CHAPTER 42

1.9K 344 49
                                    

"Apakah sesulit itu?"

BUG! "SIALAN!" Aku memukul dinding batu itu begitu suara bodyguard itu terdengar di belakangku.

Wajahnya terlintas saat mataku tertutup, alhasil ia muncul lagi. Ketakutan lagi-lagi mencekikku hingga tak mampu bergerak, tubuhku kembali lemas.

Kenapa aku bodoh sekali? Kenapa aku menutup mata? Di mana otakku? Pergi ke mana semua kepintaranku? Bukankah aku ini jenius?

Napasku tersekat, lagi-lagi aku kesulitan bernapas. Jantungku berdetak dengan kecepatan tidak normal, peluh kembali membasahi wajahku, dan aku takut untuk berbalik.

"Anda menjadi lebih kasar belakangan ini, Nona." Aku mendengar suaranya mendekat.

Aku takut, sungguh takut. Tapi aku tidak ingin berteriak, apalagi menangis. Cukup sudah diriku berteriak dan menangis. Aku benci ketidakberdayaan diriku yang terus saja merasakan takut pada kehadirannya. Diriku sungguh membencinya.

Dengan susah payah diriku berkata dengan bergetar, "tidak bisakah kau ...!membiarkanku sendiri?"

"Mana mungkin saya.. Mengabaikan perempuan yang saya cinta." Suaranya tepat berada di belakangku. Begitu dekat, begitu terasa, begitu mengerikan. Aku bisa merasakan napasnya.

Ilusi sialan ini sangatlah nyata.

Bulu kudukku berdiri, aku merinding. Rasa mual mulai naik mencekat tenggorokanku untuk mengeluarkan suara. Kini hanya bibirku yang mampu bergerak, ia bergetar hebat. Mataku tertutup, aku terlalu takut untuk sekadar melihat dinding.

Tubuhku terpaku kaku di tempat, napasku semakin tidak beraturan dan berat, mataku terpejam dengan erat. Tangannya mengelus rahangku. "Bagaimana keadaan Anda, Nona? Hm?"

Tangis kutahan kuat-kuat. Aku tidak ingin menangis, kumohon jangan menangis. Jangan menangis, sialan. Kau jangan menangis, Dea.

"Pergilah, kumohon... Aku mohon padamu untuk ... Pergi-! Tidakkah cukup dengan apa yang kau lakukan padaku... Selama ini?!" suaraku hampir tidak terdengar.

Dengan mati-matian aku menahan diri untuk muntah. Perutku terasa tak enak, lidahku terasa pahit. Hanya keheningan yang terdengar bersamaan dengan suara napasnya yang menyentuh leherku, bisa kurasakan betapa kasar tangannya yang mengelus rahangku.

Napasku menggantung begitu kurasakan tubuhnya menekan punggungku. Begitu jijik diriku merasa, begitu hina diriku diperlakukan olehnya, begitu rendah diriku mengira.

"Saya mencintai Anda, Nona.." ujarnya rendah pada telingaku.

HUEEK! Aku tak kuasa menahan muntahan yang memenuhi dadaku. Tungkaiku merasa lemas, tubuhku merosot nan bergetar. Kemuakkan menyelimuti, ketakutan menggerogoti, merinding yang menggerayangi, dan kemarahan atas diriku yang tak berdaya; kurasakan begitu kuat.

Deru napasku terdengar begitu berat, pikiranku kosong. Semua ini mimpi buruk. Mimpi terburuk yang pernah ada. Menghilang menghilang menghilang menghilang. KUMOHON MENGHILANG LAH.

Aku mengulang kata yang sama terus-menerus, berharap sungguh berharap bodyguard itu menghilang. Aku ingin pria itu menghilang, lenyap, raib, tak tersisa.

Namun benar-benar, yang namanya asa hanyalah asa. Pria menjijikkan itu malah berjongkok, dan tersenyum padaku. Tangan kasarnya mengelap bibirku, sembari melakukannya, ia menjilat bibirnya. Kilat matanya yang menatapku lagi-lagi dipenuhi nafsu. Lagi-lagi nafsu. Tak ada cinta di dalamnya, dan aku sungguh merasa hina.

"Sosok Anda yang hebat ini, menangis dan tak berdaya. Saya sangat menyukainya, Nona. Semakin Anda menangis dan meminta pertolongan, semakin saya merasa birahi. Bisakah Anda menangis? Demi saya yang mencintai Anda."

THE DEMONIC YOUNGEST DAUGHTERWhere stories live. Discover now