62 - JAZMINE

243 28 1
                                    


"Aku nemu ini."

Jaz menerima sesuatu dari Mina, yang kemudian diketahuinya sebagai sobekan kertas. Meski kondisinya sudah kumal, tapi tulisan yang tertera masih bisa dibaca. Tidak ada nama yang tertulis di sana, hanya terdapat nomor telepon hingga Jaz merasakan marah yang mengaliri seluruh tubuhnya. Dia berusaha mengendalikannya sebelum menatap Mina yang duduk di hadapannya.

"Lo udah nyoba telepon?"

Mina mengangguk. "Nggak diangkat. Aku nggak nyalahin siapa pun yang punya nomor itu karena nomorku pasti nggak tersimpan di hapenya."

"Coba gue tanya Richard."

Dengan cepat, Jaz merapikan kertas yang sudah lecek tersebut dan meletakkannya di atas meja. Dia mengambil foto, kemudian mengirimkannya ke Richard dengan satu pesan singkat.

Ini bener nomornya Evan?

Setelah pesan terkirim, dia menatap Mina. "Kenapa nggak lo kirim dari kemarin-kemarin, Mina? Jadi gue bisa langsung nanya ke Richard."

"Aku takut, Jaz."

"Takut kenapa sih lo? Bukannya ini satu petunjuk yang cukup jelas?"

"Karena gue belum siap misalkan ini bukan nomor telepon Evan. Dan aku juga nggak tahu harus ngomong apa."

Belum sempat Jaz membalas, ada notifikasi pesan masuk. Jaz melihat nama Richard dan langsung membukanya.

Bisa video call?

Jaz langsung menunjukkan pesan itu ke arah Mina, yang hanya memberikan anggukan. Dia lantas meminta Mina untuk duduk di sampingnya. Tanpa basa-basi, Jaz langsung menekan tombol video call dan sedetik kemudian, wajah Richard tampak di layar. Pria itu bertelanjang dada dan rambutnya basah.

"Gue baru balik dari surfing." Richard menyisir rambutnya dengan tangan. "Itu nomor Evan. Dia punya beberapa nomor, dan itu salah satu yang biasanya dia pakai tiap kali kenalan sama cewek." Richard meringis, seolah merasa bersalah karena harus mengatakannya. "Jadi dia nggak akan terima telepon misalkan ada yang nyoba."

Jaz dan Mina saling berpandangan. "Jadi confirm ini punya Evan?"

Richard mengangguk. "Jaz, kita masih harus hati-hati," ucapnya. "Gue tahu lo pasti pengen banget langsung labrak Evan dan confront dia. Lebih baik jangan karena bukan kayak gitu cara ngadepin Evan."

"Terus apa rencana yang lo punya?"

"Biar gue aja yang ngomong ke dia. Gue bakal tunjukkin foto yang lo kirim, bilang bahwa dia udah bohong ke gue karena ngaku nggak kenal Mina pas kita ketemu di Red Bamboo. Intinya, gue bakal minta dia jujur secara baik-baik. Kalau perlu, gue pake alasan tes DNA segala buat gertak dia."

"Lo yakin bakal berhasil?"

Richard menggeleng. "Gue nggak berani kasih jaminan, tapi gue bisa nyoba."

"And how are you feeling about this, Richard? Aku nggak mau justru Evan benci sama kamu. Bagaimana juga, dia sahabat kamu."

"Gue cukup mampu buat ngadepin konsekuensinya, Mina. Lo nggak usah khawatir. Gue nggak mau punya sahabat yang bohong ke gue tentang hal sebesar ini, dan ngebiarin gue jadi kambing hitam. I don't think that's what friends do."

"Jadi lo bakal ke Jakarta lagi?"

Richard menggeleng. "Evan katanya mau ke sini weekend ini, jadi gue kira itu waktu yang pas buat ngomong sama dia."

"Beth udah cabut ke Eropa?" tanya Jaz yang tiba-tiba ingat cerita Richard tentang Jaz yang sempat tinggal bersama Richard di Bali setelah memutuskan resign dari tempatnya bekerja.

"Tiga hari lalu. Makanya gue harus balik cepet ke Bali, supaya bisa ngabisin waktu sama Beth sebelum dia pergi."

Jaz mengangguk paham. "Ya udah, lo hati-hati di sana. Kabarin gue kalau ada apa-apa."

Richard hanya mengacungkan ibu jarinya sebelum dia mengucapkan selamat tinggal. Begitu sambungan berakhir, Jaz dan Mina saling berpandangan. Namun ketika melihat Mina tersenyum, Jaz justru bingung.

"Lo senyum kenapa?"

"Lihat kalian berdua kayak gitu bikin aku seneng."

Mendengar itu, Jaz hanya mampu berdecak pelan. "Apaan sih, Mina? Orang cuma bilang gitu."

"Jaz, sekarang jujur ke aku. Gimana perasaan kamu sama Richard?"

Jaz menyandarkan punggungnya ke sofa sekalipun pandangannya tidak beralih dari Mina. "Rasanya gue tinggal nyari waktu yang pas buat ngasih tahu dia."

"Itu bukan jawaban atas pertanyaanku, Jaz."

"I like him, okay? Puas sekarang?"

"Apakah karena dia mau bantuin kita, jadi kamu ngerasa bersalah misalkan nggak bales perasaan dia?"

Memang sempat muncul dalam benak Jaz bahwa perasaan sukanya menjadi berlipat setelah tahu reaksi pria itu mengenai Evan. Meskipun belum terbukti kebenarannya, tapi niat yang ditunjukkan Richard cukup bagi Jaz untuk menyadari tentang perasaannya sendiri. Bahwa sudah dari lama perasaan itu terpendam dan baru mencuat dengan jelas ketika mereka mulai syuting. Namun ada Daniel yang harus dihargai Jaz. Begitu hubungannya dengan Daniel berakhir, keraguan itu mulai luruh. Perkara Evan ini semakin menambah keyakinan tentang perasaannya ke Richard.

Jaz dengan tegas menggeleng. "Gue emang suka dia, Mina. Selama ini gue sadar cuma berusaha ngelak dari perasaan yang sebetulnya udah ada lama. Gue nggak mau ngaku bahwa ada ketertarikan sama Richard." Jaz mengalihkan pandangannya ke langit Jakarta yang tampak mendung sebelum kembali menatap Mina. "Tapi semakin ke sini, gue semakin sadar bahwa Richard adalah cowok yang sangat sabar. Terbukti dia mau nungguin gue kasih jawaban, tapi di saat yang bersamaan juga dia tegas karena minta deadline sama gue." Mengingat itu, tawa kecil Jaz lolos dari mulutnya. "Dia punya prinsip yang jelas, dan fakta bahwa kami punya profesi yang sama, gue yakin drama kayak gue sama Daniel dulu nggak akan kejadian."

"Jadi intinya, kamu mau kenal Richard lebih jauh atau kamu bakal bales perasaan dia?"

"I think the feeling is mutual," balas Jaz tanpa ragu. "Nanti begitu urusan soal Evan ini selesai, gue bakal bilang ke dia. Nggak perlu nunggu sampai kami harus press junket."

Mina mengulurkan lengan untuk menggenggam tangan Jaz. "Jaz, kamu nggak perlu nunggu sampai urusan ini selesai. Aku nggak mau kamu justru menomorduakan perasaan kamu sendiri buatku. Think about Richard. Dia pasti tiap hari bertanya-tanya gimana perasaan kamu ke dia. Do it as soon as possible. For me." Mina menatap Jaz lekat sebelum menambahkan, "Please?"

"Lo mau gue nyusul Richard ke Bali?"

"Apakah dia suka romantic gesture? Aku rasa Richard lebih suka hal-hal sederhana."

"He does," sahut Jaz. "Nanti gue pikirin lagi, deh. Tapi yang pasti, hati gue udah mantep."

"Aku seneng dengernya."

"Gue juga lega, Mina. Lega banget."

Jaz tidak membohongi dirinya dengan mengatakan kalimat itu. Kelegaan memang mengisi benaknya mengetahui bahwa tidak ada lagi ragu yang menggelayutinya tentang Richard. Dia hanya perlu mencari waktu yang pas hingga semuanya terasa sempurna.  

REVULSIONWhere stories live. Discover now