggigit nugget ayam dengan nikmat. Richard bergidik yang tentu saja diabaikan Ruri.

"Lama-lama gue pecat juga lo jadi asisten gue," ujar Richard seraya membuka tutup wadah makanan berisi buah-buahan yang sudah dipotong. Dia langsung melahap satu potong semangka sebelum duduk di seberang Ruri.

Ruri menggeleng. "Lo nggak bakalan bisa. Lo sama gue udah sepaket, kecuali gue mati duluan, nah, lo boleh cari asisten baru."

"Not funny, Ru," tukas Richard cepat sambil memasukkan satu potong nanas. "Iya, lo nggak akan pernah bisa gue pecat. Puas?"

Senyum lebar Ruri cukup untuk membuat Richard menggeleng heran. "Lo udah mutusin mau ambil scene yang mana?"

Richard mengangguk. Dia lantas menyodorkan naskah yang sudah ditandainya kepada Ruri. Begitu menerimanya, Ruri hanya mengangguk pelan mengetahui bagian yang dipilih Richard.

"Pilihan yang oke menurut gue." Ruri menyerahkan kembali naskah itu. "Gimana perasaan lo sekarang?"

Dengan santai, Richard meluruskan kaki sembari memandang langit Jakarta yang tampak sedikit mendung melalui dinding kaca apartemen yang hanya digunakannya ketika ingin menyendiri. Tidak ada yang tahu lokasi apartemen ini kecuali Ruri. Di bisnis hiburan seperti yang dijalaninya, sangat penting memilah dengan siapa dia membagi rahasia dan perasaannya.

Sejak memutuskan terjun menjadi model, Richard sudah menyiapkan diri dengan kemungkinan bahwa orang yang bisa dia percaya akan berkurang drastis. Beruntung dia bertemu Ruri yang sangat tahu dan paham tentang dirinya, di luar kehebatannya menangani karir Richard.

"Sejujurnya, gue tetep nggak yakin, Ru," jawab Richard pelan. "Gue nggak tahu berapa banyak yang akan ikutan audisi. Gimana misalkan mereka mutusin buat hire aktor pendatang baru? Gimana kalau gue dianggep nggak punya sensitivitas yang diperlukan buat meranin Brian? Giman—Aduh!" serunya. "What was that for?"

Richard mengelus pelipisnya yang baru saja dijadikan sasaran Ruri untuk melempar satu nugget yang masih utuh. Sementara dia masih menunggu jawaban Ruri, asisten merangkap orang kepercayaannya itu masih mengunyah entah nugget yang ke berapa.

"Gue rasa, lo cuma nyari alesan." Ruri menegakkan tubuhnya selepas mengusap tangannya yang penuh minyak ke paper napkin. "Bukan baru kali ini lo mikir kayak gitu. Tiap kali mau mulai project baru, lo pasti kayak gini. Gue mulai yakin ini adalah cara lo buat menyabotase kemampuan lo sendiri."

Richard mengerutkan kening. "Maksud lo?"

"Ya cara lo buat ngasih tahu diri sendiri kalau kemampuan lo selama ini ketutup sama aksi karena keseringan main film action. Lo nge-typecast diri lo sendiri. Padahal gue percaya, kalau bisa dapet peran ini, filmography lo ke depan bakal beragam, jadi lo nggak melulu bakal ditawarin film aksi aja. Kecuali lo mau ambil rute kayak Vin Diesel yang selama ini cuma berkutat di komedi dan aksi."

Satu yang dikagumi Richard dari Ruri adalah kemampuan perempuan itu mengutarakan pendapat yang serius dengan mudah. Seolah otaknya sudah menyiapkannya jauh-jauh hari berbagai jenis tanggapan, hanya tinggal menunggu saat yang tepat untuk ditumpahkan.

Richard merenungkan opini Ruri tersebut. Dia jelas tidak pernah secara khusus mendedikasikan waktu untuk memikirkan apa yang baru saja didengarnya. Asal dia cocok dengan dengan script-nya, tidak ada pertimbangan lain yang dia perlukan untuk mengambil peran. Richard pun merasa beruntung karena selama ini, semua film yang dia bintangi tidak pernah mendapatkan ulasan jelek sampai karirnya terancam.

"Gue nggak maulah kayak Vin Diesel. Gue mau kayak Christian Bale, yang filmography-nya beragam. Cuma gue juga sadar, kemampuan gue masih jauh buat sampai ke level dia."

"Jadi, apa yang bikin lo pengen menyabotase diri lo sendiri kali ini? Misalkan lo nggak dapet peran Brian, seenggaknya lo udah nyoba. Siapa tahu gara-gara audisi lo nanti, lo malah dapet tawaran yang jauh lebih bagus? Apa pun hasilnya, ini bakal buka peluang besar buat lo, Rick. Dan gue nggak akan ninggalin lo misalkan lo mau jadi Vin Diesel KW versi Indonesia juga. Asal bayaran gue naik setahun sekali."

Richard memutar bola matanya lagi.

Ucapan Ruri memang ada benarnya. Ketakutan Richard kali ini memang lebih didasari keraguan akan kemampuan aktingnya. Di awal karirnya, dia sempat membintangi dua film komedi romantis yang meskipun meledak di pasaran, tidak memberinya kepuasan batin, terlebih dia sangat tidak menyukai lawan mainnya. Alasan itulah yang membuat Richard kemudian lebih ingin membintangi film-film laga. Dia tidak ingin menonjolkan penampilan fisiknya sebagai faktor utama membintangi sebuah film. Dia sangat sadar, jika mau, dia dengan mudah mendapatkan peran di film-film romantis. Hanya saja, bukan itu yang ingin dikejarnya .

"Lo mau bantuin gue latihan?"

"Asalkan ntar malem kita makan Kokomo, gue mau."

"Lo mau meras gue atau gimana, sih? Dapet perannya aja belum," gerutu Richard.

"Take it or leave it."

Mengembuskan napas kalah, Richard terpaksa mengangguk. Ruri memang paling bisa mengancamnya, sekalipun dengan hal sesepele makan di restoran Jepang yang sangat disukai Ruri itu.

"YES!" seru Ruri penuh kemenangan.

REVULSIONWhere stories live. Discover now