DUA SATU

347 14 2
                                    

“Jadi kapan ibu ngajuin surat gugatan cerai itu? Kok Faiq nggak tahu.”

Sore hari setelah Kyai Zulfikar dan Zayd pulang, Faiq dan Halimah bercengkrama di ruang tamu. Ditemani secangkir teh hangat dan kacang godhog. Pas sekali untuk menghangatkan badan di saat sedang hujan seperti sekarang. Momen kepulangan ini benar-benar Faiq manfaatkan untuk menemani ibunya yang tak lagi muda itu.

“Sudah lama itu, waktu kamu baru-baru nikah sama Nak Irham. Tapi baru berani ibu tunjukin tadi pagi ke bapakmu.”

“Lah kok ibu nggak bilang-bilang ke Faiq sih?”

“Waktu itu kamu baru nikah terus langsung ditinggal kuliah sama suamimu. Ya kan ibu nggak mau nambah beban pikiran kamu toh Nduk,” ujar Halimah sembari mengambil segenggam kacang di atas meja.

“Sulthon udah tahu?” Faiq ikut melakukan hal yang sama dengan ibunya. Hujan memang selalu berhasil membuat nafsu makan bertambah.

“Lha yang ngurus semua dokumennya ya adikmu. Cuma ibu nggak maju-maju itu ya karena harus sewa pengacara kan? Tapi ibumu ini ada uang dari mana?” ujar Halimah sedih.

“Udah ibu tenang aja. Nanti Faiq carikan pengacara terbaik buat ibu.”

“Kamu ada uang toh Nduk?”

“Belum sih, hehehe. Tapi Faiq lagi mau merintis usaha. Ibu doain aja ya. Nanti Faiq coba tanya ke Paklik Zul, kan beliau koneksinya banyak,” sambil menyeruput teh hangatnya Faiq menenangkan Halimah.

“Eh itu dari tadi hpmu getar-getar terus. Siapa toh?” tanya Halimah yang melihat ponsel Faiq tidak berhenti bergetar sejak keduanya duduk di ruang tamu.

“Faiq juga nggak tahu, udah dari dua hari yang lalu begitu. Biarin aja Bu. Mungkin orang iseng,” jawab Faiq santai. Sambil masih sibuk mengunyah kacangnya.

“Eh jangan gitu toh Nduk. Udah sampai dua hari teleponin kamu terus, mana tahu penting loh. Angkat aja, “ ujar Halimah sembari menyerahkan ponsel ke tangan Faiq.

Faiq dengan malas menuruti ibunya. Ia geser tanda terima. Dan terdengarlah suara berat lelaki di ujung sana.

“Selamat sore.”

“Sore.”

“Apa benar ini dengan keluarga saudara Irham?” tanya lelaki tersebut dengan suara bariton yang khas.

Kening Faiq berkerut, “Iya benar.”

“Saat ini saudara Irham sedang berada di RSUD Jombang. Dua hari yang lalu beliau mengalami kecelakaan mobil. Dan hari ini baru sadarkan diri.”

“Hah? Gus Irham kecelakaan?” tanya Faiq dengan nada tinggi.

Halimah yang mendengar itu langsung panik.

Onok opo Nduk?” bisiknya.

“Iya. Mohon anda untuk datang ke RSUD secepatnya. Karena belum ada saudara yang datang untuk menjenguknya,” sambung lelaki yang Faiq tebak adalah seorang polisi.

“Iya, iya, iya. Saya segera kesana sekarang juga. Iya, baik,” Faiq langsung menutup teleponnya.

Sontak Faiq bangkit dan menuju kamarnya. Memasukkan dompet dan charger ke dalam tas dengan terburu-buru.

Nduk, onok opo toh? Irham kecelakaan? Katanya dia di Turki,” Halimah tak kalah paniknya.

“Faiq juga nggak tahu Bu. Udah ya sekarang Faiq mau ke Jombang dulu. Kasihan Gus Irham sendirian dari kemarin,” ujar Faiq sambil memasang kaos kakinya.

“Lah keluarga ndalem kemana Nduk?”

“Faiq juga nggak tahu. Udah ya Bu, assalamu’alaikum,” buru-buru Faiq keluar rumah.

Tapi langkahnya terhenti begitu melihat hujan deras masih turun.

“Kamu nggak bawa apa-apa? Cuma gitu aja?” tanya Halimah di ambang pintu.

“Bawa apa lagi Bu? Udah nanti nggak keburu. Mana masih hujan lagi. Faiq pergi aja ya Bu. Nanti ke terminalnya naik ojek di depan gang.”

Halimah menarik tangan Faiq, “Jangan Nduk, nanti kamu malah sakit. Sek bentar ibu teleponin Sulthon suruh ngantar kamu. Jangan panik dulu.”

Halimah kembali ke dalam rumah dan mengambil ponselnya. Sulthon sejak pulang sekolah memang langsung ke pesantren hari ini. Karena ada Faiq di rumah, jadi ia tidak khawatir jika ibunya itu membutuhkan bantuan.

Halimah bicara dengan Sulthon lewat telepon. Dan katanya sebentar lagi Sulthon akan pulang. Karena memang jarak pesantren dengan rumah tidak jauh. Sedangkan Faiq sibuk mondar-mandir dengan raut muka yang tegang. Kelihatan sekali sedang cemas.

“Udah Nduk. Bentar lagi Sulthon pulang. Sing tenang, jangan grusah-grusuh,” ujar Halimah berusaha menenangkan anak perempuan satu-satunya itu.

Tak beberapa lama kemudian Sulthon datang dengan jas hujan yang sudah lengkap. Ia memberikan satu setel jas hujan untuk dipakai Faiq. Sebelum naik ke motor, Halimah sempat membekali Faiq dengan satu setel baju untuk ganti disana. Biar nggak masuk angin. Lalu keduanya segera meluncur ke terminal dengan guyuran hujan yang tambah deras.

‘Gus Irham, apa sebenarnya yang terjadi?’

⚫⚫⚫

Begitu sampai di rumah sakit, Faiq langsung mencari kamar rawat inap Gus Irham. Dengan baju yang setengah basah ia berlarian di koridor rumah sakit. Hatinya benar-benar tidak tenang. Dalam perjalanan ke rumah sakit tadi, ia terus merutuki dirinya sendiri yang sedari kemarin tak mengangkat telepon dari pihak kepolisian. Sekarang ia jadi ketakutan sendiri. Terhitung tiga hari sampai hari ini Gus Irham di rumah sakit dan dia sendirian. Dengan keadaan luka-luka.

‘Ah bodoh sekali aku ini,’ rutuk Faiq yang kesekian kalinya.

Perawat bilang Gus Irham sudah dipindahkan ke ruang VIP atas kemauan beliau sendiri. Tidak adanya keluarga yang membantu, membuat ia lebih nyaman berada di ruangan yang hanya berisi satu pasien. Begitu Faiq menemukan ruangannya, ia langsung membuka pintu dengan perlahan. Matanya seketika menangkap sosok lelaki yang terbaring lemah. Dengan infus tertancap di tangan kiri dan gips di tangan kanannya.

Yaa Allah, batin Faiq tambah bersalah. Bagaimana bisa dua hari ini Gus Irham bertahan sendirian? Tak terasa air mata Faiq menetes. Tiba-tiba lupa kalau suaminya itu punya rencana untuk menikah lagi. Ia bahkan tidak tahu nasibnya setelah ini. Akan dimadu atau justru diceraikan.

Faiq mendekati ranjang Gus Irham. Ternyata laki-laki itu sedang tertidur. Dari dekat nampak wajah tampan Gus Irham yang pucat. Tangis Faiq jadi semakin deras. Sederas hujan di luar sana yang masih belum berhenti juga.

Faiq yang tak bisa lagi menahan tangisnya langsung cepat-cepat pergi ke kamar mandi yang ada di kamar itu. Lagi pula ia harus segera mengganti bajunya biar nggak masuk angin. Ia juga belum sempat sholat maghrib dan isya. Karena buru-buru pergi menjelang maghrib. Jadi ia harus menjamak sholatnya sekarang.

⚫⚫⚫

Tercium bau-bau keuwuan di chapter selanjutnya 😂😂

Gimana Gais sampai chapter ini kalian masih tim Zulfikar Faiq atau muncul harapan buat kapal Irham Faiq? 🤭

Pantengin terus Nirmala ya Gais. Dengan cara follow, klik lonceng, pencet bintang buat dukung Author. Jangan lupa juga buat komen dan share sebanyak-banyaknya yakk 🤗

NIRMALAWhere stories live. Discover now