ENAM

353 15 2
                                    

Hari ini Kyai Hasan dan Bu Nyai Faizah pulang umroh. Keduanya melarang santri untuk mengadakan acara penyambutan. Karena pasti akan mengganggu kegiatan belajar mengajar. Jadi hanya beberapa santri yang piket ndalem dan anak-anak Kyai Hasan yang menyambut kepulangan pimpinan pesantren itu.

“Assalamu’alaikum,” sapa Kyai Hasan saat turun dari mobil. Disusul oleh Bu Nyai Faizah.

“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab ketiga anaknya, sembari gantian menciumi tangan Kyai Hasan dan Bu Nyai Faizah. Begitu pun beberapa santri yang ada disitu. Juga melakukan hal yang sama.

Setelah itu mereka semua masuk ke ndalem. Di dalam sudah disiapkan makanan dan camilan. Setelah dari perjalanan jauh pasti lelah dan lapar. Jadi Gus Irham khusus menyuruh santri yang piket ndalem untuk memasakan makanan kesukaan orang tuanya.

“Wah masya Allah, akeh temen makanan e Le. Sopo iki yang masak?” tanya Bu Nyai Faizah pada Gus Irham.

Gus Irham diam saja. Bukannya jawab, malah tersenyum canggung.

Melihat gelagat masnya, Ning Tsabitah menyahut, “Faiq tadi yang masak Mi.”

“Owalah menantune Umi toh yang masak. Wis pasti enak ini. Kan dia sering bantuin Umi masak.”

Bu Nyai Faizah langsung menyendok nasi dan menambahkan beberapa lauk. Lalu mengawali suapannya dengan bassmalah.

“Lah kan beneran enak. Enak kan Bah?” tanya Bu Nyai Faizah pada Kyai Hasan yang nampak lahap juga.

“Pinter kamu emang Le nyuruh Faiq masak. Umi selalu pas sama masakan Faiq,” Bu Nyai Faizah masih sibuk memuji Faiq.

Padahal Gus Irham tidak secara khusus meminta Faiq untuk masak. Kebetulan jadwal piket ndalem hari ini adalah Faiq, dan beberapa kawannya. Waktu ditanya, apakah tahu masakan favorit kedua orang tuanya, Faiq yang paling paham. Jadilah Faiq yang memasak, dengan bantuan Ning Tsabitah juga.

“Tadi dibantu Tsabitah juga kok Mi.”

“Alah nggak usah malu-malu. Emangnya kenapa kalau kamu minta tolong ke isterimu sendiri.”

Gus Irham melirik ke arah dapur. Untungnya santri-santri yang piket ndalem sudah pada pergi. Jadi kemungkinan tidak akan ada yang dengar perkataan Bu Nyai Faizah barusan.

Kyai Hasan yang paling duluan selesai makan. Katanya sudah sangat lelah dan ingin mandi. Sebelum beranjak, Kyai Hasan sempat bertanya kepada Gus Irham.

“Gimana persiapan dokumen nikah kamu Le? Udah siap kan?”

Gus Irham yang sedang menyuap nasi, jadi tersedak. Kaget tiba-tiba Kyai Hasan membahas masalah pernikahannya.

“Kalau melihat hubungan kamu dengan Faiq barusan, sepertinya semuanya aman terkendali ya Ham?”

Gus Irham menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Bingung harus menjawab apa. Akhirnya dia hanya bisa menendang pelan kaki Gus Thoriq yang duduk di sebelahnya. Memberi kode agar membantunya menjawab.

“Eh anu Bah, sampun Thoriq urus dokumen nikahnya Mas Irham. Sudah beres semua Bah sesuai rencana,” ujar Gus Thoriq sambil mengusap-usap tulang keringnya yang ditendang barusan.

“Lah kok Thoriq yang ngurus?” Kyai Hasan mengernyit heran.

“Iya soalnya Mas Irham kan sibuk ngurus persiapan ke Turki Bah,” jawab Gus Thoriq sambil masih meringis kesakitan.

“Betul tuh Irham?”

Nggih Bah,” Gus Irham tak berani menatap Kyai Hasan.

“Kalau dokumennya Faiq gimana?”

NIRMALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang