TIGA SATU

374 11 1
                                    

Kyai Zulfikar bersimpuh di depan ka’bah. Mata sembabnya masih basah dengan linangan air mata. Tangannya sudah tak kuat lagi untuk menengadah. Karena saking lamanya dia mengadu pada Sang Tuan Rumah. Kendati begitu, hatinya tetap melantunkan istighfar paling tulus.

Pagi ini ia mendapat kabar dari Indonesia. Umi tercintanya mengirim foto resepsi pernikahan Gus Irham dengan Faiq. Bukan, ia bukan menangisi gadis ayu nan solihah yang telah memantapkan hatinya tersebut. Tapi ia justru menyesali kebodohannya sendiri.

“Zul, kamu masih muda. Kamu bisa menemukan perempuan lain. Kenapa harus Faiq?”

Kala itu perkataan perempuan yang telah melahirkannya membuat Kyai Zulfikar berpikir ulang. Tentang pengakuannya pada Faiq tempo hari. Dari mana pembicaraan mereka bermula? Setelah mengakui perasaannya pada Faiq, Kyai Zulfikar mengutarakan niatnya kepada sang ibu. Ia ingin menceritakan apa yang sebenarnya terjadi antara Irham dengan Faiq kepada Kyai Hasan. Dengan harapan Kyai Hasan mengerti kondisi dua sejoli tersebut. Dan tidak membiarkan keduanya tersiksa.

“Memangnya kamu yakin kalau Hasan atau Faizah nggak tahu kondisi anak-anak mereka sendiri?”

Kyai Zulfikar terdiam, sedikit mengernyitkan dahinya.

Uminya menarik napas panjang, “Kamu mau tahu ceritanya?”

“Pak Kyai, monggo makan dulu. Dari pagi loh njenengan belum makan. Sampai lemas gitu badannya,” asisten Kyai Zulfikar yang duduk di samping, memohon untuk yang kesekian kalinya.

Tapi lagi-lagi Kyai Zulfikar hanya menggeleng. Langit sudah tak lagi menampakkan matahari. Tapi anehnya ia tidak merasa lapar. Justru asistennya yang khawatir akan kesehatan beliau. Sedari pagi pimpinan pesantrennya itu hanya duduk dengan derai air mata. Sesekali berdiri untuk wudhu lalu sholat sunah. Setelahnya ia kembali meneteskan air mata. Seperti sekarang ini, sambil mengingat-ingat percakapan dengan uminya, lirih bibir Kyai Zulfikar terus menggumamkan istighfar.

Dari percakapan itu barulah Kyai Zulfikar tahu kalau sebenarnya Gus Irham sudah mengakui semuanya kepada Bu Nyai Faizah. Tepat setelah kepulangannya dari Turki yang mengejutkan semua orang. Masih proses pemulihan di bangsal rumah sakit, ia mengatakan yang sejujurnya kepada Bu Nyai Faizah. Tentang bagaimana perasaannya dan perlakuannya kepada Faiq selama ini. Bahkan lamarannya kepada Shanum yang ditolak mentah-mentah. Beberapa hari setelah pengakuan itu, Bu Nyai Faizah bertandang ke Kediri. Ia ceritakan semua keterkejutannya. Bagi Bu Nyai Faizah, umi Kyai Zulfikar sudah ia anggap seperti ibunya sendiri. Karena memang tinggal beliau tetua satu-satunya. Orang tua dan mertuanya sudah meninggal.

Dalam tangisnya Bu Nyai Faizah mengungkapkan kekecewaannya kepada Gus Irham. Disisi lain ia juga merasa sangat bersalah kepada Faiq. Ia pikir di awal saja Gus Irham tidak menerima perjodohan tersebut. Dan lama kelamaan hubungan keduanya semakin membaik. Tapi ternyata selama satu tahun ini Faiq memendam semuanya sendirian. Dan parahnya Bu Nyai Faizah tidak menyadari ada yang ganjal dalam hubungan Gus Irham dengan Faiq.

“Kamu yakin, Faiq nggak tulus cinta sama Irham?” tanya uminya kala itu.

“Bagaimana dia bisa bertahan dengan sikap Irham selama itu kalau bukan karena cinta, dan cuma ngarep pahala?”

‘Kenapa harus Faiq?’

Tanya itu terus menggema selama berhari-hari. Sampai akhirnya Kyai Zulfikar sadar, apa yang dia lakukan tidak benar. Segala yang ia lakukan adalah salah. Mulai dari menyimpan rasa, mengutarakannya, berharap Faiq adalah jodohnya, bahkan ia menyuruh Faiq untuk melepaskan pernikahannya. Kyai Zulfikar merasa sangat malu. Dikuasai nafsu membuatnya lupa akan harga diri. Bagaimana pun ia adalah seorang kyai, dan tetua bagi Faiq. Bagaimana bisa ia punya pemikiran yang sangat tidak masuk akal.

NIRMALAOù les histoires vivent. Découvrez maintenant