CHAPTER 1

36.5K 1.9K 23
                                    

Ini bercanda, kan?... Yang benar saja?!...

Rambut hitam legam dengan campuran merah darah di ujungnya, kedua mata tajam dengan iris mata berwarna putih layaknya orang buta, tahi lalat di bawah mata kiri dan penampilan kusut yang terkesan menyedihkan ini. Libitina Kaltain! Ini benar-benar sesuai dengan deskripsi dari penulisnya sendiri.

Bangsat!

Gaun putih polos yang kusam dan penuh bercak tanah, rambut kusut akibat terlalu banyak terjatuh dan dijambak, wajah yang cantik namun tertutupi oleh memar dan sayatan. Badan yang penuh dengan bekas luka dan rasa sakit, apalagi rasa sakit pada organ dalamku yang terasa tak wajar. Benar-benar penampilan seseorang yang ditakdirkan menjadi tumbal keluarga Kaltain sekaligus seseorang yang menerima julukan 'Baik Hati' dari keluarganya yang di mana itu adalah suatu aib.

Satu-satunya orang 'baik' di keluarga yang dipenuhi oleh orang-orang gila darah, hanya karena Libitina tidak bisa bersikap seperti seorang Kaltain yang terkenal kejam dan kuat. Libitina dianggap sebagai aib dan diperlakukan lebih rendah dari seorang pelayan, penganiayaan dan cemoohan adalah makanan sehari-harinya.

Lalu sekarang aku menjadi dirinya?

Aku tak begitu mengerti kenapa aku menjadi dirinya, tapi ini jelas saja penghinaan buatku! Apakah aku mati? Mati karena dipukuli? Yang benar saja, dari kecil sudah diperlakukan seperti itu, tapi kenapa matinya baru sekarang?!

.

Dari segala tokoh yang ada, kenapa harus Libitina, Brengsek?!!

Merasa tak terima dengan takdir yang menimpaku, aku menjambak rambut kusutku, dan dalam keadaan mengamuk aku menghempaskan semua barang yang ada di meja rias, berteriak meraung-raung dengan perasaan marah dan berat pada dadaku yang sedang bergemuruh saat ini.

Berada dalam tubuh seorang calon tumbal di medan perang bukanlah keinginanku, apalagi harus berada di keluarga yang penuh oleh orang-orang keji, itu jelas-jelas di luar rencana hidupku. Aku memporak-porandakan seisi kamar sambil berteriak marah.

Banyak barang yang pecah karena kulempari dan tak sengaja tersenggol. Kain sobek tergeletak tak berbentuk di lantai, bercak-bercak darah yang mengering, dan debu yang tak pernah dibersihkan. Kamar yang sedari awal bukanlah sebuah kamar yang layak huni menjadi kapal pecah dalam sekejap.

Merasa lelah berteriak, diriku menatap pada cermin yang ada di meja rias. Hanya dengan melihat pantulan diriku yang berada di dalam tubuh Libitina membuatku kembali mendidih. Diriku menyeret kursi yang berada di dekatku dengan nafas yang memburu. Kemudian berteriak sekali lagi dan melemparkan kursi itu dengan sekuat tenaga ke arah cermin hingga terdengar pecahnya cermin itu.

Aku melihat sekitar kamar yang penuh debu ini, hanya bisa tertawa miris dengan mata berkaca-kaca membayangkan nasibku ke depannya. Seperti novel-novel fantasi yang kubaca, aku bisa menebak bahwa aku harus hidup di dunia novel sialan ini. Di antara semua novel yang kubaca, kenapa harus novel penuh pembunuhan ini?! Apakah aku harus menjadi tumbal di sini?

Lagi-lagi emosiku meluap, diriku mengambil lagi kursi yang kulemparkan dan hampir patah ini dengan kasar. Menatap nyalang pada sebuah lukisan keluarga yang begitu diimpikan oleh Libitina asli, kemudian dengan seluruh perasaan berapi-api aku melemparkan kursi ini hingga membuatnya patah dan berceceran di lantai, lalu lukisan itu jatuh ke lantai setelahnya.

BRAK!
Beberapa orang mendobrak masuk ke kamarku, aku yang sedikit kaget hanya menatap ke arah mereka dengan melotot marah. Mereka melihat keadaan kamarku yang porak poranda layaknya kapal pecah, bahkan lukisan yang begitu Libitina sayangi pun robek dan jatuh.

Salah seorang pelayan datang ke arahku dengan tatapan emosi. Dia mencengkram kuat tanganku lalu menariknya ke atas membuatku meringis kesakitan. Bangsat!

"Apa yang kau lakukan, hah?!" Dia berteriak langsung di depan mukaku, telingaku langsung berdengung mendengarnya.

Tubuhku bergetar hanya karena diteriaki, bahkan aku merasakan tekanan rasa takut, entah bagaimana pula aku ketakutan menatap mata pelayan itu. Bisa kupastikan dengan jelas, ini adalah ingatan tubuh Libitina yang memiliki trauma mendalam soal kekerasan yang dialaminya. Ah ... Membuatku kesal saja...

Dengan perasaan yang masih murka, aku menatapnya dingin seakan tak tergoyahkan hanya dengan teriakannya padaku. Jika itu adalah Libitina yang asli, sudah pasti dia akan menangis sambil terus mengatakan kata maaf, tetapi aku bukanlah Libitina yang 'itu'.

Merasa terhina dan tak dihiraukan, pelayan itu dengan kurang ajarnya menampar diriku dengan keras hingga suara tamparannya bergema di seluruh ruangan.

Nyeri, panas, dan pusing lah yang kurasakan begitu menerima tamparan keras itu. Aku bisa merasakan asinnya darah tercampur keringat yang mengalir dari ujung bibir. Isi kepalaku langsung kosong dan hanya bisa mendengar dengungan telinga, ini tamparan pertama yang kudapatkan setelah sekian lama.

"Tanganku kebas." Lirihku sambil menatapnya lurus ke netra pelayan itu dengan dingin.

Entah merasa ketakutan atau terkejut, pelayan itu langsung melepaskan tanganku dan menjauh beberapa langkah. Matanya melebar dan mulutnya menganga seakan tak percaya dengan sikapku yang tak biasa.

"Sa ... Saya akan melaporkan ini kepada Tuan Kepala Keluarga." Dia tiba-tiba saja berbicara formal dan langsung berbalik setelah mengatakannya dengan suara yang bergetar, jelas sekali dia ketakutan, atau mungkin dia hanya terkejut.

Kau pikir bisa kabur setelah menampar majikanmu?

"Tunggu." Kataku singkat sambil berjalan menuju nakas, diriku mengambil vas bunga yang kosong dan berdebu.

Pelayan itu seperti enggan untuk berbalik namun pada akhirnya dia menuruti perkataanku, menunjukkan wajahnya yang mengerut kesal. Dengan wajah angkuh yang dipaksakan membuatku semakin kesal, dia menatapku penuh pertanyaan. Diriku mendekat ke arahnya dengan membawa vas bunga itu.

Dia mendengus dan tersenyum meremehkanku. "Apakah Anda akan memerintah saya untuk membersihkan vasnya?" Tanyanya sambil membungkuk mendekatkan wajah angkuhnya padaku.

Sambil mengumpulkan seluruh emosi yang ada padaku, aku menatap wajah pelayan itu dengan ekspresi marah yang penuh dendam. Lalu dengan cepat aku melayangkan pukulan menggunakan vas yang kubawa tepat pada kepalanya, suara pecahan kaca dan jeritan kaget sekaligus kesakitan langsung memenuhi seluruh ruangan.

Dahi pelayan itu mengeluarkan darah segar dengan begitu lancar hingga mengalir dan menetes melalui dagunya. Dia terhuyung sambil menyentuh kepalanya, air matanya mengalir bersamaan dengan mengalirnya darah itu, mengeluarkan ekspresi kaget dan kesakitan.

Beberapa orang lain yang datang bersamaan dengannya sekaligus kuduga sebagai pelayan yang 'lain' langsung memasang raut wajah terkejut, tak lama kemudian mereka menghampirinya yang terjatuh ke lantai.

Diriku menatap mereka yang membantu pelayan itu dengan mata melotot dan menggenggam erat leher vas yang tersisa. Bisa kulihat dengan jelas tatapan takut dan bertanya-tanya dari wajah mereka, seharusnya kejadian seperti ini adalah suatu hal yang lumrah di sini, tapi mereka terlihat sangat terkejut.

"Aku sudah muak dengan ketidaksopanan kalian," geramku. " ... Anggap ini sebagai peringatan." Ancamku sambil mengarahkan vas pecah yang ku pegang ke arah mereka semua.

Dengan suara keributan sekeras itu apalagi dengan keadaan pintu kamar yang terbuka, bisa kupastikan bahwa para pelayan yang lain akan berkerumun. Tanpa melihat sekalipun, aku bisa merasakan tatapan terkejut dan ketakutan dari mereka.

Seseorang yang menyandang julukan si 'Baik Hati' melakukan kekerasan pada pelayannya dengan kejam tanpa gemetar sekalipun. Bahkan setelah diteriaki dan ditampar, diriku tidak gentar apalagi menangis.

Kejadian mengejutkan telah terjadi di keluarga Kaltain.

... Biar ku tebak, aku akan dipanggil ke ruangan Ayah Libitina sebentar lagi ... Akh.. Sial, aku lapar.












To be continued

THE DEMONIC YOUNGEST DAUGHTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang