DELAPAN

302 12 3
                                    

Ragu-ragu Faiq mengekor di belakang Gus Irham. Meskipun terlihat tenang, sebenarnya disini Gus Irham yang paling deg-degan. Tidak tahu dari mana keberaniannya mengajak Faiq ke kamar.

Memang Faiq ini benar-benar bisa membuat Gus Irham punya dua kepribadian. Kadang jutek dan sebal jika melihat Faiq. Dan kadang juga seperti ini. Melakukan hal-hal diluar kendali otaknya.

“Tunggu Gus. Bicara disini aja, nggak perlu ke kamar,” Faiq berhenti di depan pintu kamar Gus Irham. Tepat sebelum Gus Irham membuka pintu.

Gus Irham langsung membalikan badannya. Tanpa bicara sepatah kata pun ia letakan tangan kanannya di pucuk kepala Faiq. Lalu tangan kirinya ia tengadahkan untuk mendoakan Faiq.

“Allahuma ini as’aluka min khoirihaa wa khorima jabaltahaa ‘alaih. Wa a’udzubika min syarihaa wa syarimaa jabaltaha ‘alaih.”

Faiq tertegun. Tidak menyangka Gus Irham akan benar-benar meendoakannya. Doa pengantin pria kepada pengantin wanita setelah akad nikah. Meskipun akadnya sudah cukup lama, tapi Gus Irham tetap melakukan kewajibannya.

Hal itu membuat degup jantung Faiq tidak karuan. Kulit wajahnya yang putih menampakkan semburat merah. Dan mata mereka kembali bertemu.

Disitu Faiq baru menyadari betapa tampannya Gus Irham. Mata tegasnya yang tidak memiliki lipatan mata. Hidung tingginya yang sempurna bak seluncuran. Bibir tipis merah alaminya. Dan stylenya yang selalu kekinian meskipun statusnya putera kyai. Sungguh membuat pahatan wajahnya kian sempurna. Masya Allah.

“Kenapa pipimu merah?” pertanyaan Gus Irham membuyarkan lamunan Faiq.

Faiq buru-buru menutupi pipinya canggung. Melihat tingkah Faiq, tanpa sadar Gus Irham menarik sudut bibirnya. Tersenyum tipis sekali.

“Jadi kamu mau ngomong apa sama saya?” tanya Gus Irham buru-buru mengubah eskpresinya.

“Ah iya,” teringat ada hal yang perlu ia luruskan dengan Gus Irham, Faiq memberanikan diri menatap Gus Irham. Ia harus mencari kejujuran seorang Muhammad Irham.

“Sebenarnya Gus Irham setuju nggak dengan pernikahan ini?”

“Memangnya penting saya setuju atau nggak?”

“Kalau Gus Irham nggak setuju, lebih baik kita hentikan dari sekarang. Mumpung belum ada orang yang tahu tentang status kita. Lebih baik Gus Irham jatuhkan talak untuk saya,” ujar Faiq lugas.

Gus Irham terkejut. Tidak menyangka Faiq akan memintanya untuk menjatuhkan talak. Sesaat setelah tahu tentang statusnya. Bahkan belum ada hitungan jam.

“Kamu sendiri bagaimana dengan pernikahan ini?”

“Saya...,” Faiq tercekat.

Teringat perkataan Halimah tentang wasiat ayahnya. Tapi pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Apalagi jika hanya karena fitnah atau wasiat. Baik Gus Irham atau pun Faiq tidak berhak untuk bertanggung jawab.

“Hm?” Gus Irham sedikit menunduk. Mensejajarkan wajahnya dengan wajah Faiq.

‘Ah kenapa Gus Irham ganteng banget,' batin Faiq menjerit.

Bagaimana pun juga Faiq adalah manusia biasa. Yang kalau ditatap pria setampan Gus Irham dengan sangat dekat seperti ini, jantungnya bisa-bisa mencelus.

“Maryam, saya nggak pernah berniat untuk menceraikan kamu. Kalau kamu keberatan dengan pernikahan ini, kamu tinggal bilang ke Abah sama Umi. Mumpung masih belum ada orang yang tahu seperti kata kamu tadi.”

Faiq menghela napas, “Gus saya tahu kalau njenengan nggak suka dengan pernikahan ini. Saya bisa ngerasain. Saya cuma pengen menikah dengan orang yang saya cintai," Faiq menjeda kalimatnya untuk mengatur napas.

NIRMALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang