DUA DELAPAN

351 14 3
                                    

Beberapa hari belakangan ini Jombang terasa sangat panas. Suhu matahari bisa mencapai 30° C. Seperti hari ini. Matahari belum tepat berada di atas kepala, tapi teriknya sudah sangat menyengat. Efek pemanasan global benar-benar tidak main-main.

Faiq duduk di dalam mobil. Karena kepanasan, ia meminta Rizky menutup jendela mobil terlebih dulu. Agar udara dingin dari AC lebih terasa. Sembari menunggu Shanum yang sedang bicara dengan Bu Nyai Faizah dan Kyai Hasan di teras ndalem. Hari ini ia akan pergi ke Malang bersama suaminya dan Shanum.

Setelah selesai urusannya dengan keluarga ndalem, Shanum masuk ke dalam mobil. Dan duduk di samping Faiq. Disusul Gus Irham yang duduk di samping Rizky.

“Udah siap?” tanya Gus Irham mengecek ke belakang.

Faiq dan Shanum saling pandang, sembari saling melempar senyum keduanya mengangguk.

“Yuk Riz kita berangkat. Bismillahirrahmanirrahim.”

Faiq menurunkan kaca mobil, melambai-lambai kepada keluarga ndalem.

“Kami pergi dulu ya, assalamu’alaikum.”

“Hati-hati ya Nduk,” seru Bu Nyai Faizah dengan mata berkaca-kaca.

“Umi ini kayak mereka mau pergi kemana aja.”

“Umi cuma seneng Bah. Mosok nggak boleh nangis bahagia?”

Tepat ketika mobil keluar gerbang, bersamaan dengan itu Bu Nyai Faizah mengelap matanya yang basah. Kyai Hasan memeluk isterinya dengan gemas.

“Wis sudah ayo masuk. Kita doain aja mereka selamat sampai tujuan,” ujarnya sembari menuntun Bu Nyai Faizah masuk ndalem. Diikuti si kembar yang saling lempar tawa saja melihat tingkah orang tuanya.

Faiq sangat menikmati perjalanan ini. Sepanjang jalan ia banyak ngobrol dengan Shanum. Ia merasa senang berbagi banyak hal dengannya. Hatinya sudah ikhlas menerima semua takdir Allah. Bahkan kalau ia mengingat hari itu, rasanya sangat lucu sekaligus mengharukan.

Setelah lelah mengobrol, Shanum pamit ingin tidur. Sedangkan Faiq tidak merasa ngantuk sama sekali. Mungkin efek terlalu bahagia. Otaknya jadi memutar kembali kejadian beberapa waktu silam. Otomatis menciptakan senyum di bibirnya.

⚫⚫⚫

Hari ini Gus Irham datang. Keluarga ndalem bersuka cita menyambut kedatangannya. Begitu pun para santri. Semua orang bersuka cita dengan kepulangan putera sulung yang digadang-gadang akan menjadi penerus Kyai Hasan tersebut. Faiq sendiri juga sudah di Al-Hikam sejak ba’da maghrib kemarin.

Meskipun hatinya tak karuan tapi ia tetap kembali. Sekedar menghormati suaminya itu. Dan tentu saja agar keluarga ndalem tidak curiga. Urusan bagaimana nasibnya setelah ini, ia serahkan semuanya kepada Allah.

Dari kamarnya Faiq mendengar lantunan sholawat Thola al Badru Alaina. Sepertinya mobil yang menjemput Gus Irham sudah datang. Faiq memang sengaja tidak ikut menyambut di bawah. Ia memilih bertemu di ruang tamu saja. Menghindari akting yang berlebihan di depan banyak santri.

Beberapa menit setelah suasana tenang, Faiq bersiap turun. Ia menebak kalau Gus Irham sudah duduk di ruang tamu. Atau malah langsung ke ruang makan. Sibuk bercerita dengan keluarga ndalem. Ekspektasinya sih tiba-tiba Gus Irham naik ke atas dan langsung memeluknya. Faiq tersenyum kecut. Menghalau angan-angan yang tak akan pernah terwujud.

Baru selangkah kakinya menuruni tangga. Dari ruang tamu Bu Nyai Faizah terpekik.

“Hah mau jadi isteri kedua?”

Gus Irham baru saja sampai ndalem. Tapi hal pertama pertama yang Faiq dengar malah sesuatu yang menghantuinya setahun ini. Ragu-ragu Faiq memberanikan diri mengintip ke ruang tamu.

Benar saja. Ketakutannya selama ini mewujud jadi nyata. Gus Irham pulang membawa gadis pujaannya. Mereka duduk bersebrangan. Lengkap bersama Kyai Hasan, Bu Nyai Faizah dan si kembar.

Seketika Faiq langsung membalikan badan, kembali ke kamar. Secepat kilat ia menyambar tas. Mengemasi charger, masker, dan dompet. Lalu buru-buru keluar ndalem lewat pintu belakang. Ternyata hatinya belum siap.

“Loh Ning Faiq mau kemana?” tanya Hannah yang bertemu di pintu.

NIRMALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang