TIGA ENAM

303 11 1
                                    

Faiq berdiri di depan AC sambil mengutak-atik remotenya. Menyesuaikan suhu yang pas. Inginnya tidak perlu memakai pendingin ruangan itu. Tapi Gus Irham bersikeras menyalakannya. Entah apa alasannya. Padahal nggak pakai AC aja udah dingin.

Setelah dirasa suhunya tidak terlalu dingin, Faiq naik ke atas kasur. Dikibas-kibasnya beberapa kelopak mawar yang tersebar di atas selimut. Membuat aromanya semerbak ke seluruh ruangan. Ditambah wangi lilin aroma terapi yang menenangkan. Dan remang lampu dengan kesan romantis. Malam yang sempurna untuk memadu kasih.

Faiq menyandarkan punggung di headboard. Ia rapatkan cardigan yang dipakainya. Menutupi badannya yang memakai pakaian cukup tipis. Tubuhnya belum beradaptasi betul dengan cuaca di dataran tinggi.

Selagi menunggu suaminya bebersih, Faiq menyalakan TV. Sembarang memilih film yang tersedia di netflix. Begitu film dimulai, Faiq menarik selimut sampai ke perut. Dan mulai menikmati alurnya.

Baru beberapa menit film disetel, Gus Irham keluar dari kamar mandi. Ikut bergabung dengan isterinya, menghangatkan diri di balik selimut. Tangannya merengkuh pundak Faiq. Dan dengan sengaja menyandarkan kepala Faiq di bahunya.

Faiq tersenyum simpul. Sebetulnya ia bukan tidak bisa melakukannya sendiri. Hanya merasa sikap Gus Irham yang selalu ingin “ditempelin” terus itu sangat lucu. Jadi kadang dia nikmati saja kelakuan suaminya itu. Mengingat seperti apa mereka dulu, rasanya masih seperti mimpi di siang bolong. Antara nyata dan tidak nyata.

Beberapa saat mereka hanya diam menikmati film dengan genre komedi action. Menikmati kasur empuk dan hangat. Juga mengistirahatkan raga dari rasa lelah sepanjang perjalanan hari ini. Lelah fisik dan lelah batin. Perpisahan mereka dengan Ustaz Ibrahim dan Shanum ternyata cukup menguras emosi juga. Diam-diam dua orang itu saling memendam kesedihan. Apalagi Gus Irham, yang entah kapan bisa berjumpa lagi dengan sahabat yang sudah bertahun-tahun menemaninya.

Dulu Ustaz Ibrahim selalu membantunya. Sekarang kehidupan Ustaz Ibrahim tidak pasti akan seperti apa. Bahaya seperti apa yang akan mereka tanggung. Dan kebahagiaan seperti apa yang akan menunggu mereka. Jika ia mengalami kesulitan, Gus Irham belum tentu bisa membantu. Karena jarak mereka tak lagi dekat.

“Gus Irham masih sedih?” tanya Faiq memecah keheningan.

Gus Irham menoleh. Mendapati wajah khawatir isterinya.

“Sedih? Sedih kenapa? Kan kita lagi honeymoon, masa sedih sih?”

Faiq memicingkan matanya. Mencari kebenaran dari bola mata lawan bicaranya.

“Faiq tahu kok Gus Irham tadi diam-diam nangis pas pulang dari rumah Ustaz Ibrahim.”

Mendadak Gus Irham tersenyum getir. Banyak hal yang ia pikirkan. Sedih, khawatir, sekaligus bahagia. Ia tahu ada sesuatu yang Ustaz Ibrahim dan Shanum sembunyikan. Seolah dengan begitu, akan membuat kekhawatirannya hilang.

Faiq masih menatap suaminya dengan cemas. Matanya mengerjap-erjap. Sayangnya dalam pandangan Gus Irham, mata penuh kekhawatiran itu justru terlalu menggemaskan. Ia pun tertawa kecil. Lalu mendaratkan sebuah kecupan di dahi Faiq.

“Kamu mau sampai kapan manggil aku Gus terus?”

Faiq bingung harus menjawab apa.

“Emangnya kenapa?” tanya Faiq polos.

Masih dengan tawa di bibirnya Gus Irham berkata, “Kan aku suami kamu Maryam.”

“Yaa... terus? Emang nggak boleh?”

Bukannya Faiq nggak paham sama maksud Gus Irham. Tapi menurut dia canggung kalau tiba-tiba mengganti panggilan. Toh ia menganggapnya seperti suami yang memanggil isterinya mama, jika sudah punya anak. Baginya memanggil Gus Irham  seperti itu adalah untuk menghormatinya. Apa yang salah?

NIRMALAWhere stories live. Discover now