25 - RICHARD

269 31 4
                                    


"Rick, lo kenapa sih? Muka lo udah nggak jauh beda sama seprei tempat tidur lo yang jarang diganti."

Richard lebih tidak terima dituduh jarang mengganti seprei tempat tidurnya. Baginya itu pelecehan tingkat dewa! Maka dia pun melempar kulit jeruk yang tergeletak di atas meja di sampingnya ke arah Ruri, tapi tentu saja, asistennya tersebut dengan cepat menghindar. Namun dia harus mengakui, pengamatan Ruri sangat jitu karena hanya perempuan itu yang mengomentari tentang wajah kusutnya.

"It's been almost three weeks, Ru," balas Richard dengan suara lemah. "Yang berarti hasil tes DNA bakal keluar." Dia menelan ludah. "Besok." Mengucapkannya terasa menelan biji salak yang tidak cuma satu.

"Oh." Menyadari alasan Richard terlihat tidak bersemangat karena hasil tes DNA yang akan keluar, ekspresi Ruri berubah. "Lo mau gue temenin liat hasilnya besok?"

Sejujurnya, Richard memerlukan sokongan moral sebanyak mungkin demi mengantisipasi kemungkinan paling buruk. Namun dia tidak yakin ingin membagi moment yang akan menentukan hidup dan mati karirnya tersebut dengan orang lain.

"Thanks, Ru, but I'll be fine on my own."

"Lo yakin?"

Richard mengangguk mantap. "Karena gue nggak mau lo, atau siapa pun liat gue emosional, apa pun hasilnya besok."

"Really, Rick? Lo masih kasih gue alasan ngaco kayak gitu? Lo lupa gue selalu bisa nyium kebohongan lo? Saat ini, ucapan lo itu udah mirip bau bangkai ratusan tikus yang bisa bikin muntah satu kampung."

Tanpa bisa ditahan, Richard tertawa mendengar analogi yang diungkapkan Ruri. Dia memang tidak mengatakan yang sesungguhnya. "Ru, lo biarin gue bohong sekali aja kenapa, sih? Nggak enak tahu kebohongan gue ke-gap terus ama lo."

"Lo boleh bohong sama siapa aja, sama Beth juga gue nggak keberatan. Tapi sama gue," Ruri menggeleng mantap, "nggak akan gue biarin lo bohong. Ngapain coba kalau akhirnya bakal ketahuan juga?"

Mengembuskan napas lelah, Richard memijit pelipisnya. "Besok adalah saat krusial, Ru. Karir gue bakal ditentuin sama selembar kertas. Gue pengen mencernanya sendirian dulu supaya pas gue ngasih tahu lo, Beth, Evan, atau yang lain, gue udah nggak kebawa perasaan."

"Nggak susah jujur ke gue, kan? Lo kayak masih mikir gue bakal nge-judge lo aja." Menyelonjorkan kaki, Ruri dengan serius menatap Richard. "Oke kalau lo nggak mau ditemenin, gue ngerti. Tapi please jangan nyetir abis itu. Lo bonyok sebadan-badan sih nggak papa, tapi kalau sampai bahayain nyawa orang lain, lo juga yang repot. Kabarin gue misalkan lo mau pergi-pergi. Nggak papa deh jadi sopir lo sehari aja, demi keselamatan orang banyak."

Richard memang telah memilih agar pemberitahuan hasil tes DNA dikirimkan melalui surel. Dengan begitu, dia bisa mengaksesnya dari mana saja. Meskipun masih harus login untuk melihat hasilnya, Richard merasa pilihannya sangat efektif dan tidak memakan waktu.

"Gue memang nggak berencana pergi ke mana-mana besok, terlepas dari hasilnya. Kecuali ke gym dan gue bisa naik taksi."

"Pokoknya lo kabarin gue begitu tahu hasilnya."

"Pasti, Ru. Karena kalau hasilnya positif, gue mau lo segera atur soal press conference. Makin cepet makin baik."

"Kalau hasilnya negatif? Lo masih mau bikin konferensi pers?" potong Ruri.

Richard punya banyak waktu menimbang keputusan yang harus diambilnya. "Nggak perlu. Gue nggak mau bikin masalah ini makin panjang misalkan hasilnya negatif. Lo kayak nggak tahu media sini kayak apa. Semuanya bakal digoreng dan nggak akan abis-abis. Gue mau fokus ke Revulsion aja."

Ruri bergumam pelan. "Tumben lo nggak mau bales perlakuan Jaz ke lo. Apakah lo lagi kesambet setan baik hati?"

"Jadi kayak lingkaran setan misalkan gue bales semua perlakuan dia ke gue. Lagian kan dia yang bakal malu udah nuduh orang sembarangan, bukan gue. Terserah dia mau minta maaf atau nggak, gue nggak peduli. Yang penting tuduhan itu udah nggak berlaku buat gue."

Richard memang tidak ingin memperpanjang perseteruannya dengan Jazmine—sekalipun tidak ada jaminan dia akan bisa menahan diri setiap kali Jazmine melontarkan tuduhan tanpa dasar—karena mau tidak mau, perempuan itu sudah resmi menjadi lawan mainnya. Sebagai orang yang tahu panjangnya proses syuting film, mempertahankan sikap saling tuduh dan tidak suka hanya akan mempersulit hari-hari yang akan mereka jalani. Richard hanya ingin syuting film ini selesai agar dia bisa berpindah ke project lain dan melupakan Jazmine.

"Yakin lo bakal bisa nahan diri kalau ketemu dia lagi?"

"Selama dia nggak mulai duluan, gue yakin bisa," sahut Richard. "Selama ini kan selalu dia yang mancing reaksi gue. Begitu hasilnya keluar—positif atau negatif—gue yakin dia bakal berhenti."

"Bagus deh kalau lo punya pikiran begitu. Seenggaknya nggak nambah-nambahin kerjaan gue." Ruri menurunkan kaki sembari meraih ponselnya. "Lo emang nggak ada jadwal apa-apa besok, tapi lusa, jangan lupa lo ada meetingsama Kora buat bahas fashion show dia."

"Gue masih nggak ngerti kenapa dia ngebet banget pengen pake gue. Kan gue udah lama banget nggak jalan di runway."

"Daripada lo nggak ada kerjaan, Rick." Mencangklong tasnya, Ruri bangkit dari sofa sebelum menghampiri Richard. "Gue kasih lo support dari jauh buat besok. Tapi feeling gue bilang hasilnya bakal negatif."

Richard hanya mengamini ucapan Ruri. "Thanks, Ru. I need miracle."

"Masih mau gue bikinin reservasi buat malam ini ke Koma?" tanya Ruri merujuk ke salah satu fine dining restaurantyang biasa didatangi Richard sebelum hari-hari penting. Besok jelas masuk sebagai hari yang penting.

"Boleh. Gue nggak tahu apakah lo masih bisa dapet meja buat gue, tapi coba aja."

"Halah, mereka udah kenal lo karena tiap kali ke sana juga lo nggak pernah liat menu mereka. Pasti dikasihlah."

"Okay, do that then."

Ruri meremas pundak Richard pelan. "Ya udah, gue jalan dulu. Lo nggak usah mikir macem-macem, Rick. Hajar aja besok."

"Lo ati-ati di jalan."

"Jujur, gue lebih suka Richard Ackles yang perhatian dan super sweet begini." Selepas mengucapkan itu, Ruri berlari kecil menjauh dari Richard, berusaha menghindari semprotan pria itu. Richard hanya bisa tergelak mendapati asistennya yang seperti maling yang kepergok warga.

Begitu dia sendirian, pikiran Richard hanya diisi betapa berbeda hidupnya besok, di waktu yang sama. Apakah lebih baik atau lebih buruk, dia tidak tahu. Jika ditanya apakah dirinya siap menjadi ayah, Richard tanpa ragu akan menjawab tidak. Namun andai darahnya mengalir di tubuh anak Mina, dia yakin akan ada ikatan yang menuntunnya untuk menjadi ayah.

Richard menyingkirkan kemungkinan paling buruk itu—bukan menjadi ayah, tetapi karirnya yang akan kena imbas—dan bangkit dari duduk. Menekuri ponsel, dia mencari nomor yang selalu dihubunginya untuk sekadar melepaskan stres.

"Scarlett, can you come tonight? We can meet at Koma beforehand." Tidak ada senyum yang menghiasi wajah tegas Richard kali ini. "Excellent! Okay, I'll see you tonight."

Begitu sambungan berakhir, Richard melemparkan ponselnya ke atas sofa. Dia sebenarnya tidak menginginkan Scarlett untuk menemaninya malam ini, tapi Richard perlu mengalihkan pikiran dari hari besar yang menunggunya besok. Hanya Scarlett yang mampu melakukannya.

REVULSIONWhere stories live. Discover now