TIGA TIGA

343 13 0
                                    

Faiq mendongak. Terlihat wajah suaminya yang memasang senyum jahil. Seketika Faiq melotot dengan wajah cemberut.

"Jangan manyun gitu dong. Kan jadi lucu," ujar Gus Irham masih dengan senyum usil. Dicubitnya pipi Faiq dengan gemas.

"Emang Gus Irham nggak inget apa yang udah Gus Irham lakuin kemarin ke Faiq?" geram Faiq pura-pura marah.

Tiba-tiba sebuah kecupan mendarat di bibir Faiq.

"Kayak gini?" tanya Gus Irham disertai tawa kecil.


Cukup berhasil membuat wajah Faiq memanas.

"Atau... mau... yang lebih..."

Faiq buru-buru menepis tangan Gus Irham sebelum mendarat di pipinya. Bisa-bisa malah nggak jadi sarapan nanti.

"Gus Irham ih bercanda mulu," gerutu Faiq sebal.

"Kan kamu yang minta," ujarnya sambil cengengesan.

"Hah?"

"Kemarin. Kan kamu yang minta."

"Iihh Gus Irham ih nyebelin ah," salah tingkah, Faiq memukul-mukul manja lengan suaminya. Lalu berdiri meninggalkan Gus Irham sendirian.

"Eh mau kemana? Katanya sakit? Pelan-pelan ih," buru-buru Gus Irham menyusul isterinya. Memapahnya menuju ruang makan.

⚫⚫⚫

Di ruang makan Kyai Hasan, Bu Nyai Faizah, dan si kembar sudah duluan menyantap sarapan. Agaknya meskipun baru selesai hajatan, mereka tidak ambil cuti untuk rehat. Kyai Hasan mau ziarah kubur ke salah satu sanad gurunya. Bu Nyai Faizah harus cepat menyelesaikan beberapa urusan dengan vendor. Ning Tsabitah buru-buru kuliah pagi. Apalagi Gus Thoriq. Udah si paling sibuk se-Al- Hikam sejak kepulangan Gus Irham. Faiq dan Gus Irham yang baru turun langsung ikut bergabung.

"Ayo cepet sarapan. Pengantin baru butuh banyak tenaga," ucap Bu Nyai Faizah sembari menyendok nasi untuk Faiq.

"Mana ada pengantin baru Umi, kan udah hampir dua tahun yang lalu akad nikahnya."

Bu Nyai Faizah malah tersenyum penuh arti, "Ya kan Umi sama Abah pengen cepat-cepat gendong cucu. Iya kan Bah?"

Kyai Hasan tertawa ringan. Paham apa yang dimaksud isterinya.

"Jadi kapan kamu wisudanya Le?"

Gus Irham menghentikan kegiatannya menyendok lauk, "Kalau tidak ada halangan, inn syaa Allah akhir tahun ini Bah."

Faiq mengambil piring suaminya. Mengisinya dengan lauk yang tadinya mau diambil Gus Irham. Kemudian meletakkan kembali di tempatnya. Sebagai balasannya Gus Irham mengelus pucuk kepala Faiq sambil membisikkan, "Terima kasih Sayang".

Oh tidak. Harusnya Gus Irham tidak memakai panggilan itu disini. Kan Faiq jadi salah tingkah. Makin malu pas satu meja makan ikutan senyum-senyum melihat kelakuan Gus Irham yang usil. Eits nggak semua sih. Ada satu orang yang malah akting muntah setelah dengar masnya bertingkah sok romantis.

"Nggilani Mas," komen Gue Thoriq.

"Loh ke isteri sendiri kok nggilani."

"Eleh."

Gus Irham meletakkan telunjuknya di depan mulut. Dengan mata melotot, memberi isyarat agar adiknya itu tidak lanjut ngomong yang aneh-aneh.

"Pas banget wisuda kamu kan nggak lama lagi. Bawalah Faiq kesana sekalian honeymoon," ujar Kyai Hasan menyela perdebatan kecil adik kakak tersebut.

"Ngapain honeymoon nunggu wisuda Irham. Besok aja. Umi udah pesankan hotel di Batu buat kalian," sahut Bu Nyai Faizah excited.

"Besok Mi?"

"Iya. Umi udah bilang ke Rizky. Nanti biar nggak capek, disupirin Rizky aja. Sekalian Ibrahim juga mau pulang ke Malang. Ngurus nikahannya katanya."

Faiq merenung sejenak. Membuat aktivitas makannya berhenti. Bu Nyai Faizah yang menyadari perubahan wajah Faiq, langsung bertanya,

"Kenapa Nduk, kamu nggak suka rencana Umi ya?"

Cepat-cepat Faiq menggeleng, "Bukan Umi, bukannya Faiq nggak suka."

"Atau Faiq nggak pengen ke Malang? Apa ke Bali aja?" tawar Bu Nyai Faizah.

