DUA SEMBILAN

348 16 9
                                    

“Hhh...”

Terdengar helaan napas Faiq yang berat. Sejak naik mobil, ia terus memandang ke luar. Seakan-akan tak rela meninggalkan rumah ternyamannya. Tempat dimana ia selalu merasa dicintai dan dihargai. Berat sekali rasanya harus kembali bergelut dengan takdirnya yang tak tentu.

Halimah melirik Faiq. Diam-diam tersenyum simpul. Gemas melihat tingkah putrinya yang dari luar nampak dewasa sekali. Tapi kadang terlihat sangat kekanak-kanakan. Seperti sekarang ini.

Hari ini hari Ahad. Dengan terpaksa akhirnya Faiq memberanikan bertemu dengan Gus Irham. Bahkan sampai Heru bela-belain sewa mobil untuk mengantarnya kembali ke ndalem. Semalam mereka berdiskusi,

“Jadi kapan kamu mau kembali ke Al-Hikam?” tanya Halimah.

Faiq diam saja dengan wajah ditekuk. Terus terang ia sangat enggan dengan pembicaraan ini. Rasanya sakit sekali jika harus menghadapi jalan hidupnya yang pahit. Bahkan sejak awal pernikahan anehnya. Apakah pernah ia merasakan kebahagiaan dan keadilan? Rasa-rasanya sudah cukup ia bertahan sampai sejauh ini. Kyai Zulfikar benar, ia berhak bahagia.

Halimah melirik Heru dan Sulthon yang duduk melingkar bersama di ruang tengah. Dengan itu ia memberi kode agar Heru gantian bicara.

Nduk ayah tahu, ayah nggak punya hak atas kamu. Karena ayah bukan wali kamu. Ditambah mengingat kelakuan ayah dulu ke kamu.”

Faiq melirik ayah tirinya. Ia sudah melupakan segala perlakuan Heru padanya dulu. Baginya sekarang Heru adalah sosok ayah yang angat ia sayangi dan hormati. Tapi kemana kah arah pembicaraan ini?

“Tapi sekarang ayah sudah berubah. Ayah sangat sayang sama kamu. Ayah sih berharapnya pernikahan kamu baik-baik aja. Tapi semuanya kembali lagi ke kamu,” Heru menjeda kalimatnya.

“Sekarang gini aja, besok kami antar kamu ke ndalem. Gimana pun juga kamu harus ketemu suamimu. Nanti bagaimana keputusan kalian, ayah, ibu, sama Sulthon serahkan semuanya ke kamu.”

Begitulah akhirnya dengan berat hati Faiq menuruti perkataan ayah tirinya. Dan tak terasa sekarang mobil sudah masuk ke area pesantren. Hal pertama kali yang Faiq lihat adalah sebuah pelaminan. Terlihat mewah sekali. Pemandangan itu bagikan garam bagi luka di hati Faiq. Batinnya mulai berbisik sedih.

‘Benar kan, hajat Al-Hikam kali ini adalah pernikahan kedua Gus Irham.’

Rasanya saat itu Faiq ingin sekali meraung-raung. Bisa-bisanya mereka sekejam ini dengannya. Gus Irham bahkan enggan mengadakan resepsi pernikahan dengannya. Tapi malah membuat pesta semegah ini untuk gadis pujaannya.

Sayangnya Faiq harus mati-matian menahan air matanya. Karena begitu turun dari mobil ia langsung disambut oleh seorang perempuan yang mengenalkan dirinya sebagai make up artist. Namanya Mbak Nindy. Selain Mbak Nindy tidak ada yang menyambut kedatangannya. Mungkin semua orang sedang sibuk.

Faiq langsung diseret ke kamar. Meski bingung Faiq nurut saja. Begitu masuk kamar ia melihat dekorasi kamar pengantin yang begitu cantik. Kamar Gus Irham jadi terlihat berbeda. Faiq menutup matanya. Berusaha meredam perih di hatinya. Kamar yang selama ini ia tiduri, bahkan ketika hari nikahnya tidak pernah nampak seindah ini. Jika ranjang itu bisa bicara, ia akan bersaksi bahwa Gus Irham dan Faiq bahkan belum pernah tidur bersama di atasnya. Tapi hari ini...

‘Ah sudahlah. Lagi pula kenapa aku dibawa kesini? Apa Gus Irham benar-benar ingin menghancurkanku sampai sehancur-hancurnya?’

“Ayo Ning duduk dulu. Kita mulai make upnya,” ujar salah satu asisten Mbak Nindy.

‘Oh isteri pertama harus dimake up juga ya?’ batin Faiq dengan senyum masam.

Dalam diam Faiq duduk di kursi yang sudah disediakan. Ia melihat wajahnya di pantulan kaca. Suram sekali. Ah kenapa rasanya sangat perih. Haruskah ia berakting bahagia hari ini?

NIRMALAWhere stories live. Discover now