SATU

672 22 5
                                    

Byuurr.

Ember air kedua yang disiram ke badan Faiq. Detik berikutnya, tubuhya dilempari tepung lalu diguyur air lagi. Adegan itu berulang beberapa kali. Dan cukup membuat badan Faiq layaknya adonan kue yang siap dipanggang. Belum lagi teriakan menyakitkan yang keluar dari perundung-perundung itu.

“Emang dasar anak tukang mabok!”

“Ibunya suka godain laki-laki mungkin, makanya nurun ke anaknya!”

“Sok suci Lu, padahal genit juga taunya. Buat apa pinter, tapi godain anak kyai.”

Faiq hanya diam dalam tangisnya. Bukannya dia tidak bisa melawan, bukan. Tapi dia sudah sangat lelah untuk menjelaskan dengan mulutnya. Suaranya sampai habis hanya untuk mencoba membela diri. Bahwa hari itu dia tidak salah. Bahwa tidak seperti itu kejadiannya. Tapi apalah dia yang hanya santri kecil. Dibandingkan anak kyainya yang punya kuasa. Bahkan pihak ndalem tidak mengkonfirmasi apapun untuk sekedar membersihkan namanya.

Air mata Faiq kembali membanjiri wajah. Perih sekali hatinya mendapat perundungan seperti ini. Biasanya mereka-mereka yang berhati kotor ini hanya menggunjingnya di belakang. Tapi entah angin apa yang membuat mereka hari ini sampai hati menindasnya begini.

“Diem aja Lu. Biasanya sibuk ngebela diri,” ujar gadis berkerudung merah sembari melempar satu bungkus tepung lagi.

Sayangnya lemparannya meleset. Malah terjatuh di hadapan tiga orang yang tengah berdiri tak jauh dari mereka. Entah kapan mereka bertiga datang. Baik Faiq maupun tiga gadis perundung itu, tidak ada yang sadar.

“Astaghfirullah hal ‘adzim Laura, Nadia, Siti, apa yang kalian lakukan?” suara bariton Ustaz Ibrahim menyadarkan tiga gadis tersebut.

“Eh kok ada Ustaz Ibrahim sama Gus Irham sih. Kabur yuk kabur!” ajak Siti.

Tapi terlambat. Seperti adegan film pencurian. Tiba-tiba saja Laura, Nadia, dan Siti sudah dikepung oleh beberapa ustazah. Dari belakang Gus Irham, Hannah berlari menuju Faiq.

“Faiq kamu nggak papa kan?” tanyanya.

Hannah adalah sahabat Faiq. Satu-satunya orang yang percaya dengan ceritanya. Dan Hannah inilah yang tadi melapor ke Gus Irham. Gus Irham yang sedang ngobrol dengan Ustaz Ibrahim dan beberapa ustazah bagian keamanan langsung lari ke belakang asrama. Tempat dimana Faiq di rundung.

Tubuh Faiq sudah lemas. Ia langsung terduduk begitu saja dengan isak tangis yang belum mereda. Gus Irham sigap mendekati Faiq dan memapahnya pergi.

“Kamu bantu saya urus Maryam,” pintanya pada Hannah.

Hannah mengangguk. Lalu ketiganya berlalu.

“Kalian ini kayak orang nggak punya ilmu aja. Ini pesantren! Apakah pantas melakukan bullying kayak gitu di pesantren?” tanya Ustaz Ibrahim dengan nada tinggi.

Yang ditanya hanya menunduk saja sambil saling sikut. Entah merasa bersalah atau tidak. Ustaz Ibrahim geleng-geleng kepala, tidak habis pikir dengan kelakuan tiga santriwati di depannya.

“Ustazah tolong bawa mereka ke ruang keamanan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya sendiri. Nanti setelah ngajar saya akan kesana. Assalamualaikum.”

⚫⚫⚫

“Hannah tolong ambilkan pakaian ganti untuk Maryam. Nanti kamu antar ke ndalem ya,” pinta Gus Irham pada Hannah.

Hannah segera berlari ke kamar untuk mengambil pakaian Faiq. Sedangkan Gus Irham masih memegangi pundak Faiq dan menuntunnya sampai ndalem. Gadis itu sungguh tidak bertenaga. Gus Irham bisa merasakannya.

Sesampainya di ndalem, Faiq enggan disuruh masuk.

“Nunggu Hannah aja Gus. Nggak baik kalau saya masuk. Di dalam kan nggak ada Abah sama Umi. Nanti malah timbul fitnah lagi.”

Gus Irham diam saja membiarkan Faiq duduk di kursi teras. Alih-alih memaksa Faiq untuk segera membersihkan diri agar tidak masuk angin, Gus Irham malah membuang muka. Seolah tidak peduli dengan pilihan Faiq. Faiq memberanikan diri mengangkat kepalanya untuk melihat gusnya itu. Wajah Gus Irham masam sekali. Tidak seperti biasanya yang selalu tersenyum ramah kepada siapapun.

Gus Irham memang orang yang supel. Ia selalu tersenyum santun jika bertemu dengan siapapun. Menyapa dengan salam lalu dengan rendah hati menundukkan pandangan. Namun kadang hal itu membuat beberapa santriwati atau ustazah jadi salah paham. Yah namanya juga perempuan. Perasaannya lebih dominan ketimbang logika.

Tak terkecuali kepada Faiq. Sebelum kejadian malam itu. Lalu fitnah-fitnah yang tersebar. Seminggu setelah kejadian itu, senyum Gus Irham seolah hilang ditelan bumi jika bertemu dengan Faiq. Dan Faiq sampai detik ini tidak tahu dimana letak salahnya kepada Gus Irham.

Padahal dalam hal ini Faiq yang merasa sangat dirugikan. Ia yang jadi korban fitnah dan bahkan bullying barusan. Tapi kenapa malah Gus Irham yang marah?

Dan kenapa pula Gus Irham berani menyentuhnya barusan? Apakah bagi Gus Irham, Faiq sudah sebegitu tidak ada harga dirinya?

Faiq memejamkan matanya. Menarik napas dalam-dalam. Menahan diri agar tidak menangisi nasibnya lagi. Menangisi nama baiknya yang sudah hancur di pesantren ini. Tenggorokannya sampai sakit dibuatnya. Hingga akhirnya Hannah datang.

"Kita ke kamar aja Han."

Faiq langsung undur diri dari hadapan Gus Irham.

"Loh tapi tadi suruh kesini.."

Ucapan Hannah terpotong, karena Faiq langsung menariknya pergi.

Sedangkan Gus Irham hanya menatap dingin kepergian Faiq.

⚫⚫⚫

Gimana chapter awal Gaiiss? 😁

Penasaran nggak ada apa gerangan dengan malam itu? Jangan² Gus Irham sama Faiq 😱

🤫🤫

Jangan lupa pencet bintang. Komennya juga boleh qaqa 😁

See u next chapter Gaiiss 🤗

NIRMALATahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon