50 - JAZMINE

190 26 2
                                    


"Lo udah siap buat balik Jakarta?"

Jaz mengamati pemandangan Florence dari teras bar di hotel tempat mereka menginap dengan segelas mojito yang hampir tandas di meja. Dia setuju dengan ajakan Richard supaya mereka makan di restoran yang tidak terlalu jauh karena syuting hari ini benar-benar menguras seluruh tenaga yang mereka punya. Belum lagi besok Jaz yakin, mereka akan dihadapkan pada hari yang tidak kalah panjang. Pergi ke bar setelah makan malam terbukti adalah pilihan yang pas untuk bersantai sejenak sebelum malam berakhir.

"Jujur, gue pengen di sini lebih lama," jawab Jaz setelah diam cukup lama.

"Karena lo nggak mau ketemu Daniel? Atau ada alasan lain?"

Menarik napas panjang, Jaz mendengus pelan. "Salah satu alasannya itu karena gue nggak tahu hubungan gue sama Daniel bakal gimana setelah gue balik nanti. Sampai sekarang, dia nggak ngasih kabar apa pun." Jaz menoleh ke arah Richard yang malam itu mengenakan kaus polo abu-abu muda dan celana jin biru tua. "No action is an action, right?" Dan Jaz tahu jawaban atas pertanyaan tersebut. "Juga karena di sini nggak ada yang kenal gue. Jadi gue bisa ke mana aja tanpa takut diikutin media atau hal kecil yang gue lakukan jadi berita. Capek karena gue ngerasa nggak pernah dapet libur dari hal-hal kayak begitu."

Jaz sebenarnya malas membahas tentang hubungannya dengan Daniel, terlebih di depan Richard yang semakin hari tampaknya tanpa sadar semakin mencengkeramkan pesonanya pada Jaz. Dia tahu harus berhati-hati supaya tidak tersandung.

Namun saat ini, benak Jaz terasa begitu penuh hingga dia tidak memiliki pilihan selain menumpahkannya. Meski masih enggan mengakui, sejak sampai di Florence, Richard menunjukkan sikap yang hanya bisa diartikan Jaz sebagai perhatian ekstra meskipun tidak berlebihan. Richard juga menampakkan sikap bisa diandalkan di saat-saat krisis hingga ada rasa aman yang menyusup dalam diri Jaz.

"Udah jadi konsekuensi, kan? You sold your soul to the media once you stepped into the spotlight."

Jaz mengamini ucapan Richard yang sangat jauh dari kebohongan itu. "Ngejawab pertanyaan lo, gue pengen pindah ke sini sekalian kalau bisa."

Balasan itu rupanya mengejutkan Richard yang kemudian menegakkan tubuhnya. Pandangannya langsung beralih ke Jaz. "Gue rasa itu berlebihan kalau tujuan lo cuma mau ngehindar dari ketakutan akan hubungan lo sama Daniel, atau supaya lo nggak dikerubutin media."

"Gue tahu, tapi gue beneran nggak excited buat balik ke Jakarta."

Mengungkapkannya terasa seperti sebuah kebenaran yang sebelumnya hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. Dia menunggu respon dari Richard, tapi yang didapatkannya hanyalah sebuah gumaman pelan. Salah satu hal yang membuatnya betah berlama-lama bersama Richard adalah pria itu mampu membaca situasi dengan sangat handal. Richard hanya akan mengucapkan sesuatu jika dirasa perlu, bukan karena dia berkewajiban mengungkapkan pendapatnya.

"Lo sendiri gimana?" tanya Jaz balik, kesulitan menemukan topik lain untuk dibahas yang bukan tentang dirinya atau hubungannya dengan Daniel.

Richard menyesap bir yang dipegang di tangannya tanpa mengalihkan tatapan dari sungai Arno yang tampak jelas dari tempat mereka duduk. "Gue sempet ngomong panjang lebar sama Beth soal frekuensi ketemuan kami yang semakin jarang, jadi kami sama-sama janji buat lebih sering ketemuan. Gue pernah janji sama nyokap buat jagain Beth, dan gue nggak bisa ngelakuin itu kalau kami cuma ketemu sekali tiap beberapa bulan."

"How is she doing?"

Jaz benar-benar ingin tahu kabar Beth karena otomatis setelah pertemuan makan malam mereka, dia tidak punya akses untuk berkomunikasi dengan adik Richard itu. Dia juga tidak melihat perlunya menyimpan kontak Beth. Akan aneh jika dia mulai bertukar kabar dengan orang yang hanya ditemuinya sekali.

"Baik-baik aja," balas Richard dengan senyum di wajahnya. "Kayaknya dia lagi nimbang buat pindah kerjaan."

"Oh, kenapa? Bukannya dia lagi ngejar buat bisa ditempatin di New York?"

Richard mengedikkan bahu. "Dia cuma bilang capek harus traveling terus. Gue sih curiga dia mulai mikir kalau dia di New York, kami bakal makin jarang ketemu."

"Dan gimana pendapat lo soal itu?"

Richard menandaskan bir di tangannya sebelum dia memiringkan badan hingga tatapannya fokus ke Jaz. "Selama itu bikin Beth bahagia, gue nggak peduli pilihan mana yang dia pilih. Tugas gue cuma kasih support. Gue juga yakin dia tahu konsekuensi dari tiap keputusan yang dia ambil. Dengan Beth, nggak pernah ada pilihan yang salah."

"Mungkin lebih baik lo balik ke kamar. Gue nggak mau ya nuntun lo ke kamar kalau lo teler."

Kalimat itu dilontarkan Jaz bukan tanpa alasan. Dia mendapati wajah Richard mulai tampak memerah dan ucapan yang keluar dari mulut Richard seperti penanda bahwa jika dibiarkan, pria itu akan mabuk berat.

"You're right." Richard lantas bangkit dari duduknya meski perlu waktu sedikit lebih lama untuk menyeimbangkan tubuhnya. "Nite, Jaz."

Mata Jaz dengan jeli mengikuti setiap langkah Richard, memastikan pria itu tidak terhuyung atau parahnya jatuh. Meskipun sebenarnya jika itu memang terjadi, syuting mungkin akan ditunda besok, yang berarti kepulangannya ke Jakarta bisa ditunda. Namun di saat yang bersamaan, dia tentu tidak ingin Richard celaka.

Menandaskan mojito-nya dalam sekali teguk, Jaz lantas beranjak dari kursi dan segera membelakangi pemandangan yang akan segera ditinggalkannya dalam hitungan hari. Dia bahkan bersenandung pelan demi mengusir pikiran tentang Richard yang mulai menyusup di sela-sela pikiran lain yang jauh lebih penting.

Namun langkahnya terhenti ketika dia sampai di lorong tempat kamarnya berada. Dia mendapati satu sosok sedang menekuri ponsel dengan punggung yang bersandar di dinding dekat pintu. Meskipun malam sudah cukup larut, Jaz cukup tahu bahwa dia tidak mungkin salah mengenali Daniel.

Dengan pelan, dia berjalan mendekati pria itu sebelum Daniel mengangkat wajah. Pandangan mereka bertemu.

Hanya saja, tidak ada getar aneh yang merayapi Jaz seperti yang diharapkannya ketika bertemu kembali dengan Daniel. Setelah dua minggu sama sekali tidak melihat wajah pria itu, Jaz mengira dia akan sangat bahagia hingga hal pertama yang dilakukannya adalah berlari memeluk tubuh Daniel. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Dia berdiri terpaku, tidak mampu menggerakkan kaki ketika tatapan mereka bersirobok.

"Jaz."

Dengan satu panggilan itu, Daniel mendekatkan jarak yang membentang di antara mereka. Jaz masih belum mampu menelurkan satu kata pun hingga Daniel meraih tangannya dalam genggaman.

"Kamu pasti kaget aku di sini, tapi aku harap ini bisa menebus semua kesalahan yang pernah aku lakukan. The way I hurt you and never really put a trust in you. I'm sorry."

Masih diselimuti kekagetan, Jaz tidak mampu memberikan respon selain anggukan kecil. Pikirannya berjibaku menemukan rentetan kata yang bisa dia luapkan di hadapan Daniel. Namun Jaz gagal. Dia harusnya merasakan kebahagiaan, tapi yang menghampirinya hanyalah kekosongan.

"Kapan lo sampai?" Hanya pertanyaan itu yang sanggup dilontarkan Jaz.

"Baru saja. I miss you."

Bahkan ketika tubuh Daniel semakin dekat dan bibir pria itu bersentuhan dengannya, tidak ada perasaan spesial yang dulu didapatkannya dari Daniel. Namun Jaz tetap membalasnya supaya tidak menimbulkan kecurigaan dalam diri Daniel. Jaz hanya tidak menyangka, melakukannya sangatlah membuatnya tersiksa.

Baru ketika Daniel memeluknya, Jaz punya waktu untuk memejamkan mata dan mengingatkan diri bahwa perasaannya ke Richard tidak akan pernah berkembang menjadi sesuatu yang lain. Jadi untuk apa dia mengorbankan hubungannya dengan Daniel untuk sesuatu yang tidak pasti? Tidak akan ada yang tahu apakah dirinya bahagia atau tidak bersama Daniel selama dia menyimpannya seorang diri.

Maka Jaz lantas membalas pelukan Daniel dan mengelus pelan punggung pria itu. "I miss you too, Daniel."

Sekalipun untuk mampu mengucapkan itu, Jaz harus membohongi hatinya sendiri.

REVULSIONWhere stories live. Discover now