46 - JAZMINE

185 24 1
                                    


"Kamu kapan syuting lagi?"

Jaz memandang Daniel yang sedang menyangga kepalanya dengan satu tangan sementara dirinya masih terlalu malas beranjak dari tempat tidur. Meskipun tidak biasanya tidur siang, Jaz merasa tubuhnya begitu lelah. Dia bahkan tidak sadar Daniel ikut tidur di sampingnya jika bukan karena lengan pria itu yang melingkari pinggangnya. Ketika bangun, pria itu malah sedang sibuk memandangnya.

"Dua hari lagi," balas Jaz dengan suara serak. Dia lantas meraih guling dan memeluknya erat. "Kenapa, Daniel?"

"Aku senang kamu akhirnya kembali ke Jakarta. I was almost going crazy."

"Tapi Kamis minggu depan gue harus ke Florence."

"Florence, Italy?"

Menyadari mulutnya telah meloloskan nama kota itu di luar rencana—Jaz sebenarnya ingin bicara baik-baik dengan Daniel mengenai Florence—kantuk yang sebelumnya masih menyelimuti Jaz, langsung tersingkap. Dia membuka mata dan menatap Daniel yang rahangnya mengeras dan memberinya tatapan penuh tanda tanya.

"Apakah kamu akan cerita atau bilang ke aku sehari sebelumnya?"

Pertanyaan tersebut tidak hanya dipenuhi tuduhan, tetapi juga terdengar begitu dingin di telinga Jaz. Mengerjap sesaat, Jaz lantas memaksa tubuhnya untuk duduk. Tangan Jaz menggelung rambutnya asal sembari dia menyiapkan diri berhadapan dengan kemurkaan Daniel. Pertengkaran lain jelas tidak akan bisa terhindarkan.

"Gue udah mau bilang ke lo, tapi gue masih nyari saat yang tepat. Lagian gue juga baru pulang dari Bali."

"Jaz, aku yakin kamu tahu sejak awal bahwa akan ada syuting di Florence, bukan baru kemarin sore. Apakah nggak pernah terpikir untuk memberitahuku ketika kamu punya begitu banyak waktu yang tepat?"

"Are we gonna argue or will you let me explain?"

Pertanyaan itu cukup untuk membuat Daniel mengubah posisi tubuhnya hingga sekarang dia duduk, menatap lekat Jaz. "Jaz, Florence bukan Bali yang bisa aku tempuh dalam dua jam. Are you that inconsiderate of my feelings?"

"Jadwal ke Florence dimajuin. Nggak seharusnya kami berangkat minggu depan. Jadwal seharusnya masih dua minggu lagi. Gue nggak dikasih tahu alasannya apa, tapi yang pasti, gue dan Richard harus udah berangkat Kamis nanti."

"Great! Now it's going to be only you and him." Tawa yang meluncur dari mulut Daniel terasa seperti sebuah ejekan. Jaz langsung menunjukkan raut tidak suka.

"Maksud lo apa sih? Ya pastilah gue ke sana sama dia. In case lo lupa, gue dan Richard adalah pemeran utamanya. Gue kira lo tahu soal itu."

Jaz memutuskan untuk tidak memancing Daniel dengan kalimat atau pertanyaan yang biasanya dia berikan setiap kali mereka bertengkar mengenai Richard. Dia tahu balasan yang diberikannya mungkin punya konsekuensi membuat situasi di antara mereka semakin runyam, tapi Jaz merasa sangat lelah harus beradu argument untuk hal yang sama dan berulang-ulang.

"Do you still even love me?"

Saat telinganya menangkap pertanyaan tersebut, Jaz tidak lagi bisa mengabaikan Daniel. Dia langsung memberikan tatapan tajam. "Maksud lo apa nanya kayak gitu? Lo udah nggak cinta lagi sama gue?"

"Kenapa jadi aku yang harus jawab? I asked you a question, and the answer is simple. It's a yes or no."

"Menurut lo, hati gue sesederhana itu?" Jaz menggeleng heran, tidak lagi tahu apa yang harus dikatakannya. "Sekarang gue ulangi pertanyaan yang pernah gue ajuin pas kita di Bali. Lo mau gue ngapain? Lo perlu gue buktiin ke lo pakai apa? Coba bilang ke gue. Karena seingat gue, lo sendiri yang bilang bahwa lo mau belajar buat percaya sama gue. Kapan lo mau belajarnya?"

