26 - JAZMINE

255 35 1
                                    


"That was lovely, Jaz. Thank you very much." Ucapan terima kasih Daniel tersebut diikuti sebuah kecupan di pipi.

"Gue seneng lo suka, ya meskipun bukan gue seratus persen yang masak."

"Poinnya bukan itu, Jaz, tapi effort kamu. I appreciate that more than anything else. Makanannya yang enak itu bonus."

Mengenal begitu banyak pria dalam hidup Jaz—terlebih mereka yang pernah dekat dengannya—perkataan Daniel terdengar sederhana, tetapi banyak pria mengabaikannya. Sejak hubungannya dengan Daniel semakin dekat, Jaz merasakan perbedaan yang sangat mencolok dengan pria-pria lainnya. Namun justru hal itu yang membuat Daniel spesial.

Daniel tidak akan menghujaninya dengan hadiah atau bunga kecuali memang ada hari penting atau pencapaian Jaz yang patut diberikan apresiasi. Pria itu selalu menghargai setiap usahanya, sekecil apa pun, dan tidak pernah menganggap opini Jaz tidak penting. Selain itu, Daniel adalah pendengar yang baik. Jika suasana hati Jaz sedang buruk, Daniel dengan tulus mendengar semua keluh kesah Jaz tanpa menanggapinya dengan kalimat, kecuali Jaz meminta pendapatnya.

Jaz mengira pria seperti Daniel sudah musnah dari muka bumi, tetapi dia menemukannya. Jumlahnya mungkin hanya tinggal hitungan jari. Jaz tidak peduli jika anggapannya berlebihan.

"Gue kayaknya perlu nyembah kedua orang tua lo," ujar Jaz seraya memandang Daniel yang tampak bingung dengan ucapannya.

"Menyembah?" ulangnya. Dia diam sesaat sebelum mengerutkan kening. "Untuk apa?"

"Karena mereka berhasil ngedidik lo jadi kayak gini. Entah kapan lo nyadar bahwa semua sikap yang lo tunjukkin ke gue selama ini, itu nggak lazim. Kebanyakan cowok punya mulut manis, tapi nggak bisa nepatin janji atau lebih tepatnya, nggak mau. Lo itu udah masuk kriteria langka, Dan. Perlu dilestarikan."

Mendengar itu, Daniel tidak mampu menahan tawa. Sekalipun begitu, tangannya yang sedari tadi memegang tangan Jaz, tidak mengendur sedikit pun. Dia menelengkan wajah agar bisa lebih leluasa memandang Jaz.

"Aku berpikir, mungkin itu alasan hubunganku yang dulu-dulu nggak bertahan lama. Mereka nggak terbiasa diperlakukan dengan adil oleh pria-pria sebelum aku. Jadinya mereka kaget waktu tahu aku berbeda." Dia mengedikkan bahu. "Anyway, itu kesimpulan yang bisa aku ambil setelah jalan dengan kamu."

"Untung di gue berarti karena mantan-mantan lo beneran goblok." Jaz mendapati Daniel tersenyum mendengar perkataannya.

"Apakah kamu senang menghabiskan waktu denganku, Jaz?" Daniel mengulurkan tangannya yang satu untuk menyingkap anak rambut yang menutupi kening Jaz. "Aku merasa seperti sudah mengenal kamu lama, bukan baru beberapa bulan."

Ada banyak yang ingin diutarakan Jaz, tapi dia menahannya. Sekalipun tahu kalimat lanjutan yang mungkin akan dilontarkan Daniel, dia memilih untuk menunggu.

"Aku ingin kita punya nama untuk sesuatu yang kita jalani, Jaz. Pacar? Aku nggak tahu apakah pria-pria di Indonesia melakukan ini, tapi aku merasa perlu bertanya tanpa ada paksaan."

Senyum di wajah Jaz mengembang sementara jarinya sudah bersandar di ujung bibir Daniel. "Lo itu terlalu sopan buat gue, Dan. Lo tipe cowok yang nggak akan mungkin gue pacari karena saking sopan dan baiknya lo. But," Jaz dengan lembut mengusap pipi Daniel dengan ibu jarinya, "I like spending time with you. Lo bikin gue sadar bahwa selama ini, gue ketemu cowok yang salah. And that ends when I met you." Jaz memutus jarak yang tersisa antara dirinya dan Daniel. "Jadi gue nggak akan nolak misalkan kita punya nama buat apa yang kita jalani sekarang. Gue juga nggak keberatan jadi pacar lo karena gue masih cewek normal dan waras. Lo mending sama gue daripada sama cewek-cewek nggak jelas yang bakal ngincer duit lo doang. Gue nggak akan rela." Jaz mengucapkan kalimat terakhir dengan kesungguhan yang tidak dibuat-buat.

Daniel tampak tersipu karena selama beberapa saat, dia menundukkan wajah sebelum kembali menjadikan Jaz sebagai fokus pandangannya. "Apakah aku harus bilang terima kasih karena sudah menyelamatkanku dari perempuan-perempuan yang hanya mengincar uangku?"

"Lo bisa cium gue sebagai ucapan terima kasih."

Jaz menangkap keraguan dari wajah Daniel, tapi pria itu lantas meraih tengkuknya dan mendekatkan wajah mereka.

"If that's what you want, then I can't say no."

Ketika bibir mereka bersatu, Jaz berusaha tidak membandingkan Daniel dengan mantan-mantannya. Namun dari cara Daniel menciumnya, Jaz tanpa ragu menempatkan pria yang sudah mengelus lembut punggungnya ini ke nomor satu. Dengan jelas, Jaz bisa mengenal pribadi Daniel lebih jauh meskipun terdengar aneh. Ciuman Daniel tidak tergesa-gesa, penuh pertimbangan, memberikan Jaz ruang untuk membalas, dan yang pasti, tidak terselip nafsu.

Biasanya Jaz akan mundur teratur jika menyadari ciuman yang diberikan seorang pria sudah mengandung afeksi. Namun kali ini dia sudah mantap untuk menjejakkan kakinya.

"Tuhan bener-bener nggak adil waktu nyiptain lo, Dan," ucap Jaz lirih begitu bibir mereka terpisah.

"Why is that?"

"Lo udah ganteng, pribadi lo nggak jauh beda dari karakter-karakter yang biasanya cuma ada di dunia fiksi, sikap lo sangat gentleman, dan lo jago ciuman. Lo bisa nahan diri supaya nggak kebawa nafsu. Nggak semua cowok punya pengendalian diri sehebat lo, Dan. Makanya gue bilang Tuhan nggak adil waktu nyiptain lo."

"Jaz, kamu tahu kan dari semua yang kamu sebutkan itu, Tuhan cuma punya peran soal wajahku? Aku ke gym supaya punya badan seperti ini, jadi nggak ada kaitannya dengan Tuhan. Soal sikap, peran orang tua dan lingkungan lebih besar dan juga pengalaman hidupku. Soal ciuman, well, mungkin itu satu-satunya hal yang bisa aku berikan atribut ke mantan-mantanku. They taught me well." Daniel mengumbar senyum lebarnya. "Semua yang ada di aku adalah gabungan banyak hal, Jaz. Aku nggak yakin pendapat kamu masih sama kalau ketemu aku sepuluh tahun lalu. I was a different person back then."

"Lagi-lagi, beruntung banget gue ketemu versi lo yang udah kayak gini," tukas Jaz.

Gelak Daniel kembali mengisi ruang kosong di antara mereka. "Karena sekarang kita udah resmi pacaran, aku boleh kan kasih surprise tanpa harus ada alasan? After all, you're my girlfriend."

"Gue cuma perlu ingetin soal profesi gue yang deket sama gosip dan juga media. Apakah lo siap berhadapan sama dua hal itu?"

"Jaz, aku menjalin hubungan dengan kamu, bukan dengan yang lain, apalagi media. Aku cukup tahu bagaimana media di sini bekerja dari cerita-cerita kamu. Aku—"

"Tahu dan ngalamin sendiri adalah dua hal berbeda, Dan," sergah Jaz cepat. "Gue cuma pengen mastiin lo siap."

Selama beberapa detik, Daniel diam sebelum dia mengangguk. "Aku percaya kamu, Jaz. Komunikasi kita selama ini berjalan baik. Aku rasa nggak akan ada yang berubah hanya karena status kita sekarang pacaran. Aku janji buat nggak langsung percaya dengan berita apa pun yang akan aku dengar tentang kamu. Aku hanya akan percaya kalau itu keluar dari mulut kamu."

"Dan gue bakal ngingetin lo terus supaya lo nggak lupa. Gue tahu dunia gue baru buat lo. It can be overwhelming."

"Aku nggak akan lupa, Jaz. Dan kamu bisa pegang kata-kataku kalau aku punya cara buat nggak overwhelming."

"Anggi pasti histeris tahu kita resmi pacaran."

"Apakah aku boleh ada di sana waktu kamu kasih tahu dia? Aku juga ingin lihat reaksinya."

Jaz tertawa kecil. "Lo doyan iseng juga ya ternyata?"

"Well, banyak tentangku yang kamu belum tahu, Jaz."

Belum sempat Jaz membalas, ponselnya bergetar. Dia memang sengaja mengubahnya supaya tidak mengganggu acara makan malamnya dengan Daniel. Begitu melihat nama Mina di layar, dia memandang Daniel.

"Ini Mina. Gue musti angkat. Dia nggak bisa nelepon jam segini."

"Of course."

Beranjak dari bangku yang didudukinya, Jaz berjalan sedikit menjauh agar Daniel tidak bisa mendengar percakapan mereka.

"Mina, ada apa?"

"Hasil tes DNA udah keluar."

Jantung Jaz sekarang berdegup lebih kencang mendengarnya. "Gimana hasilnya?" Dia menunggu dengan cemas.

"Kamu bisa ke sini, Jaz?"

REVULSIONWhere stories live. Discover now