DUA

435 18 0
                                    

Malam itu...

Terseok-seok Faiq menyeret koper kecilnya. Jalanan berlubang dan lampu jalan yang remang. Sukses membuat perjalanan Faiq dari gang menuju gerbang pesantren Al-Hikam melambat. Jam tangannya menunjuk angka sebelas malam. Dan Faiq baru sampai di Jombang dari Tuban. Karena ban bus yang ia tumpangi meletus dan ada beberapa kendala, membuatnya sangat terlambat kembali ke pesantren.

Faiq baru saja kembali ke pesantren setelah ijin selama sebulan untuk mengurus Halimah. Ibunya yang sakit vertigo. Di rumah hanya ada Sulthon. Adiknya yang tak bisa sepenuhnya menjaga Halimah. Karena harus pulang pergi dari pesantren dekat rumah mereka.

Ayahnya? Jangan tanya kemana ayah tirinya itu. Kerjanya hanya main judi dan mabuk-mabukan. Pulang ke rumah hanya untuk minta uang dan makan. Meskipun ia punya usaha toko kelontong yang selama ini diurus Halimah. Tapi pengeluaran untuk judi dan mabuk-mabukannya itu tidak sebanding dengan pemasukan dari toko.

Biasanya hanya butuh waktu dua sampai tiga jam untuk sampai ke pesantren dari rumahnya. Berhubung terlambat, Faiq sudah mengabari ustazahnya ketika ban bus meletus tadi. Dan sekarang baterai ponselnya habis. Tidak sempat lagi mengabari ustazahnya. Toh sebentar lagi sampai dan hpnya akan segera dikumpulkan di ustazah bagian keamanan.

Tinggal dua ratus meter lagi menuju gerbang pesantren. Tiba-tiba langkah Faiq terpaksa berhenti karena melihat segerombolan pemuda yang sedang mabuk-mabukan. Menyadari keberadaan Faiq pemuda-pemuda itu langsung berdiri dan menggoda Faiq.

"Mau apa ya Mas?" tanya Faiq ketakutan.

"Neng kayaknya cantik deh kalau jilbabnya dibuka?"

Menyadari posisinya yang tidak menguntungkan Faiq mundur beberapa langkah. Tapi dasar manusia usil. Apalagi sudah kena efek minuman keras. Secepat kilat salah satu pemuda menarik jilbab Faiq dari belakang. Sampai jarum pentul yang tersemat di bawah dagu Faiq terlepas begitu saja. Otomatis membuat jilbabnya dengan mudah berpindah ke tangan pemuda yang tadi menariknya.

"Astaghfirullah!" pekik Faiq.
Seketika ia mencoba menutupi rambut indahnya yang terpampang jelas.

"Balikin kerudung saya!" teriak Faiq seraya berusaha merebut jilbabnya.

"Sini ambil Neng kalo bisa, hahaha...," gelak tawa pemuda-pemuda itu menggema di kesunyian malam.

"Cah wedok neng kene lapo podo kerudungan. Rambut apik-apik kok ditutupi. Lah aneh," ujar salah satu pemuda yang memakai kaos biru sambil menunjuk-nunjuk gerbang pesantren Al-Hikam.

"Iyo kan Kang. Ribet, panas," timpal yang lainnya sembari menegak botol mirasnya.

"Astaghfirullah Mas balikin kerudung saya," ujar Faiq sambil melompat-lompat berusaha merebut jilbabnya lagi.

Tiba-tiba pemuda yang ada di belakang Faiq berteriak. Lalu mendorong Faiq dengan keras sampai terjatuh.

"Bacot wedokan iki," umpatnya sambil melayangkan botol miras kosong yang ada di tangannya.

"Woi lapo ikuuu?!"

Sebuah teriakan berhasil menyelamatkan kepala Faiq dari hantaman botol kaca. Pemuda-pemuda itu menoleh ke sumber suara.

"Astaghfirullah Udin, Jalal, Rois, Kang Prapto, mabuk-mabukan lagi?"

Karena efek alkohol, Kang Prapto tidak sadar siapa yang sedang meneriakinya. Ia coba memicingkan matanya.

"Weh Gus Irham kui. Ayo mblayu, cepetan ayo!"

Begitulah kemudian keempatnya ngibrit sambil sempoyongan.

"Eh jangan lari, mau kemana tuh? Minggu lalu nggak ikut pengajian, udah mabuk lagi aja."

