DUA DUA

360 12 1
                                    

Gus Irham terbangun karena merasakan ngilu di bagian pergelangan tangan kanannya yang patah. Ia meringis menahan nyeri yang tak terkira. Sambil bibirnya menggumamkan istighfar. Diliriknya jam dinding yang menunjuk angka sembilan. Dan dia belum sholat isya.

Susah payah ia mencoba bertayamum. Dia lakukan semampunya saja, karena tidak ada yang membantu. Setelah sholat, tak terasa air matanya menetes. Tiba-tiba merasa malu dengan dirinya sendiri. Merasa malu kepada Rabb-nya, kepada Abah dan Umi, kepada Ustaz Ibrahim, dan terlebih kepada isterinya.

Rasa-rasanya dengan keadaanya sekarang yang sudahlah tertimpa musibah dan tak ada keluarga yang menemani, Allah memang benar-benar sedang membalas perbuatannya sendiri. Perbuatannya yang tega pada Faiq. Hanya karena ia jatuh cinta pada gadis yang tidak ditakdirkan untuknya. Meskipun ia sudah berusaha mengejar Shanum. Tapi kalau memang bukan jodoh, sekeras apapun mencoba, tidak akan pernah berakhir di pelaminan.

Bahkan sampai hati ia meninggalkan Faiq sehari setelah mereka sah sebagai suami isteri. Dengan tanpa menyentuhnya sama sekali. Sekarang apa yang ia dapat? Berdosa pada Faiq iya, dapat maafnya belum tentu. Kalau dipikir-pikir sekarang, saat otaknya sudah waras. Tidak sedang mendulukan egonya. Bukankah hal itu sangat menyakitkan bagi Faiq?

Air mata penyesalan Gus Irham makin deras. Tak mau kalah dengan hujan yang tidak kunjung berhenti. Ia merasa teramat sangat malu.  Saat ini betapa baiknya Allah masih memberinya napas disaat orang lain mungkin saja berharap ia pergi selama-lamanya jika tahu kebusukan hatinya. (Termasuk readers 🥲) Allah masih berbaik hati menutupi aibnya dan membukakan kesempatan untuk bertaubat.

‘Yaa Allah maafkan Irham. Bagaimana Irham harus minta maaf nanti ke Abah, ke Umi, ke Maryam dan Ibrahim?’ gumamnya lirih.

Ceklek.

Pintu kamar terbuka. Gus Irham buru-buru menghapus air matanya. Dan masuklah sesosok yang saat ini sebetulnya sedang sangat ingin ia hindari.

“Maryam?”

Gus Irham tidak menyangka orang yang akan tahu kondisinya  pertama kali adalah Faiq. Bukan, bukan karena Gus Irham tidak suka jika orang itu adalah Faiq. Bukan pula ia berharap orang itu adalah Shanum. Tapi untuk sekarang ia sangat amat malu kepada gadis yang nampak khawatir itu.

“Gus Irham udah bangun. Gimana perasaannya sekarang? Ada yang sakit?” tanya Faiq beruntun.

Belum sempat Gus Irham buka mulut, seorang laki-laki masuk dengan buru-buru.

“Irham, kamu baik-baik aja kan?”

Dan dia adalah, Kyai Zulfikar. Gus Irham mengernyit. Bagaimana bisa Faiq dengan pakliknya?

Karena tidak kunjung mendapat jawaban, Kyai Zulfikar menepuk-nepuk pundak Gus Irham pelan.

“Irham, kamu baik-baik aja? Kok bisa kecelakaan?”

“Irham... baik-baik aja Paklik,” jawab Gus Irham lemah sambil melirik Faiq yang raut mukanya sudah berubah datar.

“Alhamdulillah. Maaf ya Irham kami baru datang. Kamu udah tahu kan kalau Abah sama Umimu ke Malaysia?”

Gus Irham mengangguk.

“Tapi Paklik udah menghubungi keluargamu tadi. Insya Allah besok mereka pulang.”

Gus Irham mengangguk mengerti.

“Kok kamu tiba-tiba pulang ke Indonesia? Terus tahu-tahu kecelakaan lagi. Untung Faiq tadi telepon Paklik. Gimana ceritanya?”

Gus Irham melihat ke arah Faiq. Ada perasaan tidak senang muncul di hatinya. Awalnya ia sempat terkejut dengan kedatangan Faiq. Meski begitu tidak bisa dipungkiri sudut hatinya tetap merasa senang. Tapi begitu Kyai Zulfikar menyusul di belakang Faiq, Gus Irham jadi agak kecewa.

NIRMALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang