SEMBILAN BELAS

308 13 2
                                    

“Rizky, tolong jemput saya ya.”

“Di Bandara Juanda.”

“Sekarang.”

“Nggak bisa?”

“Ya udah tolong hubungin yang lagi stand by di Al-Hikam aja buat jemput saya. Dan jangan bilang keluarga ndalem kalau saya pulang.”

“Jangan lama-lama ya. Nanti kabarin lewat chat aja.”

“Oke, wa’alaikumussalam.”

Gus Irham menutup teleponnya. Lalu memasukkan ke dalam saku celana. Ia berjalan mencari pintu keluar. Tapi perut yang sudah keroncongan, membawa sepasang kakinya masuk ke salah satu restoran. Ia duduk disana sambil memilih menu. Dan memutuskan memesan rawon lengkap dengan nasi dan sepiring bakwan untuk menemaninya menunggu pesan dari Rizky. Ia juga menambahkan segelas capuccino untuk menghalau rasa kantuk akibat perjalanan jauh.

Setelah pesanannya datang, Gus Irham langsung menyantapnya dengan cepat. Bahkan tak memainkan ponselnya sama sekali. Ia sangat fokus sampai suapan bakwan terakhirnya. Sudah setahun ia tidak merasakan makanan Indonesia yang rempahnya jelas beda dengan di Turki. Meskipun ini bukan kali pertamanya merantau, tapi tetap saja kerinduan dengan masakan Indonesia itu selalu ada.

Setelah menyeruput sedikit capuccinonya yang masih panas, ia baru mengecek lagi ponselnya. Rizky bilang ia sudah meminta tolong pada Ustaz Ibrahim untuk menjemput. Karena hanya tinggal Ustaz Ibrahim yang belum pulang liburan.

Gus Irham menghela napas. Sebenarnya merasa agak berat bertemu dengan Ustaz Ibrahim sekarang. Ada sedikit perasaan marah terselip dalam hatinya. Tapi mau gimana lagi, sudah terlanjur. Toh dia sudah sangat lelah jika harus ke Jombang naik angkutan umum. Lelah fisik dan lelah batin.

Setelah mendapat pesan dari Rizky, Gus Irham tak buru-buru menghabiskan minumnya. Ia masih bersantai di tempatnya sambil menunggu Ustaz Ibrahim telepon. Rizky bilang, kalau Ustaz Ibrahim sudah dapat mobil ia akan langsung menghubungi Gus Irham. Makanya dari pada nunggu di luar, mending nunggu sambil pesan makanan lagi.

“Pisang  cokelat sama tahu isi satu porsi ya Bu.”

Meskipun harga makanan di bandara terbilang mahal. Tapi Gus Irham tetap membelinya. Padahal biasanya dia anti beli-beli makanan di bandara. Entahlah hari ini dia kenapa. Mungkin efek pulang mendadak, sampai air mineral pun ia beli di bandara.

Pesanan keduanya datang bersamaan dengan telepon masuk dari Ustaz Ibrahim. Berat hati Gus Irham mengangkatnya dan lebih dulu uluk salam. Dari sebrang sana terdengar Ustaz Ibrahim sedang menutup pintu mobil bersamaan dengan menjawab salam Gus Irham.

“Kamu ini Ham, pulang kok nggak bilang-bilang. Untung aku masih belum balik ke Malang,” ujarnya menyebut kota tempatnya tinggal.

Dari tempatnya duduk, Gus Irham mendengar suara mobil yang mulai melaju. Agaknya Ustaz Ibrahim baru dapat pinjaman mobil dan cepat-cepat berangkat ke Surabaya.

“Iya Him, mendadak,” ujar Gus Irham singkat.

“Ya wis lah tunggu aku sebentar ya. Aku ngebut nih, kamu hutang cerita sama aku. Assalamu’alaikum.”

Gus Irham terdiam. Ia tahu cerita apa yang dimaksud Ustaz Ibrahim. Dilihatnya jam di ponsel. Sebentar lagi masuk waktu dzuhur. Ia meminta kepada ibu penjaga restorannya agar membungkus makanan yang belum sempat ia sentuh. Dan setelah membayar, Gus Irham melangkahkan kakinya menuju masjid.

Setelah sholat dzuhur dan muroja'ah satu juz, ia mendapat kabar kalau Ustaz Ibrahim sudah menunggu di area penjemputan. Sedangkan Gus Irham malah berada di Masjid At-Taqwa, yang tak jauh dari area parkir domestik. Sudah keluar dari area penjemputan sejak tadi.

‘Kamu ke masjid At-Taqwa aja Him,' tulis Gus Irham membalas pesan temannya itu.

Tak berselang lama dua orang itu pun saling bertemu. Gus Irham dan Ustaz Ibrahim saling berpelukan melepas rindu.