Di sekitaran Pesantren Al-Hikam memang masih banyak pemuda-pemuda pengangguran yang suka main togel dan mabuk-mabukan. Dan sudah beberapa bulan ini Gus Irham mengadakan pengajian khusus untuk mereka. Tentunya dengan gaya yang berbeda dari pengajian pada umumnya. Gus Irham tidak menyalahkan, menghakimi, atau menceramahi mereka panjang lebar. Tapi lebih sering mengajak mereka berkegiatan sosial yang lebih bermanfaat. Dari situlah dia menyelipkan dakwah sedikit-sedikit.

Contohnya seperti minggu lalu ia mengajak pemuda-pemuda itu touring. Dengan moge yang Gus Irham sewa sendiri dari temannya. Sambil membagi-bagikan sembako ke orang yang membutuhkan. Tujuan utamanya agar mereka sibuk. Jadi tak punya waktu untuk main togel atau mabuk-mabukan.

Dari pengajian itu, tak sedikit juga pemuda yang mulai taubat. Dan mulai mencari pekerjaan. Bahkan Gus Irham tak segan juga menawari mereka pekerjaan. Atau mengundang tutor wirausaha agar mereka belajar berwirausaha. Beberapa juga sudah mulai punya usaha sendiri. Itu juga berkat Gus Irham yang mau meminjamkan modal tanpa bunga untuk mereka. Pokoknya Gus Irham ingin pemuda di kampung tempat pesantren Al-Hikam berdiri, berdaya untuk umat.

Di bawah lampu yang remang, Gus Irham melihat Faiq yang meringkuk ketakutan. Sambil menutupi sebagian kepala yang tak tertutup jilbab.

"Astaghfirullah," gumam Gus Irham lirih karena tak sengaja melihat rambut indah Faiq.

Ia lalu memungut jilbab Faiq kemudian menyerahkannya.

"Ini pakai jilbabnya. Kamu santri putri kok keluyuran tengah malam begini? Dari mana kamu? Meskipun kamu sudah saya selamatkan dari pemuda mabuk tadi. Tapi kamu tetap harus dapat hukuman ya," ujar Gus Irham tanpa melihat Faiq.

Sedangkan Faiq terdiam dengan mata nanar. Jantungnya berpacu sangat cepat. Sehingga napasnya tidak teratur dengan dada yang naik turun. Dia bahkan sama sekali tidak memalingkan wajahnya untuk sekedar melihat siapa yang menolongnya barusan.

Gus Irham yang sadar sedang diabaikan, memberanikan diri untuk menoleh.

"Kamu kenapa?" tanyanya.

Faiq tidak merespon. Masih diam dengan napas yang menderu.

Gus Irham kebingungan. Ia mencoba mendekati Faiq.

"Jangan, jangan! Jangan mendekat!" teriak Faiq histeris.

"Hei ini saya. Coba kamu lihat siapa saya?"

Karena Faiq terlihat sangat ketakutan. Terpaksa Gus Irham membalik tubuh Faiq agar menghadapnya.

Disitulah kedua mata mereka bertemu secara tidak sengaja. Faiq dengan raut yang masih ketakutan. Matanya tidak bisa berbohong bahwa kejadian barusan seperti bukan pertama kali untuknya. Dan seakan-akan sangat membekas di ingatannya.

Sedangkan Gus Irham sedikit terkesiap dengan kecantikan Faiq. Rambut hitam lebat yang tergerai indah. Mata bulat yang mengerjap ketakutan. Hidung tingginya, bibir ranumnya, dan rona merah alami di kedua tulang pipi Faiq. Di bawah temaram lampu jalanan, entah mengapa Faiq yang sedang ketakutan, terlihat begitu indah di mata Gus Irham.

"Gus Irham?"

"Astaghfirullah," tersadar yang di hadapannya bukan mahrom, Gus Irham buru-buru menutupi kepala Faiq dengan kerudung yang sudah ia bawa sejak tadi. Kemudian sibuk mencari jarum pentul di tanah.

"Pakai kerudungnya yang bener," ujarnya seraya memberikan jarum pentul yang baru ia pungut.

"Matur nuwun Gus."

Mereka tidak sadar, di balik gerbang pesantren ada seseorang yang sedang mengintip. Dan kisah Faiq selanjutnya bermula dari sini.

⚫⚫⚫

Hari ini up dua chapter ya Gaiss. Gimana geregetan nggak sama chapter ini? 😁

Penasaran nggak sama lanjutannya?

Follow dulu yukk terus nyalain lonceng biar ga ketinggalan update Irham sama Faiq 🤭

Jangan lupa vote dan komen sebanyak²nya ya Gaisss 🤗

NIRMALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang