30 - JAZMINE

265 27 1
                                    


"Kamu masih lama syutingnya?"

Pertanyaan itu diajukan Daniel ketika dia dan Jaz sedang duduk di sofa, menonton (500) Days of Summer yang direkomendasikan Priya sebagai salah satu bahan referensi. Jaz tidak ingat pernah menonton film ini sebelumnya atau belum, tetapi setiap adegan antara Joseph Gordon-Levitt dan Zoey Deschanel terlihat asing baginya.

"Kalau nggak molor, mungkin sebulanan lagi. Gue nggak tahu apakah di dunia film ada jadwal molor kayak di sinetron dan webseries atau nggak. Dari yang aku denger harusnya nggak ada." Dia menekan tombol pause sebelum memandang Daniel yang duduk di sebelahnya. "Kenapa?"

"Cuma ingin tahu," balas pria itu singkat.

"Daniel, lo itu nggak punya setitik pun bakat buat bohong. Jadi mendingan lo ngasih tahu gue alasan sebenernya karena gue udah hafal lo nggak akan nanya karena ingin tahu doang. Pasti ada lanjutannya."

Daniel tersenyum, seolah perkataan Jaz barusan merupakan pujian yang membuatnya tersipu. "Kamu syutingnya di Bali, sementara aku di sini. Kita akan pisah. Will it be okay if I visit you on the weekend? Itu juga kalau nggak mengganggu proses syuting. Aku cuma nggak puas kalau kita hanya video call."

Jika yang mengatakan itu adalah pria lain, Jaz dengan cepat akan memberikan label needy dan dalam hitungan hari, akan menciptakan alasan kuat mengakhiri hubungan. Namun mendengarnya dari Daniel, ada kesungguhan yang sulit ditepis. Jaz sangat sadar, jika mengizinkannya, Daniel akan menepati janji untuk terbang ke Bali setiap akhir pekan hingga syuting di Bali selesai.

"Lo nggak keberatan beli tiket Jakarta-Bali tiap minggu cuma buat ketemu gue?"

"Kalau kamu bukan pacarku, aku pasti akan berpikir ribuan kali. Tapi karena kamu pacarku, rasanya kalau kamu syuting di Papua pun, aku nggak akan keberatan datang tiap minggu supaya bisa ketemu kamu."

Jaz tersenyum menyadari Daniel sudah dengan lihai menangkap sarkasmenya. Pria itu sudah mampu membedakan ucapan Jazmine mana yang serius dan mana yang tidak. Kalimat yang didengar Daniel merupakan sebuah candaan.

"Gue belum tahu jadwal syutingnya akan kayak gimana, tapi cewek mana sih yang nolak ditawarin begituan, Dan? Ya bolehlah. Gue justru seneng karena setelah syuting, gue lihatnya lo, bukan yang lain."

Kali ini Daniel tertawa sebelum mendekatkan tubuhnya untuk mencium Jaz. "Okay, that's settled, then."

Jaz menekan tombol play untuk melanjutkan adegan yang sempat tertunda. Namun pikiran Jaz memang sudah tidak langsung tancap sejak adegan pembuka dimulai. Jika dulu bayangan beradu akting bersama Richard diyakininya bisa dilewati—karena rasa benci yang begitu besar hingga mustahil dirinya bisa terseret pesona Richard Ackles—Jaz mulai menemukan keraguan bahwa melakukan adegan romantis bersama pria itu akan cukup menantang. Sedangkan Priya menegaskan bahwa chemistry antara dirinya dan Richard adalah yang paling utama. Produser, sutradara, penulis naskah, dan semua yang terlibat dalam produksi tidak peduli cara yang harus ditempuh Jaz agar membuat mereka percaya, bahwa dirinya benar-benar jatuh cinta kepada Richard, seperti Claudia dan Brian.

"Siapa nama lawan main kamu, Jaz? Aku lupa."

Jaz mengumpat keras di dalam hati ketika menyadari pertanyaan Daniel. Pertanyaan yang tidak salah, hanya datang di saat yang tidak pas.

"Richard Ackles. Kenapa?" Untuk kedua kalinya, Jaz menekan tombol pause karena sekali lagi, Daniel tidak akan bertanya tanpa alasan.

"Aku nggak perlu khawatir kan sama dia?"

Jaz dengan cepat menoleh agar bisa memastikan pendengarannya tidak salah menangkap kata-kata yang dilontarkan Daniel. "Kenapa harus khawatir?"

Tatapan yang diberikan Daniel sekarang seolah menganggap ketidaktahuan Jaz sebagai sebuah kekonyolan. "Jaz, aku pria normal, senormal penglihatanku. Tapi aku nggak akan segan bilang dia pria yang sangat menarik. Itu fakta yang sulit dibantah. Will you able to resist his charm?"

Kekhawatiran Daniel memang terasa konyol, tapi Jaz tidak ingin menertawakannya. Dia diam, menempatkan dirinya di posisi Daniel agar bisa memahami alasan pria itu sampai harus memberitahu Jaz mengenai ketakutannya.

"Daniel, in case lo lupa, Richard adalah cowok yang sebelumnya gue tuduh menghamili Mina sampai gue benci banget sama dia. Apakah itu alasan yang cukup buat lo? Karena gue bisa bilang, cuma ada satu hal yang bisa bikin gue milih sama dia."

Daniel mengerutkan kening, seolah bingung dengan betapa kontrasnya penjelasan Jaz. "Aku nggak paham, Jaz."

"Gue bakal milih dia kalau neraka bisa membeku alias nggak akan pernah terjadi."

Daniel ber-oooh paham. "Tapi kan sudah terbukti dia bukan ayah Brandon?"

Jaz mengangguk. "Dan itu bukan berarti perasaan gue berubah haluan sama dia. Gue masih berusaha supaya nggak maki-maki dia setiap kali kami ketemu." Mengingat pertemuan mereka saat harus reading pertama kali, ingin rasanya Jaz menggerutu kesal. "Jadi lo nggak perlu khawatir. Dia cowok terakhir yang bakal gue pilih."

"Did you apologize to him?"

Pertanyaan itu jelas tidak terduga hingga Jaz menutup kembali mulutnya yang sudah terbuka. Menyadari dia bisa saja mengatakan sesuatu yang keliru—seperti menyebutkan aroma pinus dan lemon yang masih bisa dihidunya—Jaz menggeleng.

"Kenapa, Jaz?"

"Karena dia nyebelin, Daniel. Gue nggak punya alasan lain. Karena niat gue minta maaf nggak ditanggepin sama dia." Jaz dengan sengaja mengabaikan fakta bahwa Richard berada sangat dekat dengan wajahnya, bahkan sampai berucap tepat di telinganya. Mengungkapkannya kepada Daniel hanya akan memunculkan masalah yang seharusnya bisa dihindari. "Tapi gue sama Anggi udah nyusun surat terbuka yang bakal kami post di sosial media gue dan juga ke beberapa portal berita sebagai permintaan maaf. Seenggaknya itu yang bisa gue lakuin karena nggak bisa minta maaf langsung sama dia."

Mendengar itu, Daniel tampak lega karena raut mukanya menjadi sedikit lebih rileks. Jaz sempat ingin bertanya alasannya, tetapi mengenal pria itu, Jaz tahu alasan seperti apa yang akan diutarakan Daniel.

"I think that's a terrific idea."

"Gue nggak mau dianggap pengecut, Dan. Gue salah, dan gue harus berani mengakuinya."

Pernyataan itu diganjar Daniel dengan sebuah senyum sebelum pria itu mengulurkan lengan untuk meraih tangan Jaz dalam genggamannya. "I'm so proud of you, Jaz. Nggak banyak orang yang berani mengakui kesalahan. Apalagi dengan posisi kamu sebagai public figure, aku yakin banyak pertimbangan yang harus kamu lakukan sebelum memutuskan untuk melakukannya."

Dengan lembut, Jaz mengusap punggung tangan Daniel. "Gue nggak mau dikejar perasaan bersalah, Dan. Lagipula kami akan main film bareng. Gue nggak mau nyimpen perasaan nggak suka itu, apalagi buktinya udah ada kalau gue salah. Gue mau move on, dan nggak mau hubungan gue sama dia selama syuting jadi aneh."

Daniel mengangguk, sepertinya paham dengan maksud Jaz. "Aku bisa membayangkan misalkan kalian masih saling nggak suka, sementara kalian harus berperan jadi sepasang kekasih." Dia menggeleng pelan. "Aku benar-benar nggak tahu bagaimana kalian bisa jadi orang lain dan mengesampingkan perasaan kalian demi alasan profesionalitas, Jaz. I really admire your job."

Tawa kecil Jaz lolos dari mulutnya. "Nggak ada bedanya sama kerjaan lain, Dan. You just need to be professional, that's it." Dengan pelan, Jaz menggeser duduknya agar lengan Daniel bisa memeluknya. Dia kemudian menyandarkan kepala pada pundak pria itu. "Gue juga nggak tahu harus ngapain kalau nggak akting. Itu satu-satunya yang gue tahu." Jaz merasakan usapan lembut jemari Daniel pada lengannya.

"Hmm, aku yakin ada banyak hal yang bisa kamu lakukan, Jaz. Mungkin kamu belum menyadarinya. You're an amazing woman, Jaz, and I believe there are other things than acting that you can do."

Bersikap sentimental tidak ada dalam kamus Jaz malam ini, maka dia meraih kembali remote control dan menekan tombol play. Dia perlu mengalihkan pikirannya dari Richard dan juga kemungkinan lain yang bisa dilakukannya dalam hidup selain akting.

"Let's watch the film," ujar Jaz.

Balasan yang diberikan Daniel adalah mengecup ujung kepala Jaz. 

REVULSIONWhere stories live. Discover now