TUJUH

322 14 2
                                    

Hujan selalu berhasil merubah suasana. Yang awalnya cerah, menjadi gelap. Yang awalnya, terik, menjadi mendung. Yang awalnya panas, menjadi sejuk. Yang awalnya ceria, menjadi sendu.

Seperti itulah suasana hati Gus Irham sore ini. Rintik hujan di luar seolah mengiyakan perubahan keadaan hatinya. Padahal tadi pagi ia masih senyum-senyum. Karena mendapat kabar dari Shanum bahwa ia sudah di Turki sekarang. Tak sabar untuk bertemu Gus Irham dan Ustaz Ibrahim.

'Aku kangen diskusi dan debat sama kalian'

Begitulah pesan terakhir yang Shanum kirim. Tapi Shanum belum tahu soal Ustaz Ibrahim yang tak jadi pergi ke Turki. Biarlah nanti disana Gus Irham akan memberi tahunya.

"Faiqnya udah dipanggil Le?" tanya Bu Nyai Faizah kepada Gus Thoriq.

"Nggih Mi itu lagi dijemput sama adik."

Gus Irham tahu hari ini akan datang juga. Hari dimana Faiq akan mengetahui statusnya. Dan mereka akan membicarkan tentang pernikahan mereka.

Tapi tetap saja rasanya ia masih belum siap. Apalagi dilihatnya Kyai Hasan yang sedari tadi menatap ke arahnya. Seolah memberi kode agar tidak mengacau.

Iya benar, hari ini keluarga Faiq dan keluarga ndalem sedang berkumpul untuk membahas pernikahan resmi Gus Irham dan Faiq. Halimah dan Sulthon sudah datang sejak sebelum ashar tadi. Setelah sholat ashar mereka semua berkumpul di ruang tengah.

"Assalamu'alaikum. Umi ini Faiq udah datang," Ning Tsabitah uluk salam.

Faiq yang tidak tahu apa-apa, terkejut sekali melihat ibu dan adiknya juga ada di situ.

"Ibu kapan datang?" bisik Faiq pada Halimah sembari mengecup tangan dan pipi Halimah.

"Tadi sebelum ashar," Halimah tersenyum dan membelai jilbab anak gadis yang sangat ia sayangi.

"Ada apa ya Umi? Saya pikir saya dipanggil sendiri. Tapi kok sampai ada ibu sama adik juga."

Bu Nyai Faizah tersenyum hangat. Lalu memberi kode pada Kyai Hasan agar memulai pembicaraan.

"Jadi gini Nduk, kamu tahu kan kalau ayahmu sama Abah ini adalah teman dekat dulu. Bahkan Abah ini sudah menganggap ayahmu seperti saudara."

Faiq mengangguk-angguk.

"Mungkin Irham juga belum tahu soal ini," Kyai Hasan menjeda perkataannya.

'Tahu apa? Kok jadi bawa-bawa Gus Irham?' batin Faiq.

"Kami dulu punya janji untuk saling menjodohkan anak kami," lanjut Kyai Hasan.

Faiq mengernyit bingung.

Sedangkan Gus Irham kaget bukan main. Ternyata pernikahannya bukan hanya karena dia harus bertanggung jawab sudah melihat aurat Faiq. Tapi karena memang sudah direncanakan sejak awal.

Batinnya marah. Ingin sekali ia berteriak ke abahnya, bahwa ia ingin menikahi gadis lain. Gadis yang ia cintai. Bukan gadis yang terpaksa ia nikahi karena fitnah.

"Awalnya kami akan menjodohkan Mas Fatih dengan Faiq. Tapi karena ternyata Allah lebih sayang Mas Fatih, jadi Abah dan Umi memutuskan untuk menjodohkan Irham dengan Faiq."

Gus Irham menutup matanya kuat-kuat. Menahan gemuruh di dadanya. Semua penyesalan datang bertubi-tubi.

Andaikan Mas Fatih masih hidup. Andaikan malam itu ia tidak bertemu Faiq. Andaikan ia berani mengatakan isi hatinya. Andaikan, andaikan, dan andai-andai lainnya yang malah membuat hatinya semakin kacau.

Hujan di luar bertambah lebat. Ditambah gemuruh petir dan kilat yang saling beradu. Tak lantas membuat pendengar Faiq menuli. Ia dengar dengan jelas. Bahkan sangat jelas. Apa yang Kyai Hasan ucapkan barusan.

NIRMALAWhere stories live. Discover now