64 - JAZMINE

249 29 4
                                    


Pandangan Jaz tidak beralih dari Mina yang dengan saksama mendengarkan rekaman percakapan Richard dan Evan.

Ketika mendapatkan pesan suara dari Richard, tanpa menunggu lama Jaz langsung mengunduh dan mendengarkannya. Beruntung hanya ada Anggi di dekatnya hingga Jaz bisa dengan leluasa melampiaskan kekesalan mendengar ketidakpedulian Evan. Bukan hanya kepada Mina—penolakan pria itu melakukan tes DNA dan asumsinya bahwa Mina tidur dengan banyak pria—tetapi juga sikapnya terhadap Richard. Tangannya sempat terkepal dan rentetan sumpah serapah dilontarkannya hingga Anggi yang mendengarnya hanya bisa diam.

Selepas itu, dia langsung menelepon Richard karena ingin tahu keadaannya. Meski dari suaranya Richard terdengar lesu, pria itu mengatakan dirinya baik-baik saja. Jaz tentu saja tidak percaya, tetapi dia tidak mendesak Richard agar menumpahkan semuanya. Jaz mengingatkan dirinya bahwa akan ada saatnya Richard menceritakan kepadanya tentang apa yang baru saja terjadi.

Jika bukan karena Anggi dan juga pesan Richard, Jaz pasti sudah memesan tiket ke Bali dan mencari di setiap sudut pulau itu untuk menemukan Evan. Kemarahannya begitu besar hingga logikanya sempat tumpul selama beberapa saat. Beruntung dia kemudian tahu bahwa melabrak Evan dan menuntut pria itu bertanggung jawab atas kehamilan Mina hanya akan berujung pada kesia-siaan.

Namun di antara kemarahannya, Jaz bersumpah akan membuat Evan membayar sikap tidak pedulinya. Dia hanya belum menemukan caranya.

Jaz tidak langsung menemui Mina karena dia tidak ingin sahabatnya itu melihatnya kehilangan kendali. Dia juga ingin bisa bersikap tenang—setenang Richard saat menghadapi Evan—agar logikanya tidak tertutup emosi sesaat. Setelah merasa dia mampu mengendalikan kemarahan, Jaz datang ke apartemen Mina setelah sebelumnya mengabari ada hal penting yang ingin disampaikannya.

Jaz juga dengan tenang meminta Mina duduk ketika dia mengatakan bahwa Richard berhasil membuat Evan mengaku. Namun Jaz menambahkan agar Mina tidak histeris dan bisa mematikan rekaman itu kapan saja. Mina pun menyetujuinya.

Sekalipun bukan pertama kali, Jaz masih kesulitan menahan darahnya tidak mendidih. Dia ingin sekali membuat hidup Evan menderita. Saat dia memperhatikan Mina, sahabatnya itu mendengarkan dengan saksama. Tidak banyak kalimat yang diucapkan, tetapi dari ekspresi wajahnya, Jaz tahu ada banyak yang ingin ditumpahkan Mina.

"Lo nggak perlu denger sampai selesai kalau emang lo nggak sanggup," ulang Jaz mengingatkan Mina.

Namun Mina menggeleng. "Aku harus, Jaz. Karena kalau nggak seperti ini, aku akan terus punya pertanyaan."

Maka Jaz kembali diam.

Namun ketika sampai pada tuduhan Evan yang sangat merendahkan Mina dan melihat sahabatnya menitikkan air mata, Jaz meraih ponselnya yang ada di depan Mina dan mematikannya.

"Gue nggak akan biarin lo nyiksa diri kayak gini, Mina. Udah cukup lo denger, kan?"

"Please, Jaz. Aku harus denger sampai selesai."

Jaz tentu saja tidak tega menyaksikan kedua pipi Mina yang sudah basah. Namun di sisi lain, dia juga sadar bahwa Mina perlu jawaban atas semua pertanyaan yang selama ini tidak mampu dia temukan.

Dengan berat hati, Jaz kembali memutar rekaman tersebut. Beruntung durasinya hampir mendekati akhir hingga ketika rekaman benar-benar selesai, Jaz langsung melempar ponselnya ke atas sofa dan memeluk Mina erat.

Sahabatnya itu menangis sejadi-jadinya. Jaz percaya, tidak ada kalimat yang mampu menenangkan Mina hingga yang dilakukannya hanyalah mengelus pelan punggung Mina dan mendengarkan tangisnya yang semakin kencang. Jaz sadar, Mina perlu meluapkannya setelah semua kebingungan yang melanda.

"Asal lo tahu, Mina. Lo nggak akan pernah sendirian. Gue bakal selalu ada di samping lo. Sampai kapan pun." Jaz mengucapkan itu sembari menyeka pipi Mina yang basah. "Lo nggak butuh cowok kayak Evan buat hidup karena gue juga nggak akan ngebiarin itu terjadi. He's an asshole and he will keep on being one, no matter what happens. Dia juga nggak akan pernah jadi ayah yang baik buat Brandon. Lo harus mulai mikir bahwa lo beruntung nggak berakhir sama pria kayak gitu."

Mina mengangguk meskipun tangisnya belum sepenuhnya reda.

"Sekarang lo udah punya jawaban atas semua pertanyaan yang selama ini nggak tahu harus nyari ke mana. Lo tahu harus jawab seperti apa misal suatu hari Brandon nanya tanpa harus bohong. Tapi yang paling penting, lo bisa ngelanjutin hidup tanpa ganjalan, Mina. Lo bisa fokus gedein Brandon. Jadi lupain Evan dan jangan biarin kata-kata dia masuk ke otak lo. He's nobody. Dan gue percaya banget, suatu saat, kalau waktunya pas, akan ada cowok yang bisa ngasih lo semuanya. Yang cinta mati sama lo dan mau nerima Brandon. Gue nggak ragu soal itu."

Jaz kembali memeluk Mina, kali ini lebih erat hingga tangis perempuan itu benar-benar habis. Ketika kembali memandangnya, Mina tampak lebih lega. Namun Jaz tahu, masih banyak yang tidak ditunjukkan Mina di hadapannya. Dan Jaz tidak punya hak mendesak agar Mina mencurahkan semuanya sekarang. Dia akan memberi Mina waktu.

"Berarti aku nggak gila, Jaz." Mina mengikuti kalimat pendek tersebut dengan sebuah tawa kecil. "Berarti instingku memang kuat."

"Insting perempuan jarang meleset, Mina. Apalagi lo udah ada Brandon. Lo lagi apes aja dapet cowok kayak Evan yang rasanya pengen gue gampar bolak-balik."

"Please don't."

"Nggak. Gue nggak akan ngelakuin itu. Richard juga udah pesen supaya gue nggak hilang kendali atau gegabah. Nggak ada gunanya juga. Evan nggak akan berubah pikiran sekalipun gue labrak dia atau gue tendang tuh kemaluannya."

Kalimat itu berhasil membuat Mina tertawa. "Aku nggak bisa bales apa-apa selain bilang terima kasih, Jaz."

"Mina, lo kayak sama orang lain aja. Lo tahu gue akan selalu bantuin lo karena gue yakin, kalau kita tukar posisi, lo pasti juga akan ngelakuin hal yang sama."

Mina mengangguk. Dia mengusap ujung air matanya yang masih basah sebelum menarik napas panjang. "Richard nyebut kamu sebagai salah satu orang yang dia peduliin. That means something, Jaz."

"Mina, nggak penting banget bahas soal itu sekarang. Fokusnya sekarang ada di lo dan Bran—"

"Dan aku nggak akan lupa itu," potong Mina. "Tapi kamu juga nggak bisa terus-terusan nunda buat bilang ke Richard soal perasaan kamu, Jaz. You deserve to be happy as well. Kamu butuh pembuktian apa lagi dari dia? Seenggaknya, dia berbeda jauh dari Evan. Kamu beruntung."

Jaz sudah bersiap membalas ucapan Mina, tetapi mulutnya terkatup. Dia tidak tahu apakah beruntung adalah kata yang pas, tetapi sulit menepis perasaan lega bahwa kemiripan Richard dan Evan memang sekadar tentang fisik. Sifat mereka sungguh sangat berbeda.

Bohong jika Jaz tidak merasa kaget saat Richard mengatakan supaya Evan menjauh dari orang-orang yang dia pedulikan dan namanya disebut. Dia yakin pria itu mengatakannya bukan untuk membuat hatinya luluh, tetapi karena memang pria itu mengungkapkan yang sebenarnya. Tidak ada debar yang dirasakannya, tetapi justru aman karena tahu Richard melindunginya, apa pun definisinya.

"Go after him, Jaz," ucap Mina. "Aku nggak mau kamu kecewa karena terlambat sadar tentang Richard."

Jaz hanya mengangguk. "Gue bisa ke Bali dan bilang ke dia soal perasaan gue."

"Cepat cari tiket dan aku tunggu cerita lengkapnya."

Mendengar itu, Jaz tidak mampu menahan tawa. Dia pun kembali memeluk Mina dan menyadari rasa kehilangan Richard akan Evan pasti luar biasa hebat. Dia beruntung memiliki Mina dan berharap, Richard baik-baik saja.

Tunggu gue, Rick, ujarnya dalam hati.

REVULSIONWhere stories live. Discover now