ENAM BELAS

330 12 3
                                    

Pesantren Al-Hikam sedang bersuka cita menyambut kedatangan rombongan Syaikh Aslam. Didukung dengan langit yang sangat cerah. Bak bentangan permadani biru yang dibawahnya disusun gula kapas dengan sangat rapi. Seolah alam pun ikut mendukung niat baik orang-orang yang akan mengajar dan belajar Al-Qur’an.

“Meja yang ini taruh dimana Ning?” tanya salah seorang santri yang sedang memasukkan barang-barang ke dalam rumah.

“Oh yang itu taruh di kamar aja ya.”

Faiq sedang sibuk mengatur apa-apa yang kurang di dalam rumah tersebut. Rumah yang akan ditinggali rombongan Syaikh Aslam selama tiga bulan ke depan. Sebenarnya rumah itu adalah rumah yang dibangun Kyai Hasan untuk Gus Irham. Tapi karena belum ditempati, jadi sementara digunakan untuk memuliakan gurunya dulu. Agar pembelajaran dengan beliau lebih efektif juga. Dibandingkan harus sewa hotel dan bolak-balik ke Al-Hikam.

“MBAK AIQ!!” teriak Zayd yang tiba-tiba berlari memeluk Faiq.

“Eh hati-hati. Banyak mas-mas yang lagi ngangkutin barang,” ujar Faiq begitu Zayd datang ke pelukannya.

“Hehehe, iya abisnya Jayd ngen ma Mbak Aiq. Dah ama ga temu. Mbak Aiq ci ga au mput Jayd ke Kedili,” bocah setahunan yang masih belum fasih bicaranya itu ngedumel.

Lucu sekali. Padahal ngomongnya aja belum jelas. Tapi udah pinter mengungkapkan perasaan. Zayd memang anak yang hangat meskipun kekurangan kasih sayang ibu. Kata mbak-mbak yang sering mengasuh, Zayd mendapat teladan yang baik dari Kyai Zulfikar. Karena begitulah beliau selalu memperlakukan ibu dan mertuanya. Terlebih kepada mending isterinya dahulu. Sayang Zayd tidak berkesempatan melihat itu.

Faiq menggendong Zayd. Lalu mengajaknya keluar. Ramai orang yang seliweran memasukkan barang, tidak aman untuk Zayd.

“Iya maaf ya Gus Zayd. Mbak Faiq sibuk kuliah.”

“Eh tu Abi,” ujar Zayd sembari menunjuk Kyai Zulfikar yang berjalan ke arah mereka.

“Assalamu’alaikum Faiq,” sapa beliau sambil menangkupkan kedua tangannya di dada.
Faiq juga melakukan hal yang sama diiringi dengan menjawab salam.

Kyai Hasan memang sengaja mengundang sepupunya itu untuk menyambut kedatangan Syaikh Aslam. Dan dengar-dengar Kyai Zulfikar sengaja mau nginap di Al-Hikam juga untuk ikut belajar bersama Syaikh Aslam.

“Wah ini rumah yang mau ditinggali Syaikh Aslam ya? Udah rampung persiapannya?”

“Sedikit lagi Kyai. Harus cepat karena katanya Syaikh Aslam sudah sampai di Surabaya.”

Kyai Zulfikar manggut-manggut.

“Eh nggak perlu panggil saya kyai gitu. Panggil aja Paklik Zul. Kayak Irham manggil saya,” ujar Kyai Zulfikar santai.

“Wah agak nggak kebiasaan. Tapi nanti Faiq coba nggih.”

Penataan tempat tinggal Syaikh Aslam sudah siap semua. Tinggal disapu dan dipel. Faiq yang merasa tidak perlu lagi memantau pekerjaan santri, memutuskan untuk kembali ke ndalem. Bersama dengan Kyai Zulfikar dan Zayd yang masih dalam gendongannya, mereka berjalan sambil ngobrol santai.

“Oh ya katanya Paklik Zul mau ikut belajar sama Syaikh Aslam, apa betul?”

“Iya Faiq. Saya pengen belajar tentang Al-Qur’an lebih dalam kepada beliau. Tapi karena nggak mungkin saya nginep disini tiga bulan full. Jadi mungkin akan ada waktu yang pulang-pergi.”

“Wah, kasihan Gus Zayd dong.”

“Nah itu dia. Kalau Mbak Faizah nggak keberatan, saya pengen nitipin Zayd disini. Jadi nggak usah ikut pulang pergi kalau pas saya ada urusan di Kediri.”

NIRMALAWhere stories live. Discover now