EMPAT

376 17 1
                                    

Gus Irham menjatuhkan tubuhnya di atas kasur dengan kasar. Ia mengusap wajahnya gusar. Masih terngiang keputusan abahnya tadi. Seolah tidak bisa dibantah dengan alasan apapun.

Padahal tiga hari lagi Kyai Hasan dan Bu Nyai Faizah akan melaksanakan umroh. Bagi Gus Irham serasa tanggung jawab untuk mengembalikan nama baik Faiq dan kestabilan pesantren itu diserahkan begitu saja kepadanya.

Ia bergumam sambil menatap langit-langit kamar, dengan mata berkaca-kaca, “Mas Fatih kenapa ninggalin Irham sih? Kenapa Mas Fatih pulang duluan ke Allah? Kalau Mas Fatih masih ada kan pasti Mas duluan yang disuruh nikah. Bukan Irham.”

Muhammad Fatih Ghaza Maulana adalah anak sulung dari Kyai Hasan dan Bu Nyai Faizah. Terpaut dua tahun lebih tua dari Irham. Sayangnya takdir usianya tidak panjang. Setahun yang lalu Gus Fatih meninggal dalam kecelakaan mobil. Tepat sepulangnya dari mengisi pengajian di Surabaya.

‘Astaghfirullah,' batin Irham merana. Teringat kembali kenangan-kenangannya bersama kakak laki-laki yang sangat ia sayangi.

Lagi-lagi Irham mengusap wajahnya kasar. Ia merogoh saku celana untuk mengambil ponsel. Jarinya sibuk mencari-cari pesan dari seseorang. Dan akhirnya ketemu.

‘Irham aku memutuskan lanjut S2 di Turki, sama sepertimu dan Ibrahim. Kapan kalian berangkat?’

Gus Irham dan Ustaz Ibrahim memang berteman sedari SMP di Pesantren Al -Hikam. Bahkan ketika SMA pun keduanya sama-sama pesantren di Yogyakarta. Lalu keduanya memutuskan bersama lagi untuk kuliah S1 di Maroko.

Awalnya Ustaz Ibrahim ingin melanjutkan S2 juga di Turki sama seperti Gus Irham. Tapi keputusannya tiba-tiba berubah karena satu dan lain hal. Akhirnya kali ini Gus Irham berangkat sendiri. Dan Ustaz Ibrahim lanjut mengabdi di Pesantren Al-Hikam.

Kenapa Turki?

Alasan ini juga sebenarnya bisa menjadi alasan Gus Irham untuk menolak menikahi Faiq. Tapi teringat raut serius Kyai Hasan tadi, Gus Irham segan untuk mengutarakan pendapatnya. Lagi pula siapa Faiq? Ia bahkan tak mengenalnya. Ia bertemu hanya secara tak sengaja malam itu.

Gus Irham sering mendengar tentang Faiq dari adiknya, Ning Tsabitah. Katanya Faiq memang gadis yang berakhlak baik dan cerdas. Faiq sudah pesantren sejak umur sebelas tahun di Al-Hikam. Itu artinya bahkan sebelum lulus SD, dia sudah belajar agama. Tak heran jika menginjak usia tiga belas tahun dia sudah selesai menyetorkan tiga puluh juz. Dan di usia empat belas tahun dia sudah sempat mentasmi’kan seluruh hafalannya.

Faiq juga selalu jadi juara umum  di pesantren. Tahun ini adalah tahun terakhir SMA-nya. Lihat saja ketika kelulusan nanti, pasti namanya akan disebut lagi sebagai juara umum.

Benar memang kata Bu Nyai Faizah. Selama ini Faiq terkenal sebagai gadis baik-baik. Siapa pula yang sampai hati membuat fitnah yang buruk tentang Faiq.

“Tapi kenapa pula harus aku yang tanggung jawab? Aku juga bukannya sengaja melihat rambutnya,” ujar Gus Irham membeo sendiri.

Ah ia jadi teringat kembali paras ayu Faiq di bawah temaram lampu kala itu. Bahkan hingga detik ini, ia masih mengingat dengan jelas garis wajah Faiq yang begitu indah. Masya Allah.

“Ah kenapa aku jadi mengingatnya,” desis Gus Irham dengan senyum kecut.

Gus Irham bangkit lalu membalas pesan di ponselnya yang sudah berminggu-minggu ia baca saja.

‘Aku akan berangkat sebulan lagi Shanum.’

Gus Irham menghela napas berat. Tekanan yang dirasakan menggerakkan kakinya untuk berwudhu dan mendirikan sholat. Ia sangat butuh Rabb-nya kali ini.

‘Sampai jumpa di Turki, Queen Shanum Rania.’

⚫⚫⚫

Kegiatan belajar santri Al-Hikam selalu diawali dengan pengajian ba’da subuh bersama Kyai Hasan. Dilanjut dengan piket bersama. Setelahnya masing-masing pergi sekolah atau kuliah.

