TIGA BELAS

280 14 4
                                    

Kegiatan pekan bahasa telah berakhir. Acara pembagian rapor semester ganjil baru saja selesai. Pembagian hadiah lomba-lomba pekan bahasa juga sudah rampung. Beberapa santri juga sudah ikut pulang untuk libur semester. Menyisakan panitia yang harus beres-beres. Bersama beberapa santri baik hati yang peka untuk membantu.

Ustaz Ibrahim menyalami Kyai Zulfikar. Berterima kasih karena ditengah kesibukan beliau mengurus pesantren, masih mau direpotkan menjadi juri selama pekan bahasa. Sesuai usulan Faiq, Kyai Zulfikar dimintai tolong untuk menjadi juri lomba kecakapan bahasa. Bahkan sampai pekan bahasa berakhir, beliau sendiri yang memberikan piala kepada pemenang lomba.

Padahal Kyai Zulfikar adalah pimpinan Pesantren Darul Arqom. Sebuah pesantren kecil yang berlokasi di Kediri, Jawa Timur. Meskipun santrinya belum sebanyak di Al-Hikam. Tapi tetap saja Kyai Zulfikar adalah orang yang sibuk.

Kyai Zulfikar adalah sepupu Kyai Hasan. Ayah Kyai Zulfikar adalah adik bungsu Kyai Nizam, ayah Kyai Hasan. Makanya usia Kyai Zulfikar sebetulnya masih terbilang muda untuk dipanggil kyai. Tapi karena beliau pimpinan pesantren, jadilah ia terkenal sebagai kyai muda di Jawa Timur.

“Itu siapa ya Ustaz? Kok saya sering lihat seliweran di ndalem?” tanya Kyai Zulfikar sembari menunjuk Faiq yang sedang membantu panitia beres-beres.

“Oh itu isterinya Gus Irham Kyai.”

“Loh Irham sudah nikah?” Kyai Zulfikar sedikit terkejut.

Nggih Kyai.”

Bukannya Kyai Zulfikar tidak diundang waktu nikahan Irham dengan Faiq. Tapi karena waktu itu Kyai Hasan hanya menyuruhnya untuk datang. Beliau tidak memberikan undangan resmi kepada Kyai Zulfikar. Jadi ia tidak sampai berpikir kalau sepupunya itu mengundangnya untuk hajat besar.

“Mungkin karena acaranya sederhana saja Kyai, jadi tidak ada undangan resmi,” tambah Ustaz Ibrahim.

“Iya, waktu itu saya pikir Mas Hasan cuma mau ngundng makan-makan. Rupanya nikahkan Irham toh? Lah Irhamnya kemana kok nggak kelihatan dari kemarin-kemarin?”

“Gus Irham kuliah ke Turki Kyai, S2 disana.”

“La isterinya kok nggak dibawa?” tanya Kyai Zulfikar heran.

“Isterinya itu dapat beasiswa tahfiz di Darul Ulum Zul. Makanya eman kalau dilepas gitu aja beasiswanya. Jadi mereka berdua yo LDM toh,” sahut Kyai Hasan yang tiba-tiba muncul.

“Subhanallah Mas Hasan, assalamu’alaikum,” Kyai Zulfikar menyalami Kyai Hasan, lalu keduanya berpelukan.

“Kok nggak bilang-bilang kalau mantu?” tanya Kyai Zulfikar setelah melepas pelukannya.

“Panjang ceritanya. Wis ayo dilanjut di ndalem aja. Udah lama juga kita nggak ketemu kan?”

“Iya. Aku seminggu disini, sampean malah ke Madinah,” ujar Kyai Zulfikar sembari berjalan mengikuti sepupunya ke arah ndalem.

“Iya Zul, aku mau ngundang Syaikh Aslam itu loh. Kan ora pantes to kalau lewat telepon. Jadi ya mau nggak mau aku harus kesana, matur ke beliau. Alhamdulillah beliau mau Zul.”

“Alhamdulillah. Kapan itu Mas? Wah aku yo kudu kesini toh, ikut belajar.”

Alah kowe iki wis pinter ngunu loh. Wong menantuku sendiri yang ngusulin biar kamu jadi juri bahasa.”

Kyai Zulfikar memang terkenal dengan kemampuan bahasa arabnya yang sudah high level. Bahkan beliau sering menulis artikel untuk beberapa majalah arab. Dan kerap kali ditunjuk sebagai juri jika ada lomba debat berbahasa Arab. Baik di tingkat nasional atau internasional.

Alah Mas aku iki cuma dilebihin ilmu sama Gusti Allah di bahasa. Tapi kalau ilmu Quran, masih jauh toh Mas.”

Dua orang kyai itu saling merendah. Hingga tak terasa sudah sampai di ruang tamu ndalem. Keduanya pun duduk. Lalu Kyai Hasan meminta tolong pada Faiq yang baru saja selesai membantu panitia beberes, untuk membuatkan teh.

NIRMALAWhere stories live. Discover now