47 - ON THE PLANE

203 28 2
                                    


Richard enggan bertanya-tanya siapa yang bertanggung jawab atas penerbangan kru Revulsion ke Italia—mereka akan terbang ke Roma lebih dulu dari Jakarta sebelum bertolak ke Florence. Namun menempatkannya bersebelahan dengan Jaz bukanlah sesuatu yang dibayangkan Richard akan terjadi. Terlebih belasan jam di udara, dia tidak mampu meraba percakapan seperti apa yang bisa mereka bagi.

Hanya saja, di lubuk hatinya yang paling dalam, dia bersorak karena dengan begitu, dia bisa berdekatan dengan Jaz, terlepas dari kompleksitas perasaannya sendiri.

Mata Richard terpaku pada tablet yang digunakannya menonton film terbaru Brad Pitt ketika dari sudut matanya, dia menangkap Jaz yang kesulitan membuka camilan berupa mixed nuts hingga tanpa menunggu, lengannya terulur untuk meraih bungkus itu untuk kemudian membukanya. Dia menyerahkannya kembali ke Jaz tanpa sekalipun mengalihkan pandangannya dari layar tablet.

Sedetik kemudian, pundaknya ditepuk pelan. Mau tidak mau, Richard menekan tombol pause dan menurunkan headphone-nya dan menoleh. Jaz tersenyum seraya mengucapkan terima kasih.

"Lo lagi nonton apa, sih? Kayaknya serius banget."

"Gue nggak bisa nonton film-film di pesawat. Nggak tahu kenapa. Makanya gue selalu bawa tablet buat hiburan kalau penerbangan panjang. Udah jadi kebiasaan." Richard lantas memiringkan tablet agar Jaz bisa membaca sendiri judul film yang ditontonnya. "Lo nggak tidur?" tanya Richard ketika menyadari waktu sudah menunjukkan pukul sebelas lebih sepuluh menit, yang berarti mereka sudah hampir dua jam berada di udara.

"Belum ngantuk," balas Jaz ringan. Dia mengulurkan camilan yang ada di tangannya ke arah Richard, tapi pria itu menggeleng.

"Apa lo lagi mikirin Daniel yang harus lo tinggal dua minggu? Gue yakin dia bisa terbang ke Italia besok juga kalau dia mau. Cowok lo kan tajir."

Kalimat itu ditanggapi Jaz dengan memutar bola mata. "We're sort of on a break."

Jaz tidak tahu apa yang menyusupinya sampai bisa menumpahkan situasi hubungannya dengan Daniel ke Richard. Dia tahu bisa mempercayai pria itu, tetapi bukan berarti dia bisa dengan gampang melontarkan sesuatu yang justru memungkinkan untuk jadi bumerang. Terlebih getar aneh yang masih muncul setiap kali dirinya dan Richard berdekatan seperti sekarang.

"That's surprising," balas Richard singkat.

"Dia marah karena gue ngasih tahu soal trip ke Florence ini telat. Mungkin dia berencana ngajuin cuti supaya bisa ikut, tapi karena mendadak banget, jadinya nggak bisa." Jaz mengedikkan bahu. "Padahal juga cuma dua minggu. Dia nggak akan mati juga kalau nggak ketemu gue."

"Jangan pernah ngeraguin cowok yang lagi jatuh cinta, Jaz. Dua minggu aja rasanya bisa kayak berabad-abad."

"Terus aja nyindir," sahut Jaz cepat sambil terus mengunyah kacang-kacangan yang ternyata isinya sudah hampir habis.

Richard tergelak. "Mungkin Daniel khawatir lo dibawa kabur sama cowok Italia, dan menurut gue, itu alasan yang sangat valid."

Jaz tahu Richard hanya mengejeknya soal itu, jadi dia enggan menanggapi kalimat terakhir pria yang duduk di sampingnya ini.

Komunikasinya dengan Daniel memang seperti terputus karena pria itu benar-benar tidak menghubunginya untuk sekadar bertanya kabar atau basa-basi. Fakta itu justru meyakinkan Jaz bahwa sepulangnya dari Florence nanti, status mereka akan berubah menjadi mantan.

"Tapi trip ke Florence ini dateng di saat yang pas buat gue."

Richard hanya bergumam pelan mendengarnya, tidak ingin mendesak Jaz untuk bercerita lebih banyak. Namun berdasarkan pengalamannya, kalimat yang diutarakan Jaz punya arti yang kurang lebih memberitahunya bahwa hubungan perempuan itu dan Daniel sedang dilanda badai. Yang Richard tidak tahu adalah sehebat apa. Dia pun mengingatkan diri agar berhati-hati supaya tidak mengatakan sesuatu yang salah di depan Jaz mengenai Daniel.

REVULSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang