TIGA DUA

413 13 1
                                    

Acara resepsi baru saja berakhir tepat ketika azan maghrib berkumandang. Sengaja tidak dibikin sampai larut malam, atas keinginan Gus Irham. Ia merasa cukup sampai maghrib saja agar tidak terlalu lelah. Meskipun begitu tamu undangan tetap saja ada yang baru datang. Apalagi saudara yang rumahnya jauh. Tapi karena tahu maksud hati Gus Irham kenapa ingin acara cepat selesai, jadi Bu Nyai Faizah memaklumi. Paling-paling kalau ada tamu yang datang Kyai Hasan dan Bu Nyai Faizah akan menjamunya di ndalem. Dan kalau ada yang tanya dimana pengantinnya, Bu Nyai Faizah tinggal bilang, “Melepas rindu, kan udah LDM dua tahun”. Sebagai gantinya ia berjanji akan menyuruh anak dan menantunya itu sowan ke rumah keluarga yang tak sempat bertemu.

Gus Irham duduk bersila di atas kasur. Di pangkuannya ada bantal sebagai alas mushaf Al-Qur’an. Sambil menunggu Faiq pulang jama’ah isya dari masjid, ia sempatkan sedikit mengulang hafalan. Sambil komat-kamit matanya mengelilingi kamar. Dekorasi kamar pengantin yang serba pink, serta wangi bunga melati khas pengantin baru. Tak dipungkiri membuat suasana malam itu jadi lebih romantis. Mendadak Gus Irham jadi gugup. Mendadak ia lupa dengan lanjutan ayat yang sedang dimuroja’ah. Padahal ini bukan pertama kalinya mereka akan berada dalam satu kamar.

Gus Irham tidak tahu saja kalau sebenarnya ada seorang gadis di depan pintu kamar yang jauh lebih gugup. Ingin kabur, tapi ingin juga masuk. Padahal ia sudah mengulur waktu dengan sengaja lewat ruang tamu. Biar ketemu sama beberapa tamu yang ada disitu. Eh malah Bu Nyai Faizah menyuruhnya buru-buru masuk kamar. Katanya Gus Irham udah nungguin dari tadi.

Ceklek.

Ragu-ragu akhirnya Faiq uluk salam. Ia ulurkan kepalanya untuk memastikan apakah di dalam kamar sudah ada orang. Dan benar saja. Gus Irham sudah duduk di atas kasur dengan senyum lebar menyambut Faiq. Seolah menyuruh Faiq masuk tanpa ragu.

Faiq masuk dengan kikuk. Malu-malu ia mendekat ke arah kasur.

“Kok baru pulang?” tanya Gus Irham sembari menepuk-nepuk kasur. Memberi isyarat agar Faiq duduk.

Faiq menuruti perintah suaminya. Cukup kagum dengan sikap Gus Irham yang terlihat tenang dalam kondisi seperti ini. Padahal Faiq tidak tahu bagaimana degup jantung Gus Irham yang tak karuan. Ia hanya berusaha tenang, karena tahu pasti Faiq jauh lebih gugup darinya.

“Iya tadi ketemu tamu dulu sebentar,” ujar Faiq sembari duduk agak jauh dari Gus Irham.

Gus Irham tersenyum. Beberapa waktu keduanya sama-sama tidak bersuara. Gus Irham hanya menatap Faiq yang tertunduk dalam-dalam. Masih dengan balutan mukenah.

Faiq merasa suasana tiba-tiba jadi canggung. Ia sangat berharap Gus Irham mengatakan sesuatu untuk mencairkan suasana. Ataukah ia yang harus inisiatif? Tapi apa? Apa yang harus dikatakan? Faiq terlampau gugup bahkan untuk menatap lelakinya yang sudah lama tidak bertemu.

“Maryam.”

Faiq mendongak. Tiba-tiba saja wajah Gus Irham sudah berjarak cukup dekat dengan wajahnya. Faiq terperanjat. Untung saja mulutnya nggak kelepasan teriak.

Lagi-lagi Gus Irham tersenyum. Andai saja ia tidak menahan diri, sejak tadi sudah ia peluk erat-erat isterinya tersebut. Lihatlah sekarang perempuan di depannya ini malah menggeser duduknya. Memberi sedikit jarak diantara mereka berdua. Padahal mereka sudah menikah dua tahun, tapi vibesnya benar-benar masih seperti pengantin yang baru tadi pagi akad nikah.

“Maryam masih punya wudhu?”

Faiq menoleh, memperhatikan Gus Irham dengan raut bertanya.

“Kita sholat sunah dulu yuk!”

Gus Irham tahu ini bukan malam akad nikah mereka. Dan sudah terlampau lama untuk melakukannya. Tapi ia tetap ingin menjalankannya sesuai adab. Juga untuk menghilangkan kecanggungan diantara mereka berdua.

NIRMALAWhere stories live. Discover now