41 - RICHARD

199 29 1
                                    


Semalam Richard gelisah hingga dia kesulitan memejamkan mata. Bahkan dia sampai harus mengenakan penyumbat telinga, berharap suara-suara binatang malam yang saling bersahutan—yang biasanya dia anggap sebagai pengantar tidur—bisa dia redam agar mampu terlelap. Namun matanya tetap terjaga hingga jarum jam menunjukkan pukul satu lebih lima belas menit.

Penyebabnya hanya satu: syuting hari ini adalah adegan besar Brian dan Claudia.

Sejak acara makan malam bersama Beth dan juga Daniel, tidak ada kesempatan yang dilewatkan Richard untuk mengontrol perasaannya terhadap Jaz. Berulang kali, dia mengingatkan diri bahwa Jaz sudah menjadi milik Daniel, dan debar yang dirasakannya adalah efek dari peran Brian. Dua alasan itu harusnya cukup mengingatkan Richard bahwa Jaz berada di luar jangkauannya.

Namun nyatanya, sangkalan itu justru punya efek sebaliknya.

Semakin dirinya yakin bahwa yang mulai merambatinya hanyalah konsekuensi dari peran Brian, dia semakin dihinggapi ragu. Namun Richard masih mampu memperlihatkan sikap biasa di depan perempuan itu hingga Jaz tidak perlu mempertanyakan apa pun.

Adegan utama yang akan mereka ambil hari ini adalah ketika Brian dan Claudia pertama kali ciuman setelah Brian menyatakan perasaannya kepada Claudia. Perjalanan mereka untuk sampai ke titik tersebut diwarnai berbagai macam kesalahpahaman dan kebencian sebelum keduanya sadar, perasaan tidak suka yang ada dilandaskan pada perasaan saling suka yang terpendam.

Richard tahu, dirinya belum sampai di tahap seperti Brian—tentang yang dirasakannya terhadap Jaz—tetapi kesamaan yang ada di antara dia dan Jaz serta Brian dan Claudia, sekalipun sedikit, sempat membuat Richard tertegun.

Berdeham pelan, Richard berusaha fokus dan tidak melamun karena enggan dihujani dengan berbagai pertanyaan oleh Jaz dan kru lain. Dia kembali memastikan dialog yang akan diucapkannya sudah dia ingat dengan benar dengan bergumam.

"Gue deg-degan."

Suara itu punya dua efek yang menghampiri Richard di waktu yang berdekatan. Satu, dia tidak melihat kedatangan Jaz hingga ucapan perempuan itu cukup mengejutkannya. Dua, jantungnya berpacu cepat seolah dirinya sedang berlari maraton. Bukan jenis distraksi yang diharapkan Richard akan menghampirinya, terlebih sebelum adegan penting yang akan mereka ambil.

"Kenapa? Karena lo harus nyium gue?" Demi menutupi kegugupannya sendiri, Richard mengarahkan telapak tangan di hadapan mulut sebelum mereka adegan layaknya iklan penyegar mulut. "Napas gue nggak bau, kok. Lo nggak perlu khawatir. Gue nggak makan bawang putih atau ikan tuna dari dua hari lalu. Khusus supaya lo nggak trauma kalau disuruh Raya nyium gue berkali-kali."

Kata-kata itu disambut Jaz dengan memutar bola mata. "That's so funny, Richard," tukas Jaz dengan intonasi sarkasme yang dibuat-buat.

"Lo emangnya gugup kenapa? Kita udah rehearsal, dan kecuali gue nggak tahu, lo nggak punya alasan buat benci nyium gue karena kita udah nggak musuhan lagi kayak dulu. Harusnya lo lega karena partner lo di scene ini gue. You know me, Jaz. Dan gue yakin, lo nggak akan kesulitan nunjukkin emosi Claudia."

Richard memperhatikan Jaz yang memang tidak berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. Mengenal perempuan itu jauh lebih baik sejak mereka berdamai, cukup bagi Richard untuk menandai beberapa jenis emosi yang dirasakan Jaz.

"Mungkin karena gue nggak mau ngecewain lo, makanya gue gugup."

Balasan itu ditanggapi Richard dengan kerutan di kening. "Okelah kalau gue ini sekaliber Christian Bale, pantes banget lo gugup. Gue aja sekuku dia nggak ada, pake gugup segala. Ngejek nih ceritanya?"

Godaan tersebut ditanggapi Jaz dengan meninju pelan lengan Richard, yang kemudian berpura-pura bahwa pukulan Jaz membuatnya ngilu. Perempuan itu kembali memutar bola matanya.

"Kalau gue gugup, pasti bisa ketangkep kamera. Akting gue bakal keliatan jomplang banget sama lo yang," Jaz mengamati Richard dari ujung kepala hingga ujung kaki, "keliatan tenang kayak gini. Lo emang nggak gugup?"

Andai aja lo tahu, Jaz, kegugupan gue mungkin jauh lebih besar daripada yang lo bayangin, jawab Richard dalam hati.

"Gue belajar dari banyak aktor yang lebih senior, kalau rasa itu jauh lebih penting. Meski selama ini gue main film laga, tetep harus ada rasanya supaya tiap kali ada adegan berantem, nggak keliatan kayak gue udah latihan berbulan-bulan. Apalagi film romantis kayak gini." Richard berdeham pelan. "Jaz, kita punya chemistry, nggak peduli sekalipun diawali oleh sesuatu yang nggak baik. Gue yakin kamera bisa nangkep itu." Dia lantas memandang Jaz lekat, menikmati setiap lekukan di wajah perempuan itu serta menahan godaan untuk mengulurkan tangan dan membelainya. Maka dari itu Richard menggenggam naskah di tangannya sedikit lebih kencang. Dia tidak ingin melakukan kesalahan fatal yang akan menghancurkan chemistry yang sudah dibangunnya bersama Jaz. "Kita bakal baik-baik aja. Bayangin aja gue Daniel, gue nggak akan marah misalkan itu justru bantu lo buat ngilangin gugup."

Ada diam yang melayang di antara keduanya sebelum Jaz mengangguk. "Gue bisa kok bayangin lo sebagai Brian. Nggak perlu bawa-bawa Daniel juga."

Sebelumnya, kalimat seperti itu tidak akan dianggap lain oleh Richard. Namun setelah bertemu Daniel dan cerocos panjang Beth tentang canggung yang sempat mengisi meja makan malam mereka, Richard mengendus sesuatu yang lain.

"Lo baik-baik aja sama Daniel, kan?" Begitu pertanyaan itu terlontar, Richard langsung menyadari kesalahannya. "Gue bukannya pengen tahu, sorry kalau pertanyaan gue terlalu personal. Gue cuma nggak pengen konsentrasi lo kepecah sama urusan pribadi."

"Biasalah, bukan pacaran kalau nggak berantem, kan?" Jaz mengikuti balasan itu dengan sebuah senyum. "Tapi lo nggak perlu khawatir, gue sangat profesional orangnya. Mau gue ada masalah besar pun, gue udah dibayar buat jadi Claudia, bukan buat jadi Jaz."

Ada banyak yang ingin diungkapkan Richard, tetapi dia menahannya. Dia lantas mengangguk. "Tapi lo bisa cerita ke gue misalkan ada yang pengen lo ceritain. Ya gue tahu sih, gue bukan orang paling deket sama lo, tapi film ini bergantung sama kita berdua, Jaz. Gue mau lawan main gue bisa percaya sama gue. That makes everything easier in the long run."

"Gue cukup percaya kok sama lo." Jaz meloloskan tawa kecil sembari menggeleng. "Gue beneran nggak percaya bisa bilang begitu soal Richard Ackles." Dia mengalihkan pandangannya dari Raya ke Richard. "Tapi gue seneng kita bisa jadi kayak gini. No bad blood, no grudges, no hard feelings."

Belum sempat Richard membalas, mereka kemudian mendapatkan panggilan untuk bersiap di posisi masing-masing. Selepas tim wardrobe dan make-up memastikan tampilan mereka sesuai dengan adegan yang akan mereka ambil, keduanya beranjak menuju ke titik yang ditunjuk Raya.

"Lo bilang ke gue kalau gue kelepasan, ya?"

"Lo bilang apa, Richard? Gue nggak denger."

Richard berniat mengulangi kalimat sebelumnya, tetapi dia memutuskan untuk tidak melakukannya. Lebih baik Jaz tidak mendengarnya daripada perempuan itu justru bersikap bingung dengan kata-kata Richard. Karena Richard yakin, Jaz pasti tidak akan paham dengan ucapannya.

"Lo siap?" tanya Richard.

Kali ini, Jaz mengangguk. "Karena gue bisa percaya sama lo. Let's crush this."

Richard membalasnya dengan sebuah kedipan mata.

"Camera ... rolling ... and action!"

REVULSIONWhere stories live. Discover now