Jaz tahu pertanyaan yang diajukannya tersebut terdengar sedikit kasar dan langsung ke sasaran. Namun dia tidak lagi punya waktu untuk meladeni sikap Daniel yang sulit memberinya kepercayaan penuh. Jika perkara seperti ini saja mereka sering ribut, Jaz tidak sanggup membayangkan misalkan mereka sampai ke jenjang pernikahan. Bisa dipastikan mereka akan selalu terlibat cekcok menyangkut anak, Pendidikan anak-anak mereka, dan juga masalah-masalah penting karena sikap Daniel yang sulit memercayai penilaian Jaz.

"I don't want—"

"Gue nggak perlu alasan itu, Daniel," potong Jaz. "Gue perlu bukti karena selama ini, lo masih belum nunjukkin ke gue kalau lo percaya ke gue. Jadi gue tanya lagi, buat apa kita punya hubungan misalkan lo nggak percaya ke gue?"

"Tapi kamu memberitahuku mendadak! Aku jadi nggak bisa ke Florence buat ketemu kamu."

"Daniel, gue nggak minta lo ke sana demi gue! Nggak pernah!" seru Jaz tanpa bisa menahan kemarahan. "Gue di sana cuma dua minggu, dan ngapain lo harus ke sana? Buat mata-matain gue? Buat nyulut keributan sama gue soal Richard?" Dengan kesal, Jaz bangkit dari tempat tidur dan mulai memasukkan beberapa barangnya ke dalam tas. "Kalau lo begini terus, gue nggak yakin kita bisa langgeng, Daniel." Dengan cepat, Jaz mengusap air mata yang mulai mengalir di ujung matanya. "Gue ngerasa lo nggak bisa ngehargai gue karena selalu curiga sama gue. I've had enough of your suspicion."

"Jaz, kita bisa bicara. Kamu nggak perlu pergi."

Begitu yakin dia tidak meninggalkan satu barang pentingnya, Jaz membalikkan badan dan menatap Daniel yang masih duduk di tempat tidur, tidak beranjak dari tempatnya semula. Dia masih tidak percaya dengan sikap Daniel yang seolah mereka baru saja meributkan tentang tempat untuk makan malam, bukan tentang hubungan mereka.

"Mungkin kita nggak usah ketemu dulu," ujar Jaz seraya menyeka pipinya yang basah. Meski suaranya gemetar, dia masih berusaha untuk bisa menelurkan kalimat lengkap untuk diungkapkan. "Gue ngerasa hubungan kita udah nggak sehat belakangan. Tapi gue nggak akan minta putus sekarang ketika emosi gue lagi di puncak." Menelan ludah, Jaz menarik napas dan mengembuskannya perlahan. "We'll talk after I get back from Florence. Itu juga kalau lo masih mau bahas hubungan kita."

"Jaz ...."

"Gue balik dulu." Jaz lantas berjalan menuju pintu, tetapi kemudian, dia berbalik saat teringat sesuatu. "Dan please, jangan kirimin gue apa pun buat nyelesaiin masalah ini. Itu bukan cara yang gue mau."

Selepas itu, mereka saling bertukar pandang cukup lama sebelum akhirnya Jaz membuka pintu dan meninggalkan Daniel sendirian di kamar.

Dada Jaz masih terasa begitu sesak ketika dia menyusuri ruang tamu sebelum tangannya meraih gagang pintu. Membukanya, dia menoleh sebentar dan berharap akan menemukan Daniel di belakangnya. Namun pria itu sepertinya masih ada di kamar. Melangkah keluar dari unit, Jaz lantas meraih ponselnya dan menghubungi satu nomor yang hanya bisa dihubunginya di saat-saat seperti ini.

"Nggi, lo lagi di mana? Bisa jemput gue nggak?" Jaz berusaha terdengar biasa-biasa saja karena tidak ingin Anggi menangkap suara isakannya.

"Kamu lagi di mana, Jaz?"

"Di tempat Daniel. Gue harus balik sekarang dan lagi males naik taksi."

"Oke, aku bisa jalan sekarang." Ada jeda sejenak. "Are you okay?"

Alih-alih mengatakan yang sejujurnya, Jaz menjawab, "Ntar gue cerita."

"Oke, tunggu aku di lobi."

Setelah panggilan berakhir, Jaz mengarahkan pandangannya ke lorong yang baru dilaluinya sementara tangannya memencet tombol lift. Dia tidak tahu apa yang berharap bisa dilihatnya, tetapi menyadari Daniel tidak berusaha menyusulnya, semakin menyesakkan dada Jaz.

Begitu pintu lift terbuka, dia langsung masuk dan menekan angka 1, berharap lift tersebut tidak hanya membawanya turun, tetapi juga menelannya hingga ke dalam bumi. 

REVULSIONWhere stories live. Discover now