Dan benar saja pagi itu, Halimah dan Sulthon datang ke ndalem. Tepat setelah bunyi bel masuk sekolah berdering. Keduanya uluk salam di depan pintu.

“Assalamu’alaikum.”

Bu Nyai Faizah menjawab dari dalam, “Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.”

“Umi ini loh keluarganya Faiq,” ujar Gus Thoriq yang tadi menjemput Halimah dan Sulthon di gerbang pesantren.

“Masya Allah Halimah udah lama nggak ketemu,” Bu Nyai Faizah dan Halimah saling berpelukan melepas rindu.

“Ini Sulthon toh? Masya Allah wes joko yo Le.”

Sulthon tersenyum simpul sembari mengatupkan tangannya ke dada. Dan Bu Nyai Faizah juga melakukan hal yang sama. Lalu mempersilahkan keduanya duduk. Dan memanggil santri yang sedang piket ndalem untuk menyuguhkan minum serta camilan yang sudah disiapkan.

Piye kabare? Katanya kemarin sakit?”

“Biasalah Ning, sakit kambuhan. Alhamdulillah udah mendingan sekarang,” jawab Halimah.

Bu Nyai Faizah adalah ning-nya Halimah waktu dia pesantren dulu. Meskipun begitu keduanya adalah kawan dekat. Setelah SMA Bu Nyai Faizah langsung menikah dengan Gus Ahmad Hasan Maulana. Yang tak lain adalalah anak Kyai Nizam, sepupu jauh dari kerabat ibunya. Lalu keduanya merantau dan mendirikan pesantren Al-Hikam. Yang sampai sekarang memiliki ratusan santri.

Sedangkan Halimah sendiri setelah kuliah sempat bertandang ke Pesantren Al-Hikam untuk temu kangen dengan ning sekaligus sahabatnya itu. Waktu itu Al-Hikam belum sebesar sekarang. Masih tahap merintis. Tapi siapa yang sangka, saat itu Halimah malah bertemu dengan jodohnya.

Ustaz Umar. Seorang keturunan Arab-Indo yang sedang mengisi ceramah di Pesantren Al-Hikam kala itu. Tak sengaja bertemu dengan Halimah. Sebulan setelah pertemuan singkat itu, Ustaz Umar melamar Halimah. Dan tak lama kemudian mereka menikah.

Ustaz Umar adalah ayah kandung Faiq. Makanya Faiq memiliki paras yang ayu, karena memang ayahnya ada keturunan Arab. Tapi dua tahun setelah Sulthon lahir, Ustaz Umar meninggal dunia. Tidak ada asbabnya. Tiba-tiba saja setelah sholat subuh, duduk di teras, lalu meninggal.

Waktu itu Faiq masih berumur empat tahun dan Sulthon berumur dua tahun. Ustaz Umar meninggalkan Halimah dan dua anaknya yang masih kecil. Belum berakhir cobaan hidup Halimah. Ternyata bapaknya terjerat rentenir. Yang mengharuskan Halimah membantu keuangan bapaknya. Sedangkan ia sendiri baru ditinggal suaminya, dan belum memiliki pekerjaan.

Di tengah kemelut hidup Halimah yang bertubi-tubi, tiba-tiba datanglah Heru. Seorang perjaka tua kata orang kampung. Tapi ia memiliki usaha sembako sukses di pasar. Ia datang ingin melamar Halimah untuk dijadikan isteri. Tak peduli meskipun Halimah janda. Dalam kondisi yang sedang butuh bantuan uang, Halimah akhirnya setuju untuk menikah dengan Heru.

Tapi namanya hidup, cobaan memanglah bumbu di dalamnya. Selesai dengan urusan hutang bapaknya. Heru tiba-tiba mengalami kerugian besar-besaran. Sampai-sampai toko sembakonya di pasar terpaksa dijual. Dan menyisakan toko kelontong di rumah Halimah. Dari situlah Heru, mulai mabuk-mabukan dan main judi. Agaknya stress dan tidak bisa menerima takdir membuatnya begitu.

Sering terkena efek alkohol, membuat kelakuan Heru juga berubah. Ia jadi sering main kasar. Terutama kepada Faiq dan Sulthon. Tak jarang Heru memukul, menendang, bahkan pernah hampir melempar Faiq dengan botol miras.

Kala itu Faiq baru masuk SD. Dan Sulthon bersiap sekolah TK. Makanya Halimah tidak berani memutuskan bercerai karena dirasa anak-anaknya masih butuh biaya untuk sekolah. Meskipun hanya mengandalkan kios kecil.

Dewasa ini, Faiq dan Sulthon sering membujuk Halimah untuk bercerai dengan Heru. Tapi Halimah masih menunggu waktu yang tepat.

⚫⚫⚫

Jadi dinikahin nggak ya tu Irham sama Faiq? 🤭

Next chapter besok yaa Gaiiss

Jangan lupa follow, vote dan komen sebanyak-banyaknya. Dukungan kalian sangat aku butuhin lohh Gaiiiss 🥺

See u tomorrow 🤗

NIRMALAWhere stories live. Discover now