“Wah makin makmur aja kamu Him di Al-Hikam,” gurau Gus Irham yang melihat Ustaz Ibrahim lebih berisi dari sebelumnya.

“Iyalah, bahagia aku di Al-Hikam. Nggak mikirin tugas terus.”

Keduanya tertawa lebar.

Setelah memasukkan koper ke bagasi, Ustaz Ibrahim menghampiri Gus Irham yang belum juga masuk mobil.

“Biar aku aja yang nyetir Him. Kamu pasti capek kan buru-buru kesini dari Jombang.”

“Tapi Ham, kamu kan baru sampai dari Turki. Jelas lebih capek kamu lah.”

“Alah nggak papa. Besok katanya kamu mau pulang ke Malang. Harus jaga stamina. Udah biar aku aja, lagian kangen juga aku nyetir,” ujar Gus Irham sembari mengambil kunci mobil dari tangan Ustaz Ibrahim.

Sebenarnya itu hanya alibi Gus Irham untuk melarikan diri dari pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan Ustaz Ibrahim. Karena ia tahu, temannya itu kalau duduk di kursi penumpang sudah pasti ngantuk. Dan tak akan punya kesempatan untuk ngobrol. Makanya Gus Irham sengaja minta menyetir, walaupun badannya sebenarnya sangat capek.

Mobil yang mereka tumpangi akhirnya keluar dari area bandara. Gus Irham menyetir dengan kecepatan sedang. Belum apa-apa Ustaz Ibrahim yang duduk di sampingnya sudah menguap. Tapi ia berusaha menghalau kantuknya dengan mengajak Gus Irham ngobrol.

“Kamu kenapa tiba-tiba pulang Ham?”

Gus Irham melirik Ustaz Ibrahim sekilas. Dilihatnya kawannya itu mengajukan pertanyaan dengan santai. Bahkan pandangannya tertuju pada jalanan Surabaya yang hari ini tak terlalu padat.

“Ya emangnya aku nggak boleh pulang Him?” jawab Gus Irham tak kalah santai.

Ustaz Ibrahim menguap lagi.

‘Plis tidur aja lah, jangan nanya-nanya lagi,’ ujar Gus Irham dalam hatinya.

“Ya boleh lah.”

Mobil mulai memasuki tol. Ustaz Ibrahim terlihat tidak berminat melanjutkan obrolan lagi. Seolah enggan menghadapi keras kepalanya Gus Irham. Jika ia menanyakan hal terakhir kali yang mereka bahas di telepon. Tapi meskipun berulang kali menguap, matanya tetap saja tak terpejam. Seperti sedang menunggu waktu yang tepat untuk mengajukan bom pertanyaan.

Gus Irham masih fokus menyetir. Dalam hati berharap, itu adalah pembicaraan terakhir mereka hari ini. Gus Irham benar-benar belum siap menjelaskan apapun pada Ustaz Ibrahim.

“Gimana tesisnya Ham?” tanya Ustaz Ibrahim memecahkan keheningan.

Untungnya yang ditanyakan soal kuliah, Gus Irham jadi sedikit rileks.

“Alhamdulillah lancar sih Him. Profesor juga banyak bantu.”

Ustaz Ibrahim manggut-manggut. Sambil mendengarkan ocehan Gus Irham tentang perjalanannya mengerjakan tesis. Sesekali menimpali bahasan yang ia tahu. Dari obrolan tesis topik beralih ke keseharian menjadi mahasiswa Turki. Lalu berganti membahas bagaimana indahnya Turki. Gus Irham seakan lupa dengan rasa kesalnya kepada Ustaz Ibrahim. Sampai tak terasa Gus Irham mulai menceritakan perjalanannya keliling Turki. Dan tak sengaja ia menyebut nama Shanum disela-sela ceritanya.

“Jadi kamu ngajak Shanum nikah?”

Dan munculah bom pertanyaan yang sedari tadi coba dihindari oleh dua orang itu. Gus Irham yang terkejut dan tidak siap mendengarnya tiba-tiba jadi hilang fokus. Saat itu niatnya mau menyalip truk yang ada di depannya. Tapi karena salah perhitungan ujung mobil sebelah kanan jadi menyerempet bumper truk. Dengan kecepatan yang lumayan tinggi, mobil pun oleng.

“Awas Ham!!” teriak Ustaz Ibrahim panik.

Sebelum akhirnya mobil yang mereka tumpangi berputar-putar. Dan berakhir menabrak pembatas jalan tol.

⚫⚫⚫

Readers be like: Sukurin tuh!!

Eh tenang, tenang, jangan ganas-ganas ya Gaiiss. Kesel boleh, jahat jangan 🤭

Gimana nih chapter ini? Mau lanjut begini aja endingnya? 😅

Komen yang banyak yakk. Jangan cuma komen aja, vote juga. Kalau belom follow, ya follow dulu lahh. See u next chapter Gaiiss 🤗

NIRMALAWhere stories live. Discover now