"Lebih cantik Lombok Umi. Nanti kalau Tsabitah nikah, hadiah honeymoonnya ke Lombok ya Umi," sela Ning Tsabitah sambil cengengesan.

Gus Thoriq yang duduk di sebelahnya langsung mencubit pipi tembam adiknya.

"Sek bocah kowe iki."

Tak ayal membuat Ning Tsabitah mengaduh kesakitan. Lalu memukul-mukul masnya, berusaha membalas. Sayangnya tidak kena. Mengingat Gus Thoriq sudah banyak belajar dari pengalamannya menghindari tangan Gus Irham.

"Eh sudah to. Nggak apik ribut-ribut di depan makanan," Kyai Hasan menengahi.

Si kembar pun berhenti. Kendati begitu, tetap saja saling mengejek. Di sebrang mereka, Gus Irham dan Faiq tertawa kecil. Faiq jadi teringat Sulthon. Ah bagaimana ya kabar keluarga di Tuban? Mendadak Faiq merindukan keluarganya yang mulai harmonis.

"Mungkin mereka punya rencana honeymoon sendiri Mi."

Sebetulnya Faiq bukan nggak suka dengan rencana ibu mertuanya. Tapi kondisinya belum memungkinkan untuk perjalanan jauh.

"Yah padahal Umi udah pilihin hotel terbaik buat honeymoon. Oh ya sama destinasi romantis yang bisa kalian kunjungi. Tapi ya wis nggak papa kalau kalian punya rencana sendiri," ujar Bu Nyai Faizah legowo.

Faiq melirik Gus Irham. Laki-laki itu sudah selesai dengan sarapannya. Seolah mengerti maksud Faiq, Gus Irham memberi pengertian kepada uminya kalau Faiq masih terlalu lelah untuk melakukan perjalanan.

"Mungkin bisa diundur seminggu lagi aja Mi."

Bu Nyai Faizah manggut-manggut.

"Lagian Irham juga pengen tahu perkembangan Al-Hikam sejauh ini," tambah Gus Irham.

"Betul tuh Ham. Kamu harus balik ngurus pesantren ini," Kyai Hasan menimpali.

Gus Irham tersenyum, "Inn syaa Allah Bah. Untuk saat ini sih rencananya begitu."

Semua orang sudah menghabiskan sarapannya. Faiq menumpuk piring bekas makan, gelas dan juga sendok. Hendak membawanya ke dapur. Tapi salah satu santri yang piket ndalem langsung mengambil alih.

"Biar saya aja Ning."

Faiq pun berterima kasih lewat senyuman.

"Saat ini? Emang Mas Irham mau pergi lagi toh?" tanya Gus Thoriq.

"Ada kemungkinan mau ambil S3."

"Terus siapa yang ngurus pesantren ini Mas?"

"Kamu lah. Kan selama ini justru kamu yang tau semua seluk beluk pesantren. Abah, nggak masalah kan kalau yang nerusin pesantren ini bukan yang tertua?"

Kyai Hasan memiringkan kepalanya. Sejenak menimbang tawaran Gus Irham.

"Ya boleh aja. Asal Faiqnya dibawa, jangan ditinggal-tinggal lagi," jawabnya sembari tertawa lebar.

Suasana pagi yang hangat. Dengan tawa bahagia, usai satu ujian terlewati. Dengan syukur paling tulus, setelah cerita panjang tentang awal membangun cinta tercapai. Meskipun begitu tidak ada yang tahu, mungkin ujian lain sedang menunggu di bab baru.

⚫⚫⚫

Halaman Pesantren Al-Hikam masih ramai dengan pekerja. Setelah membongkar tenda pelaminan, sekarang mereka sedang sibuk menaikkannya ke truk. Siap-siap dibawa ke tempat penyewa selanjutnya.

Dari ndalem terdengar tawa renyah keluarga cemara. Sedangkan di gerbang Al-Hikam, Ustaz Ibrahim dan Shanum sedang berdiri tegang dengan sebuah kotak di tangan. Siapa sangka sepagi ini dua sejoli itu akan menerima kejutan. Penghuni Al-Hikam yang lalu lalang mungkin berpikir, keluarga Maroko sedang mengirim hadiah untuk keluarga ndalem. Tapi kenapa mereka hanya berdiri mematung?

⚫⚫⚫

Olaaaa pembaca baru Nirmala 🤗 salam kenal dari author yang paling mencintai kaliaaannn 😆😆 terima kasih udah mampir untuk baca. Tapi ada baiknya jangan cuma mampir aja. Tinggalin jejak dengan vote dan komen doonggg. Kalau nggak pengen ketinggalan update Nirmala kalian juga bisa follow dan nyalain notifikasi. Anyway sepertinya akan ada kejutan di chapter selanjutnya. Sementara ini kalian komen pliss pendapat kalian tentang Nirmala. Thank you 😘😘

NIRMALAWhere stories live. Discover now