TIGA EMPAT

332 10 0
                                    

Shanum membuka mata. Hal pertama yang ia lihat adalah plang petunjuk arah. Agaknya ia tidur cukup lama. Karena mobil sepertinya mulai keluar dari jalur tol. Ia pandangi jalanan yang semakin lama kanan kirinya makin padat penduduk. Senyumnya pun merekah. Ikut senang merasakan hangatnya kehidupan.

“Kamu tidak tidur dari tadi?” tanya Shanum pada Faiq.

Faiq menoleh. Sedikit terkejut Shanum memakai bahasa indonesia. Karena selama ini mereka lebih sering memakai bahasa arab atau bahasa inggris untuk komunikasi.

Lalu ia tersenyum sambil mengacungkan buku yang sedang ia baca, “Aku nggak ngantuk. Oh ya sebentar lagi kita sampai,” ujarnya seraya menunjuk ke depan.

Shanum manggut-manggut. Senyumnya semakin lebar. Matanya kian berbinar. Mungkin dia sudah merindukan belahan jiwanya. Mungkin bukan itu saja yang ia rindukan. Tapi hangatnya keluarga dan kehidupan normal yang beberapa waktu belakangan ini sulit ia dapatkan.

“Gimana Indonesia? Kamu senang tinggal disini?” tanya Faiq kembali dalam bahasa arab.

Shanum menggangguk antusias, “Ya aku sangat senang tinggal disini. Makanannya enak-enak,” jawabnya sumringah.

Faiq tertawa kecil. Dia yakin bukan itu alasan Shanum betah tinggal di Indonesia. Jika dia jadi Shanum, bisa menghirup kebebasan seperti sekarang ini, dia juga pasti sangat senang?

Shanum tiba-tiba menggenggam tangan Faiq. Seolah mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya. Meskipun ia tidak berkata apa-apa tapi Faiq bisa melihat dari matanya.

“Faiq, apapun yang terjadi di masa lalu, aku tetap berterima kasih dengan hati paling tulus untuk masa sekarang. Aku harap itu tidak merubah hubungan persaudaraan kita. Karena aku sudah menganggapmu seperti saudara sedarah. Sekali lagi terima kasih atas bantuannya. Aku tidak akan pernah lupa.”

Shanum memeluk Faiq. Matanya meneteskan air mata. Dari kaca mobil, Gus Irham ikutan terharu. Entah beban seberat apa yang Shanum pikul selama hampir setahun belakangan ini. Yang jelas sekarang ia nampak seperti burung yang dilepaskan dari sangkar. Meskipun begitu, burung itu seolah bingung dengan cara bertahan hidup dan menyingkirkan apa-apa yang akan memangsnya.

Faiq mengelus-elus punggung Shanum, “Hei memangnya kita mau berpisah?”

Shanum melepaskan pelukannya, “Mungkin sebentar lagi aku akan pulang ke Maroko. Bagaimana pun aku harus menghadapi ini.”

Mobil yang mereka tumpangi sudah masuk Kota Malang. Jalanan juga semakin padat. Gus Irham mengetik alamat rumah Ustaz Ibrahim di GPS mobilnya. Tertera rute perjalanan selama tiga puluh menit. Gus Irham menepuk pundak Rizky.

“Riz cari masjid dulu. Udah mau masuk waktu zuhur.”

Rizky mengangguk.

Sedangkan di belakang, Faiq sibuk menyeka air mata Shanum. Mungkin banyak hal yang sedang sedang Shanum pikirkan. Mendadak tangisnya pecah begitu mengatakan akan segera kembali ke negara asalnya. Entahlah, Faiq hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk Shanum dan Ustaz Ibrahim. Bagaimana pun perjalanan mereka memang rumit. Kisah Faiq dan Gus Irham sudah rumit. Tapi tidak melibatkan orang yang berbahaya dalam pernikahan mereka. Sedangkan Shanum berbeda. Setelah banyak berbincang dengan Shanum, Faiq jadi bisa menyimpulkan kalau ia jauh lebih kuat dari yang Faiq bayangkan.

“Udah ih nangisnya. Kamu kan mau ketemu mertua. Masa matanya sembab gitu. Nanti jelek loh di depan mertua,” ujar Faiq dalam bahasa indonesia.

Shanum tertawa, “Kamu mengejekku?”

Sebagai balasannya Faiq tersenyum lebar. Senang melihat Shanum tertawa. Bagaimana pun ia tetap bisa melihat banyak kekhawatiran di mata gadis kelahiran Maroko itu.

NIRMALAWhere stories live. Discover now