DUA ENAM

372 11 11
                                    

“Jadi gitu Paklik,” ujar Faiq mengakhiri cerita panjang perihal Halimah dan Heru.

Pada akhirnya dua orang itu tidak jadi berpisah. Heru sudah berjanji pada Halimah untuk berubah dan tidak mengulang lagi kebiasaan buruknya. Ia bahkan membuat perjanjian di atas materai. Yang mana jika dilanggar ia siap untuk berpisah secara baik-baik dengan Halimah.

Faiq juga sudah melihat sendiri bagaimana Heru sedikit demi sedikit belajar untuk jadi lebih baik. Ia selalu minta Sulthon untuk mengajaknya sholat jama’ah ke masjid. Dan mengajarinya membaca Al-Qur’an dengan benar. Meskipun masih terbata, tapi Faiq bisa merasakan ketulusan Heru untuk mempertahankan pernikahannya. Semoga Allah karuniakan Istiqomah untuknya.

“Alhamdulillah lah kalau ayah tiri kamu akhirnya taubat. Sesungguhnya Allah sebaik-baik pemberi hidayah,” sambil berjalan santai Kyai Zulfikar manggut-manggut.

Mereka berdua sedang berjalan mengitari Pesantren Darul Arqom. Hari ini masih libur semester ganjil. Jadi kebanyakan santri masih di rumah. Suasana pesantren jadi lengang. Menyisakan sedikit sekali kegaduhan beberapa santri yang memilih tetap tinggal di asrama.

“Ini asrama barunya Darul Arqom ya Paklik?” tanya Faiq ketika kakinya berdiri tepat di sebuah gedung yang masih belum dicat. Baru dipasang ubin dan dindingnya juga masih semen saja.

“Iya, alhamdulilah baru jadi.”

“Masya Allah, cepet banget pembangunannya,” ucap Faiq berdecak kagum melihat perubahan Darul Arqom. Yang dalam setahun terakhir ini melakukan pembangunan lumayan banyak.

“Baru tiga gedung Faiq. Yang dua itu untuk asrama putri, yang satunya untuk asrama putra. Masih banyak yang harus dibangun. Rencananya kami pengen punya perpustakaan yang besar untuk santri. Karena pesantren kami kan berfokus di bahasa. Nah tanah yang diujung sana itu kalau terbeli tahun ini, mau langsung dibangun perpustakaan,” Kyai Zulfikar menunjuk sebuah lahan persawahan milik warga di samping bangunan baru Darul Arqom.

Faiq mengikuti gerakan tangan Kyai Zulfikar.

“Kalau memang takdirnya tanah itu jadi milik kami, saya harus segera cari donatur untuk membeli kitab-kitab terbaik dan buku-buku inspiratif untuk mengasah kemampuan berbahasa santri,” tambahnya.

Faiq manggut-manggut dengan mata berbinar. Merasa takjub dengan ide pakliknya itu. Kalau memang terlaksana, Darul Arqom akan menjadi pesantren bahasa terbaik di Jawa Timur.

“Wah kalau bisa terwujud pasti Darul Arqom akan sangat terkenal Paklik.”

Kyai Zulfikar tersenyum. Keduanya kembali melanjutkan langkah yang sempat terhenti.

“Dan pasti santrinya bakal tambah banyak,” lanjut Faiq.

“Aamiin.”

“Kalau santrinya tambah banyak harus ada yang bantuin ngurus pesantren tuh Paklik. Paklik nggak ada rencana nikah lagi?” tanya Faiq santai. Bahkan matanya malah sibuk memperhatikan kuli bangunan yang sedang bekerja agak jauh dari mereka.

Sedangkan Kyai Zulfikar di samping Faiq agak terkesiap dengan pertanyaan tersebut. Apakah ini waktunya?

“Iya, pesantren ini butuh Ibu Nyai,” gumam Kyai Zulfikar sambil menerawang jauh.

Faiq menoleh ke arah Kyai Zulfikar.

“Kamu mau nggak jadi Bu Nyainya Darul Arqom?” akhirnya meluncur juga pertanyaan yang selama ini Kyai Zulfikar tahan-tahan.

Faiq terbelalak. Ketika bertanya soal menikah lagi tadi, Faiq tak sampai berpikir jauh bahw Kyai Zulfikar akan mengajaknya nikah. Tapi kan dia masih berstatus isterinya Gus Irham. Apakah Kyai Zulfikar sedang menggodanya.

NIRMALAWo Geschichten leben. Entdecke jetzt