LIMA BELAS

363 14 1
                                    

Gus Irham keluar kelas dengan frustasi. Tangannya mengibas rambut dengan kasar. Wajahnya terlihat gusar. Dengan langkah cepat ia menyusuri koridor.

Tidak tahu kenapa hari ini rasanya fokus Gus Irham menguar entah kemana. Analisis studi kasusnya jadi kacau. Penelitiannya pun ikut berantakan. Bahkan sampai profesor menegurnya tadi.

“Irham, Irham, tunggu,” Shanum berlarian di koridor mengejar Gus Irham.

Gus Irham hanya menoleh sekilas. Lalu tetap berjalan dengan langkah yang lebih lambat.

“Kamu baik-baik aja?” tanya Shanum begitu langkah mereka sejajar.

Gus Irham diam saja. Rasanya baru kali ini dia mengabaikan Shanum.

“Irham, kamu sakit?” tanya Shanum seraya berdiri tepat di depan Gus Irham. Tentu saja membuat keduanya berhenti dan bertatapan.

“Kamu akhir-akhir ini nggak kayak biasanya. Jadi lebih banyak diam. Kamu kenapa? Ada masalah apa?” tanya Shanum khawatir.

Gus Irham menghembuskan napas berat, “Aku nggak papa Shanum. Lagi pusing aja sama tugas.”

Shanum tambah mengerutkan dahinya. Merasa Gus Irham semakin nggak seperti dirinya. Seorang Muhammad Irham hampir tidak pernah mengeluhkan soal tugas-tugasnya. Ingat kan kalau dia lulusan terbaik di angkatannya waktu sarjana dulu.

“Udah ya, aku pulang dulu. Capek banget, pengen tidur.”
Gus Irham berlalu begitu saja. Meninggalkan Shanum dengan raut kebingungan.

Setelah sampai di rumahnya, Gus Irham langsung masuk kamar dan mandi. Berharap guyuran air bisa menghilangkan beban pikiran yang sudah lama menumpuk. Gus Irham memang tinggal di sebuah rumah sewa mahasiswa. Hanya rumah kecil dengan satu kamar, toilet, ruang tamu, dan dapur yang serba minimalis. Tapi itu semua sudah lebih dari cukup. Mengingat Gus Irham hanya tinggal seorang diri.

Entahlah, sejak video call terakhirnya dengan Ustaz Ibrahim waktu itu. Ia jadi sering memikirkan kalimat terakhir yang diucapkan Ustaz Ibrahim. Rasanya ada yang mengganjal di hatinya. Tapi ia tidak tahu apa itu.

Cukup lama Gus Irham mandi. Sampai dirasa badannya sudah segar kembali, ia baru keluar dari kamar mandi. Lalu merebahkan dirinya di atas kasur. Ia tutup matanya. Hari ini terasa jauh lebih melelahkan. Karena penelitiannya yang kacau.

Hampir saja Gus Irham tertidur kalau tidak merasakan getar telepon masuk di ponselnya.

“Assalamu’alaikum Le,” sapa Bu Nyai Faizah dari ujung telepon.

“Eh Umi, wa’alaikumusalam.”

“Kamu gimana kabarnya? Sibuk toh, kok nggak pernah telepon Umi?”

Gus Irham bangkit. Duduk bersandar di sandaran kasur.

“Iya maaf ya Umi. Beberapa waktu ini emang Irham sibuk banget sampai lupa telepon Umi,” sesal Gus Irham.

“Tapi kamu sehat kan Le?”

“Alhamdulillah sehat Mi. Umi sama Abah gimana, sehat?”

“Alhamdulillah kami sehat. Makanya toh, Faiq itu mbok ya dibawa aja ke Turki. Biar ada yang ngingetin kamu disana.”

Gus Irham langsung teringat Faiq. Oh iya bagaimana kabar gadis itu? Sudah lama mereka tidak video call. Terakhir kali waktu pekan bahasa tempo lalu. Kesibukan Gus Irham ditambah perasaan tak tentunya tentang Faiq, membuatnya sedikit enggan untuk melakukan panggilan video.

Mereka masih sering berhubungan lewat chatting. Tapi itu pun tidak sering. Agaknya Faiq juga sibuk. Jadi lupa mengabari suaminya.

“Oh iya Nduk. Tolong antarkan jahe panasnya ke kamar Ning Faiq ya. Sama tolong kain kompresnya kamu ganti kalau udah nggak dingin,” terdengar Bu Nyai Faizah menyuruh salah seorang santri.

NIRMALAWhere stories live. Discover now