18 - JAZMINE

246 27 1
                                    


"Keluarin aja lo mau ngomong apa, Nggi, nggak usah ditahan."

Sejak sepuluh menit lalu, Jaz berusaha menahan diri untuk tidak mengatakan satu hal yang tersimpan di otaknya. Sementara dirinya masuk dan keluar kamar mandi, menandaskan botol minum berisi air putih, dan sesekali berdecak, Anggi hanya duduk diam dan memperhatikannya. Tidak banyak kalimat yang diucapkan asistennya tersebut kecuali menanyakan apakah dirinya baik-baik saja. Namun Jaz tahu, ada satu kalimat yang sangat ingin dilontarkan Anggi.

"I told you, didn't I?"

Jaz menatap Anggi yang mengajukan pertanyaan itu sambil meringis. Jaz menelan ludah sebelum dia akhirnya duduk di kursi dan menekuk kakinya. Satu kalimat yang paling tidak ingin didengarnya, tetapi pasti tetap diucapkan Anggi sekalipun perempuan itu harus meminta izin darinya lebih dulu. Jaz menarik napas dalam sebelum memainkan rambut sebahunya.

"Iya, lo udah bilang ke gue, nggak cuma sekali, dan gue belum lupa," balas Jaz meluapkan kekesalannya. Bukan ditujukan kepada Anggi, tetapi dirinya sendiri karena selama ini menganggap ucapan Anggi mustahil untuk jadi kenyataan. "Jadi sekarang lo mau terus nyalahin gue yang nggak nyangka ini bakal kejadian atau bantuin gue ambil keputusan terbaik?"

Menyaksikan Anggi membuang napas sebelum dia duduk bersila menatap dirinya, Jaz tahu ini akan jadi diskusi yang tidak disukainya. Namun dia pun sadar, alasan yang diberikan Anggi akan sangat masuk akal dan dia tidak akan punya kalimat sanggahan.

"Aku nggak tahu bantuan apa yang kamu maksud, kecuali kamu mau lepas kesempatan ini. Jadi aku harus cari kesempatan lain buat kamu."

Untuk ukuran Anggi, apa yang baru saja diucapkannya termasuk padat dan singkat, tetapi mewakili semua yang tidak ingin didengar Jaz.

"Nggi, lo sempet kepikiran nggak misalkan gue terima ini, terus di lokasi yang ada gue sama Richard malah berantem tiap hari? Apa reputasi gue nggak bakal keseret? Belum lagi kemungkinan gue dipecat. Lo tahu kan di Hollywood sana, sering ada aktor yang udah confirm buat peran tertentu, tetapi kemudian nggak jadi dan pake scheduling conflict sebagai alasan? Nasib gue bisa aja kayak gitu."

"Sekarang aku mau tanya sesuatu, dan kamu jawab jujur, nggak perlu pakai alasan macem-macem." Anggi berdeham pelan. "Bentar lagi Mina lahiran, yang berarti tes DNA seperti yang kita semua tahu bakal kejadian. Andaikan—biarin aku ngomong," sergah Anggi saat melihat raut tidak setuju Jaz dan sempat ingin memotong kalimatnya. "Andaikan Richard bukan ayah dari anak Mina, apakah kamu akan tetep benci sama dia? Mengingat rasa nggak suka kamu didasari karena kamu beranggapan Richard nggak bertanggung jawab? Karena jelas, alasan itu nggak bisa lagi kamu pakai buat menjustifikasi perasaan benci ke Richard."

Sebelumnya, ada begitu banyak tanggapan yang sudah berbaris rapi dan siap disorong Jaz untuk setiap ucapan Anggi. Hanya saja, dia justru gelagapan menemukan kata-kata yang tepat karena seperti biasa, Anggi menyodorkan fakta yang tersisih olehnya.

Mulut Jaz terbuka, tapi tidak ada kalimat yang keluar. Dia mencoba lagi, tapi usahanya membuahkan hasil yang sama. Akhirnya Jaz memilih diam.

"Gini Jaz. Misalkan Richard bukan ayah dari anak Mina, aku yakin kamu pasti nyesel udah ngelepasin kesempatan ini. Tapi kalau kamu ambil peran Claudia dan fakta nanti berbicara bahwa Richard bukan pria yang menghamili Mina, seenggaknya kamu menang dua hal: kamu tetep main di Revulsion dan kamu punya alasan kuat buat nggak benci Richard lagi. Kamu nggak capek ya terus-terusan ngerasa kayak gitu sama Richard? Nggak pengen udahan aja?"

Dua pertanyaan terakhir Anggi memang terkesan seperti asistennya itu sedang bicara dengan anak kecil, bukan perempuan yang mendekati usia 30. Diam masih menjadi pilihan Jaz sembari dia menyusun tanggapan yang tidak terdengar kasar sekalipun hanya rentetan sumpah serapah yang ingin dikatakannya. Lagi-lagi, bukan untuk Anggi melainkan dirinya sendiri.

"Jadi menurut lo, gue tetap terima?"

"Absolutely! Karena menurutku, nggak ada pilihan lain, Jaz. That's the only choice you have."

Walau belum pernah main film, bukan berarti Jaz buta soal rumitnya pembuatan sebuah film. Persiapannya bisa berbulan-bulan, dan selama itu juga, dia harus berkompromi dengan perasaannya sendiri, terlepas apakah nanti hasil tes DNA membuktikan Richard adalah ayah dari anak yang dikandung Mina atau tidak. Produksi Revulsion bisa jadi mimpi buruk baginya, atau membuktikan penilaiannya yang salah tentang satu project. Memang tidak ada jaminan bahwa proses pembuatan Revulsion akan penuh dengan tawa dan suka cita, tetapi setidaknya dia akan mampu menjalaninya dengan baik dan tanpa kendala.

Masalah utama Jaz tentu saja Richard. Dia masih tidak tahu bagaimana menempatkan perasaannya kepada pria itu. Dia mengira, kejadian di lift itu akan sedikit mengubah dinamika yang ada di antara mereka, tetapi pertengkaran kecil saat keduanya mendapatkan kabar tentang peran Brian dan Claudia, meluruhkan itu semua.

"Gue bener-benar nggak tahu, Nggi!" seru Jaz dipenuhi rasa frustasi. "Gue kayaknya perlu pergi dari Jakarta buat nenangin diri."

"Mereka nggak ngasih banyak waktu, Jaz. Aku nggak mau mereka berpikiran kamu nggak tertarik dengan peran Claudia terus ngasih peran itu ke orang lain."

"Bisa nggak sih gue ke Bali dua hari aja? Cukup nggak?" tanya Jaz penuh harap.

Dengan cekatan, Anggi meraih ponsel yang tergelatak di atas meja dan segera mengecek jadwal Jaz. Perempuan muda itu berkomat-kamit sebentar sebelum kembali memandang Jaz.

"Kalau cuma dua hari sih bisa, tapi nggak bisa lebih dari itu." Anggi meletakkan lagi ponselnya di atas meja. "Kamu yakin dua hari cukup? Aku nggak mau kamu terlalu capek dan ujung-ujungnya malah ngambil keputusan sembrono."

Jaz mengangguk mantap. "Cukuplah dua hari buat gue mikir tanpa ada gangguan."

"Mau ke Ubud?"

"Ke mana lagi?"

"Terus si Daniel mau dikemanain?"

Kedua alis Jaz terangkat. "Kenapa sama Daniel?"

"Kamu nggak mau ngasih tahu dia?"

"Buat apa? Kami kan nggak pacaran. Dia nggak perlu tahu lagi gue ngapain sama siapa dan mau ke mana."

Jawaban itu rupanya tidak cukup memuaskan Anggi karena perempuan itu masih terus memandang Jaz penuh arti.

"Nggi, lo mikir gue sama Daniel udah jadian, ya? Lo baru kenal gue apa gimana, sih? Kayak nggak tahu aja gue tuh lama buat jatuh cinta sama orang."

Dan itu merupakan fakta. Makanya banyak gosip yang beredar tiap kali media memergokinya dengan seorang pria. Sedihnya, pria-pria yang pernah digosipkan dengannya tidak lebih dari sekadar teman. Bukan teman kencan, apalagi pacar.

"Aku lihat sih Daniel kayaknya bakal ngajak kamu serius, Jaz."

Kali ini, tatapan ngeri diberikan Jaz kepada Anggi. "Lo nggak usah menuh-menuhin kepala gue dengan skenario yang nggak masuk akal gitu ya."

"Skenario yang aku bilang soal Richard kejadian, kan? Kamu bilang itu nggak masuk akal juga dulu."

Jaz tidak punya jawaban atas pertanyaan itu.

Dia sendiri bahkan tidak berpikir sejauh itu mengenai Daniel. Ya, mereka memang lebih banyak menghabiskan waktu bersama belakangan, tapi Daniel tidak pernah menyinggung atau melabeli itu sebagai sebuah kencan. Pun tidak ada pembicaraan serius tentang yang mereka jalani. Mereka hanyalah dua orang dewasa yang menikmati kehadiran satu sama lain. Tidak ada ciuman, apalagi tidur berdua.

"Yah, kita lihat aja nanti, Jaz. Tapi jangan sampai aku bilang, 'I told you so' lagi, ya?"

Jaz pun tahu, Anggi tidak main-main dengan ucapannya. 

REVULSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang