23 - RICHARD

255 27 1
                                    


Tidak ada yang bisa dilakukan Richard selain menunggu. Tes DNA sudah dijalaninya dan waktu tiga minggu terasa merambat sangat pelan, sekalipun aktivitasnya berjalan biasa. Richard berusaha terlihat baik-baik saja di depan banyak orang. Dia tidak ingin tampak terlalu bersemangat atau terlalu sedih hingga orang menjadi bertanya-tanya.

"Jadi lo udah siap?"

Pertanyaan Ruri itu ditanggapi Richard dengan kerutan di kening. "Siap buat apa maksud lo?"

"Kita harus jaga-jaga, Rick. Apa pun hasilnya nanti, lo tetep harus ngomong ke media, press conference. Kalau hasilnya positif, seenggaknya lo bakal terlihat gentleman karena mau mengakui kesalahan lo dan bilang lo bakal bertanggung jawab dengan nikahin Mina." Richard mengernyit mendengar kemungkinan tersebut. "Dan kalau hasilnya negatif, lo bakal terlihat sebagai bukan pria pendendam, baik kepada Mina atau Jaz."

Pikiran Richard sejujurnya belum sampai kepada kemungkinan tersebut, tetapi karena sekarang Ruri menyinggungnya, ada baiknya mereka sekalian membahasnya. Dia pun merasa beruntung, saat ini tidak banyak awak media yang mengerumuninya untuk meminta pendapat tentang kelahiran Mina. Sekalipun berat mengakui, Richard merasa berutang terima kasih kepada Jaz karena berhasil menyimpan rapat-rapat berita tentang persalinan Mina, setidaknya dari media. Richard yakin, jika berita itu bocor, dia tidak akan bisa tenang keluar dari apartemen.

"Jadi apa saran lo?"

"Menurut gue, penting press conference-nya lo milih tempat yang nggak pretentious. Tempat yang netral dan nggak berlebihan," balas Ruri sembari mengubah posisi duduknya untuk menghadap Richard. "Pakaian lo juga gue udah pikirin. Kalau negatif, warna-warna pastel, tapi yang nggak nyolok banget. Bakal ngewakilin harapan lo udah balik lagi dan lo nggak salah. Kalau positif, warna-warna agak cenderung gelap tapi bukan item. Mungkin dark grey? Lo yang lebih tahu mana yang cocok. Bobby pasti ikut karena dia kuasa hukum lo. Mungkin gue bisa libatin Mina juga, akan jauh lebihpowerful kalau dia ikut."

Mendengar itu, Richard menggeleng. "Gue rasa bukan ide bagus ngajak Mina, Ru. Kalau dia sama perempuan itu mau bikin press conference sendiri, ya terserah mereka karena tuduhan itu kan datang dari mereka. Biar aja mereka nanti minta maaf ke publik karena udah nuduh gue."

"Kesannya nanti lo malah belum move on dan keliatan ada dendam. Apalagi lo bakal main film bareng Jaz, dan cepat atau lambat, pihak Revulsion juga bakal bikin press conference ngumumin kalian sebagai pemeran utama. Gue nggak tahu orang PR mereka kayak gimana, tapi kalau ada Jaz dan Mina di press conference lo, next time lo keliatan sama Jaz, mereka nggak akan ungkit-ungkit kejadian ini lagi. Mereka bakal fokus ke Revulsion, dan gue yakin, itu yang orang-orang Revulsion mau."

Richard mengalihkan pandangan sesaat ke luar jendela sebelum kembali memandang Ruri. Apa yang dikatakan Ruri jelas masuk akal, tetapi ego Richard masih ingin mengatakan, moment press conference itu adalah kesempatan baginya, baik untuk mengembalikan nama baiknya atau menunjukkan dia pria yang bertanggung jawab. Dengan adanya Mina—Richard tidak punya masalah dengan perempuan itu—apalagi Jaz, dia tidak yakin bisa menyembunyikan perasaan tidak sukanya, terlebih di depan banyak orang. Dia sangat percaya, akan ada satu-dua orang yang mampu mencium ada yang tidak beres di antara dirinya dan Jaz. Richard hanya tidak ingin muncul gosip baru tentangnya.

"Kita liat aja ntar. Tunggu hasilnya dulu aja," jawab Richard akhirnya.

"Gue juga bakal nyiapin berbagai macam pertanyaan yang kemungkinan bakal ditanyain ke lo, apa pun hasilnya."

Tanpa bisa ditahan, Richard tersenyum. "Look at you now. Udah pro banget handle media."

"Ya gimana gue nggak pro, soalnya lo sering banyak drama," balas Ruri enteng.

"Eh, sialan lo! Yang bikin drama kan bukan gue," ujarnya sambil menggerutu.

"Gimana perasaan lo sekarang? Masih kacau atau Evan bisa bikin lo sedikit lebih rileks weekend kemaren?"

Pertanyaan Ruri tersebut terdengar sangat wajar. Meskipun terlihat baik-baik saja di depan banyak orang, Ruri bukanlah orang asing. Perempuan itu sudah pasti bisa melihat apa yang tidak ditampilkan Richard di depan publik.

"Lumayan," jawab Richard. "Seenggaknya dia bikin gue keringetan dan fokus ke hal lain."

"Baguslah. Lo emang perlu itu weekend kemaren. Awas aja kalau lo kayak gitu lagi."

"Ya gue nggak bisa janjilah, Ru. Bisa aja gue suatu saat patah hati banget dan jadi depresi. Lo harus tetep di samping gue." Kalimat itu sengaja diucapkan Richard dengan intonasi yang dibuat-buat.

"Najis lo, Rick!" seru Ruri kemudian bangkit dari duduknya. "Udah ah, gue ngurusin yang lain aja." Perempuan itu lantas menyambar tas berisi laptopnya sebelum berjalan menjauh dari tempat Richard duduk. "Oh ya, gue hampir lupa," ucapnya kembali membalikkan badan untuk menatap Richard. "Michael masih nunggu tuh jawaban lo. Dia ngerecokin gue mulu."

"Michael? Orang dari Beyond Step itu?"

Ruri mengangguk. "Gue rasa ambil aja deh, Rick. Nggak tiap hari lo dapet tawaran kayak begitu. Lagian tawaran mereka juga masih sejalan sama imej yang lo bangun selama ini. Kalau ntar produknya nggak laku, paling nggak, lo udah nyoba hal baru."

"Besok deh gue kabarin lo. Sama sekalian kirim ke e-mail gue apa aja yang perlu approval supaya lo nggak ngerecokin gue terus."

Tanggapan yang diberikan Ruri adalah menjulurkan lidahnya. "Nggak ada yang harus lo approve juga bakal gue recokin terus. Udah ah! Bye Rick!"

Richard hanya menggeleng tanpa lupa menyunggingkan senyum menatap punggung Ruri menghilang di balik pintu.

Mereka memang tidak punya kantor karena Richard merasa dirinya belum memerlukan banyak tim. Ruri lebih dari cukup untuk mengatur segala keperluan yang berkaitan dengan karirnya. Maka mereka pun menjadikan apartemen Richard sebagai tempat berkumpul jika ingin membahas sesuatu.

Ponsel Richard berbunyi, menandakan ada pesan masuk. Begitu dia membaca siapa yang mengirimnya, senyumnya melebar.

Richard Ackles, kapan mau liburan bareng? Aku udah minta cuti buat bulan depan

Let me know ASAP

Love you

Pesan dari Beth tersebut mengingatkan Richard bahwa dia memang sudah berjanji untuk berlibur bersama. Sekalipun belum membahas tujuan, sudah cukup lama mereka selalu gagal melakukan ini. Richard bahkan tidak peduli jika mereka hanya pergi ke Bali. Baginya, menghabiskan waktu bersama Beth jauh lebih penting dibandingkan tempat yang mereka datangi.

Lo cuti berapa lama?

Gue harus nunggu schedule dari Ruri dulu

Dan bakal lebih bebas setelah hasil tes DNA keluar

Begitu mengirimkannya, Richard meletakkan ponsel di atas sofa sebelum beranjak dari duduknya. Menghampiri dinding kaca, dia memikirkan satu hal: betapa hidupnya akan berubah, terlepas dari hasil tes DNA nanti seperti apa. Dia tentu berharap bukan dirinyalah ayah dari anak yang dilahirkan Mina. 

REVULSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang