22 - JAZMINE

233 29 3
                                    


Begitu syuting untuk salah satu produk kecantikan selesai, hal pertama yang dilakukan Jaz adalah ke apartemen Mina, terlebih sahabatnya itu baru saja pulang dari rumah sakit. Mustahil bagi Jaz untuk menunda proses syuting demi menemani Mina pulang, hingga pilihan yang dimilikinya hanyalah pergi ke sana begitu semuanya selesai.

Dua hari lalu, Mina mengabari bahwa Richard datang untuk diambil sample demi keperluan tes DNA, begitu juga dengan Brandon. Jaz ingin sekali ada di sana, tetapi sudah ada pekerjaan yang menunggunya. Mina pun meyakinkan Jaz supaya tidak perlu khawatir, hasilnya masih belum akan keluar hingga tiga minggu kemudian. Padahal bukan karena alasan itu Jaz ingin berada di sana, tetapi karena dia ingin mendapati raut muka Richard yang pasti tersiksa.

Jaz akhirnya berhasil memaksa salah satu keponakan Mina untuk tinggal di apartemen bersama sahabatnya, setidaknya untuk beberapa bulan ke depan. Terlepas dari reaksi keluarganya yang masih belum mau menerima Brandon sebagai bagian dari mereka, Jaz tahu satu hal, bahwa tidak mungkin Mina menjalani beberapa bulan ke depan seorang diri. Makanya dia meminta—dan sedikit memaksa—Febri untuk menemani Mina. Dengan senang hati Febri menuruti karena memang dia cukup dekat dengan Mina.

"Febri ke mana?" tanya Jaz begitu dia masuk ke apartemen dan tidak melihat Febri.

"Lagi pulang, ambil baju ganti." Mina lantas duduk di sofa. "Abis pulang syuting?"

Jaz mengangguk. "Makanya gue nggak bisa nemenin lo dari rumah sakit tadi. Sorry, ya?"

Tawa kecil Mina terdengar. "Jaz, kamu udah ngelakuin dan ngebantuin banyak banget. Rasanya nggak pantes kamu minta maaf."

"Brandon lagi tidur?"

Mina mengangguk. "Agak rewel tadi pas pulang dari rumah sakit, tapi kayaknya dia capek juga nangis terus, makanya terus tidur begitu sampai sini."

"Gimana perasaan lo?"

Reaksi pertama yang diberikan Mina adalah diam. Sedetik kemudian dia menatap Jaz lekat. "To be honest, aku nggak tahu, Jaz. Aku sebelumnya yakin semuanya akan baik-baik aja, tapi sekarang, setelah pulang, di sini sendiri sama Brandon, rasanya ada yang kurang. Maksudku, aku masih baik-baik aja, cuma," Mina mengedikkan bahu, "aku nggak tahu sampai kapan bisa sendirian."

"Oh, Mina." Dengan cepat, Jaz menghampiri sahabatnya dan memberikan pelukan erat. Dia mengelus punggung Mina dengan lembut. "Gue selalu di sini kalau lo perlu apa-apa."

Selama beberapa menit, tidak banyak yang Jaz dan Mina lakukan selain berpelukan. Tidak peduli bagaimana usaha Jaz untuk menempatkan dirinya di posisi Mina, mustahil baginya benar-benar merasakan apa yang sedang dialami Mina. Dia hanya bersimpati dan memberikan dukungan, sekaligus ada setiap kali Mina membutuhkannya. Menjadi perempuan sudah berat, ditambah menjadi single parent—setidaknya untuk sekarang sampai hasil tes DNA keluar.

Saat melepaskan pelukan, Mina menyeka air matanya. "Aku nggak nyangka rasanya akan seberat ini, Jaz. Aku mengira cukup kuat buat jalanin semua ini sendirian."

"Lo nggak sendirian, Mina," sahut Jaz cepat. "Dan lo perempuan kuat. Gue yakin lo bakal bisa ngelewatin ini semua. Gue kenal lo bukan baru kemaren."

Senyum yang tersungging di antara isakan Mina justru semakin membuat hati Jaz nyeri. "Aku takut, Jaz."

Kening Jaz mengerut. "Soal apa?"

"Gimana misalkan Richard memang bukan ayah Brandon? Apa yang harus aku lakuin? Karena hasil DNA itu jelas nggak akan bisa bohong."

Jaz membasahi tenggorokannya. Ada ganjalan yang terasa berat di sana, tetapi Jaz tidak ingin ikut terbawa emosi, setidaknya di depan Mina. Dia bisa menunda tangisnya hingga sampai di rumah nanti. Saat ini, dia harus tampil kuat karena Mina membutuhkannya. Semakin bertambahnya hari, keraguan Jaz tentang Richard pun semakin besar.

