DUA TIGA

348 13 2
                                    

Keesokkan harinya Faiq benar-benar datang pagi sekali. Bukan karena apa. Tapi ia merasa tidak enak dengan Kyai Zulfikar yang mendadak harus ke Jombang. Apalagi meninggalkan Zayd. Kasihan bocah kecil itu kalau sering-sering ditinggal.

Karena pintu kamar terbuka begitu saja, Faiq langsung masuk sambil uluk salam. Gus Irham terlihat sedang komat-kamit. Sepertinya sedang mengulang hafalan. Sedangkan Kyai Zulfikar duduk di sofa yang ada di ruang itu sambil mengangkat ponselnya tepat di depan wajah. Sedang video call dengan Zayd. Faiq langsung bergabung ikut menyapa Zayd.

“Halo Zayd anak soleh, assalamu’alaikum,” sapa Faiq riang.

“Mbak Aiq kok ga adi ke Kedili cih,” gerutu Zayd sambil cemberut.

“Aduh maaf ya. Mbak Faiq harus jagain Gus Irham disini. Nanti Zayd aja yang main kesini. Sambil nengokin Gus Irham.”

Kyai Zulfikar yang ada di samping Faiq senyum-senyum. Merasa senang dengan interaksi dua orang tersebut. Sedangkan Gus Irham langsung menghentikan aktivitasnya begitu melihat Faiq masuk kamar. Tapi sedikit kecewa karena yang dihampiri duluan malah Kyai Zulfikar. Dan sekarang sedang asyik ngobrol dengan sepupu kecilnya itu.

Lagi-lagi ada perasaan aneh terselip di hati Gus Irham. Rasanya tidak rela jika Faiq bisa seakrab itu dengan keluarga Kyai Zulfikar. Apakah ia cemburu? Sepertinya tidak pantas ia begitu. Kalau Faiq tahu bagaimana dulu hatinya, rasa-rasanya dia lebih berhak cemburu dan merasa dikhianati.

“Dadaaaah, wa’alaikumussalam,” Faiq mengakhiri obrolannya dengan Zayd. Entah kenapa setiap kali bersama dengan Zayd, ia selalu merasa terhibur.

Kyai Zulfikar bangkit, “Kalau gitu saya pulang dulu ya Faiq,” ujarnya sambil berjalan ke ranjang Gus Irham.

“Irham kamu butuh sesuatu?”

Gus Irham menggeleng.
“Nanti insya Allah kalau perjalanannya lancar, Abah sama Umimu datang sore.”

“Iya Paklik. Makasi banyak ya.”

“Kalau ada apa-apa, hubungi Paklik ya. Insya Allah Paklik secepatnya kesini lagi sama Zayd.”

Gus Irham tidak merespon. Agak berharap agar urusan pakliknya banyak. Jadi tak perlu kesini lagi.

Setelah pamit, Kyai Zulfikar langsung pergi. Menyetir ke Kediri dengan kecepatan sedang. Tinggallah Gus Irham dan Faiq berdua di kamar.

“Gus udah sarapan?”

Gus Irham mengangguk. Jadwal sarapan rumah sakit memang pagi sekali. Karena kadar gizi pasien yang sedang pemulihan pasti sudah diatur sebaik mungkin.

“Kamu, udah makan?” gantian Gus Irham yang bertanya.

“Belum,” jawab Faiq sambil menyusun barang bawaannya ke dalam lemari.

“Nggak beli sarapan dulu?”

“Tadi Paklik Zul udah beliin sarapan buat Faiq. Tuh di atas meja,” ujar Faiq sembari menggerakkannya dagunya ke arah meja.

Gus Irham terdiam. Lagi-lagi perasaan tak senang itu muncul. Ah ingin sekali rasanya ia menyuruh Faiq untuk tidak memakannya. Tapi apa daya? Gantinya ia hanya bisa beristighfar sebanyak-banyaknya. Menghalau gemuruh di hati agar tidak semakin membara.

Selesai dengan kegiatannya, Faiq duduk di sofa sambil membuka bungkusan sarapannya. Lalu melahapnya dengan perlahan. Gus Irham hanya memperhatikan dengan senyum mengembang. Sudah lama ia tidak melihat wajah cantik Faiq. Wajah yang seharusnya halal ia nikmati.

“Maryam, aku mau ke kamar mandi,” pinta Gus Irham.

Faiq yang sedang menyuap sarapannya, langsung menghentikan kegiatannya. Sejak ada keluarga yang datang, perawat memang sudah melepas kateter Gus Irham. Jadi mau tak mau ia harus ke kamar mandi jika ingin buang hajat. Lagi pula kakinya tidak patah, hanya memar saja.

“Maksudnya Gus Irham mau Faiq bantuin ke kamar mandi?”

Gus Irham mengangguk.
Ragu-ragu Faiq mendekat. Pelan-pelan memapah Gus Irham ke kamar mandi. Karena meskipun Gus Irham bisa berjalan. Tapi ia sempat bilang kalau perutnya sakit karena mengalami benturan ketika kecelakaan. Jadi jalannya pun belum bisa tegak.

Faiq berhenti di depan kamar mandi. Gus Irham yang menyadari ia masuk sendiri,  menoleh.

“Kamu nggak ikut masuk?” tanyanya.

Faiq yang ditanya begitu jadi salah tingkah. Iya dia tahu, Gus Irham pasti butuh bantuan orang lain. Apalagi tangannya sedang digips dan satunya lagi diinfus. Tapi haruskah ia yang membantu?

Faiq mengigit bibir bawahnya, “Eee, gimana kalau Faiq panggilkan perawat aja?”

Gus Irham tertawa kecil, “Dari pada sama perawat kan mending sama kamu Maryam, yang halal megang aku. Tapi ya sudahlah, nggak papa. Aku bisa sendiri.”

Gus Irham menutup pintu. Membiarkan Faiq mematung di depan kamar mandi.

⚫⚫⚫

Sorry ya Gais, chapter ini cuma segini. Author lagi ga enak badan, mwehehe 😁

Komen yak gimana pendapat kalian sampai chapter 23 ini. Kalau author gak nyangka aja bisa nulis sampe sejauh ini, hehehe 😁

Jangan lupa dukung Author terus. Dengan cara follow, klik lonceng dan bintang, komen dan share sebanyak-banyaknya yakk 🤗🤗

NIRMALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang