21 - RICHARD

238 26 1
                                    


Sudah hampir sepuluh menit pandangan Richard menatap langit-langit kamarnya. Kepalanya masih terasa begitu pening, seperti ratusan palu mengetuk tempurung kepalanya pada saat yang bersamaan. Satu hal yang melegakan Richard adalah tidak adanya pekerjaan yang harus diselesaikannya hari ini.

Sudah dua malam ini dia menyiksa ginjalnya dengan meneguk minuman keras hingga dirinya mabuk dan tidak sadarkan diri. Satu hal yang dipelajarinya sejak menjadi public figure adalah tidak mabuk di tempat umum. Maka dari itu, ketika membeli unit apartemen ini, dia sengaja menjadikan satu sudutnya sebagai mini bar, tempat dia bisa minum sampai teler tanpa harus memikirkan siapa yang akan memergokinya, atau kekhawatiran media akan memberitakannya. Setidaknya di apartemen, dia bisa bebas.

Tidak lama setelah dari Aksara Awards dan mengetahui Mina sedang dalam proses bersalin, Richard memang ke The Oak. Namun berada di sana tidak cukup untuknya. Maka dia pun pulang dan minum sampai tubuhnya tidak lagi mampu menerima kucuran alkohol. Semalam dia melakukan hal serupa untuk menumpulkan pikirannya dari Mina. Ada ketakutan yang tidak mampu dia ungkapkan.

Bel pintu apartemennya berbunyi. Richard mengabaikannya karena masih terlalu malas bangkit dari tempat tidur. Namun bunyi bel itu tidak juga berhenti.

"Siapa sih?" teriak Richard dengan suara parau. Namun tentu saja siapa pun yang ada di depan pintu tidak bisa mendengarnya.

Dengan malas, Richard akhirnya bangkit dari tempat tidur. Masih mengenakan celana boxer tanpa atasan, dengan rambut yang berantakan dan muka yang lesu, dia berjalan sempoyongan menuju pintu. Bahkan dia tidak repot-repot mengintip dari lubang pintu untuk mengetahui siapa yang mengganggu ketenangannya hari Minggu seperti ini.

Begitu membuka pintu, Richard sedikit kaget menemukan Evan berdiri di depannya.

"Man, you look like shit!"

Ucapan Evan tersebut disambut Richard dengan senyum lemah. "Tumben banget lo ke sini hari Minggu begini," balas Richard masih dengan suara parau. "Nggak get laid lo semalem?"

"Nggak penting soal gue karena sekarang kondisi menyedihkan lo ini jauh lebih urgent." Evan menggeleng tidak percaya. "Juga karena lo nggak mau angkat telepon dari Ruri, dan dia sangat kenal sama lo kalau udah begini. Gue harapan terakhirnya buat nyadarin lo." Tanpa menunggu Richard membuka pintu lebih lebar, Evan masuk ke apartemen. "Kayaknya gue dateng di saat yang pas."

Dengan malas, Richard menutup pintu sebelum dia mengikuti Evan yang masih berdiri di ruang tengah sambil memandang beberapa botol minuman keras yang masih tergeletak di lantai dan di meja.

"Don't say anything," pesan Richard saat melihat Evan berpaling ke arahnya dengan mulut terbuka dan siap mengatakan sesuatu. Menyeret langkah, Richard kemudian duduk di sofa sementara Evan masih berdiri.

"Seenggaknya, biarin gue nyingkirin botol-botol kosong ini supaya nggak kotor banget apartemen lo."

Maka Richard hanya diam menyaksikan Evan membersihkan ruang tengahnya. Dia tahu, jika bukan Evan atau Ruri yang ke sini, tempat ini akan tetap berantakan entah sampai kapan. Dia terlalu malas membersihkannya. Dia bahkan hanya mengangkat alis ketika mendapati Evan meraih vacuum cleaner dan mulai membersihkan ruang tamunya. Tidak ada percakapan yang terjadi di antara mereka hingga Evan selesai.

Sahabatnya itu kemudian duduk di depannya. Evan menyatukan kedua tangannya sembari mencondongkan badan. Matanya fokus memandang Richard. "Meski gue bisa nebak alasan lo jadi begini, gue bakal tetep nanya. Lo kenapa?"

"Gue yakin Ruri udah ngasih lo penjelasan panjang lebar. Gue nggak perlu ngulangin lagi, kan?" jawab Richard sambil meraih bantal sofa dan mendekapnya. Dia menyandarkan kepalanya yang terasa berat untuk disangga tubuhnya. "Nggak ada yang bisa gue tambahin lagi, Van, apa pun itu yang Ruri udah ceritain."

"Justru itu yang gue dan Ruri nggak ngerti," jelas Evan.

"Bagian mananya yang nggak lo dan Ruri paham?"

"Kenapa lo malah jadi begini begitu tahu Mina lahiran? Kalau emang itu bukan anak lo, ya harusnya lo malah semangat dan seneng karena sebentar lagi, semuanya bakal kebongkar. Nama lo bakal bersih lagi, dan semua tuduhan yang diberikan ke lo bakal hilang." Evan membasahi tengorokannya. "Kecuali ada yang lo sembunyiin dari gue atau Ruri."

Richard terlalu lelah untuk berargumen dengan Evan, apalagi membantah dengan sekuat tenaga. Maka dia hanya menggeleng berkali-kali. "Nggak ada yang gue sembunyiin," tegas Richard. "Gue cuma ...." Kata yang dicari Richard tidak berhasil ditemukannya. "Gimana misalkan memang bener itu anak gue?" Selepas melontarkan satu kemungkinan yang selama ini ditekannya dalam-dalam, Richard menunjukkan raut ketakutan di depan Evan.

Mengetahui Mina melahirkan, tanpa diduga Richard justru memunculkan kekhawatiran yang selama ini tersimpan rapat. Seyakin apa pun dirinya bahwa malam itu dia tidak tidur bersama Mina, jika tes DNA membuktikan sebaliknya, maka karir yang dibangunnya tujuh tahun terakhir ini akan hancur dalam hitungan detik. Keraguan mulai menyusupi Richard hingga dia memilih untuk tidak memikirkannya dan menenggelamkan diri dengan minum alkohol.

"Jadi itu yang lo takutin? Misalkan malam itu lo bener-bener passed out dan emang tidur sama Mina, padahal selama ini lo udah yakin lo nggak ngelakuin itu?"

Dengan berat, Richard mengangguk. "Ingatan gue tentang malam itu nggak jelas, Van. Gimana misalnya selama ini keyakinan gue nggak tidur sama Mina adalah cara gue denial tentang apa yang sebenernya terjadi malam itu? Karena semua alibi gue nggak akan kuat kalau hasil tes DNA-nya positif. Dan itu bikin gue gelisah karena masa depan dan karir gue dipertaruhkan, Van."

"Terus kapan lo harus tes DNA? Berhubung sekarang Mina udah ngelahirin."

"Ruri harusnya yang tahu. Gue minta dia buat ngabarin Bobby begitu tahu Mina lahiran. Gue nggak mau ngelakuin sesuatu yang justru jadi bumerang," jelas Richard menyebut pengacara yang kala itu menemaninya hingga keputusan melakukan tes DNA disetujui Mina.

"Lalu kerjaan lo gimana?"

"Entah Tuhan masih sayang gue atau gue yang beruntung, tapi weekend ini gue nggak ada kerjaan. Kalau ada, Ruri pasti udah di sini dari kemaren pagi."

"And this is what you do to spend your weekend? Getting wasted?"

"Evan, pilihan lain apa yang gue punya?"

Balasan yang diberikan Evan adalah sebuah decakan. "Pilihan lo banyak, cuma lo lagi males mikir aja." Dengan cepat, Evan lantas bangkit dari duduknya. "Kita main tenis. It's been a while since we played together. Dan ini bukan tawaran, Rick. Ini paksaan dari gue."

"Lo mau nyiksa gue dan bikin gue jadi bahan tertawaan?"

"Siapa yang bakal nertawain lo? Nggak akan ada orang lain di lapangan kecuali lo sama gue. Lo butuh pelampiasan, dan ke gym jelas jauh lebih punya risiko misalkan konsentrasi lo lagi buyar. Kalau sama gue, lo bisa gue teriakin kalau lo ngelamun, atau gue pukul sama bola tenis." Evan pun mengulurkan lengannya. "Ini bukan Richard Ackles yang gue kenal. Lo biasanya jauh lebih aktif kalau lagi stres. Dan gue janji bikin lo capek sampai lo nggak punya tenaga lagi buat mikirin Mina. Deal?"

Sejujurnya, Richard lebih ingin diam di apartemen dan merusak tubuhnya, tapi menolak ajakan Evan sama saja memancing sahabatnya itu untuk jadi lebih kreatif. Tujuan Evan datang ke sini jelas, yaitu untuk memaksanya keluar dari apartemen. Kalaupun dia menolak main tenis, Evan akan punya sederet aktivitas lain. Hasil akhirnya akan tetap sama.

Mengetahui dirinya benar-benar tidak punya pilihan, Richard meraih uluran tangan Evan hingga sahabatnya itu berhasil menarik tubuhnya bangkit dari sofa.

"Gue beneran benci sama lo, Van. Seriously."

Kalimat itu diucapkan Richard sambil berjalan masuk kembali ke kamarnya untuk mandi dan berganti pakaian.

"And that's why we're friends, Rick," balas Evan.

REVULSIONWhere stories live. Discover now