"Lo pasti udah mikirin kemungkinan itu, kan?"

"When it was too late."

Jantung Jaz tiba-tiba saja berdegup lebih kencang mendengar jawaban Mina. Dia memandang Mina, menuntut penjelasan yang lebih karena kalimat pendek itu tidak cukup menjelaskan maksudnya.

"Di awal-awal kehamilan, aku yakin Richard adalah ayah dari Brandon. Alasan aku nggak mau menggugurkan kandungan adalah karena keyakinan itu. Namun semakin waktu berjalan, aku makin ragu dan nggak mungkin aku menggugurkan kandungan." Mina menunduk sebelum kembali memandang Mina. "Ingatanku kabur malam itu, Jaz. Bagaimana misalnya aku salah dan udah nuduh Richard untuk sesuatu yang nggak dia lakuin? Jika memang itu yang aku lakukan, berarti aku udah ngehancurin hidup dia, Jaz."

Mulut Jaz kelu. Dia tidak bisa menemukan kalimat yang pas untuk membalas penjelasan Mina. Mengejutkan? Tentu saja. Terlebih kebencian Jaz kepada Richard dimulai dan terpelihara dengan baik karena Mina yakin bahwa Richard adalah pria yang ditidurinya. Ucapan Mina bukan hanya tidak disangkanya, tetapi membuatnya mempertanyakan sikap yang diberikannya kepada Richard selama ini.

Kalau Mina ragu, gimana gue? tanya Jaz bingung. Dia tidak mungkin menyuarakannya di depan Mina dan justru membuat sahabatnya itu semakin resah.

"Kenapa lo nggak cerita, Mina? Kenapa lo harus nyimpen semua itu sendiri? Lo tahu kan lo bisa cerita apa aja ke gue?"

"Aku cuma nggak mau menambahi beban kamu, Jaz. Kamu udah melakukan banyak hal buatku."

Jaz menarik napas, berusaha untuk tidak meluapkan kekecewaannya seperti yang biasa dia lakukan dulu sebelum semua ini terjadi. Seperti layaknya persahabatan yang sudah terjalin lama, mereka bukan hanya saling mengenal satu sama lain, tetapi juga diselipi perbedaan pendapat. Di antara dirinya dan Mina, Jaz mengakui bahwa dia memang jauh lebih gampang mengeskpresikan emosi yang dirasakannya sementara Mina akan lebih diam dan akan mengungkapkannya begitu dia mampu menganalisis semuanya dari segala sisi.

"Mina, gimana misalkan lo terlalu stres terus ngaruh ke kandungan lo? Lo pasti sadar kan lo nggak boleh terlalu kepikiran? Thank God semuanya baik-baik aja sampe Brandon lahir." Jaz lantas menggenggam tangan Mina. "Gue udah janji ke lo kita bakal ngelewatin ini sama-sama, kan? Kalau memang nanti hasil DNA nunjukkin Richard bukan ayah dari Brandon," Jaz menelan ludah, berat membayangkan kemungkinan yang rasanya telah berubah menjadi kenyataan, "kita bakal tetep berusaha nemuin cowok brengsek yang manfaatin kondisi lo malam itu, oke? Ini bukan end of the world, Mina. Gue bisa pastiin itu ke lo."

"Thanks, Jaz."

Belum sempat Jaz membalas, terdengar tangisan dari dalam kamar. Dengan segera Mina menyeka pipinya yang basah dan memandang Jaz.

"Aku ke dalam dulu, ya?"

Jaz langsung mengangguk, sementara Mina bangkit dari duduknya dan segera berjalan menuju kamar. Jaz hanya mengamati sahabatnya tersebut sementara pikirannya sudah dipenuhi banyak hal, terutama jika terbukti tuduhannya kepada Richard selama ini keliru. Mau tidak mau, suka tidak suka, Jaz harus meminta maaf kepada pria itu. Membayangkannya saja sudah membuat Jaz mual.

Dengan segera, Jaz mengeluarkan ponselnya dari dalam tas dan segera menghubungi Anggi. Cepat atau lambat, dia tetap harus memikirkan kemungkinan itu, dan hanya Anggi yang bisa memberikan opini yang tidak akan membuat paniknya semakin menjadi-jadi. Dia langsung menelepon Anggi.

"Anggi, ke apartemen gue, ya?" pinta Jaz begitu Anggi mengangkat panggilannya. "Urgent."

REVULSIONWhere stories live. Discover now