CHAPTER 30

6.6K 839 102
                                    

"Yang mulia!" segerombolan pelayan datang menghujani.

Aku mencengkram kuat kerah Perseus. Memukul wajahnya habis-habisan, tangan Perseus menahan tanganku. Kakinya meronta-ronta. Teriakan yang susah payah ia keluarkan terhenti saat melihat tangan kananku yang terkepal kuat hingga berdarah terangkat tinggi-tinggi. BUGH! Satu pukulan pada rahang kiri. BUGH! Satu pada pelipisnya.

"Kami mohon hentikan ini, Nona!!" Para pelayan yang datang bergerombol menarik lenganku.

Mulutku terkatup kuat, tangan kananku memerah dengan darah menetes pada telapaknya, mataku yang tertutupi oleh penutup mata melotot marah, napasku memburu. Dalam kondisi berantakan, aku menghentakkan cengkramanku pada kerah Perseus, berjalan mundur beberapa langkah, membiarkan pelayannya memekik khawatir dan mengerubuninya.

"Tangan Anda harus diobati, Nona." Haemal berkata di belakangku.

Diriku yang mengatur napas melihat kondisi tangan kanan yang buruk. Aku hanya mengibaskan tanganku yang terus meneteskan darah, membuat darahnya menetes ke mana-mana. Tanganku kembali mengepal, namun tidak sekuat sebelumnya. Mana yang terus dialirkan dalam tubuhku mulai mengobati bagian yang terluka, menghentikan pendarahan, membuang bagian sel yang tidak perlu dan tidak berguna, menggantinya dengan yang baru, menyulam luka. Dalam hitungan detik tangan kananku kembali seperti semula.

Aku mengangkat sedikit tangan kananku dan melirik Haemal seakan menunjukkan bahwa aku tidak perlu hal konyol seperti obat. Haemal yang mengerti hanya membungkuk sedikit dan mundur selangkah.

Segerombolan pelayan itu terus mencicit bak tikus, beberapa dari mereka mengeluarkan sihir penyembuh, menyembuhkan luka pada wajah Perseus yang kupukuli.

Lebam pada pelipis dan tulang pipi, sebelah mata yang bengkak dan tidak terbuka, rahang bergeser, tulang hidung tidak berbentuk, darah pada setiap luka lainnya, mimisan yang tak kunjung berhenti; kondisi Perseus lebih memprihatinkan daripada diriku.

Aku berdiri tak jauh darinya, menanti apa yang akan ia katakan pada diriku yang menghancurkan wajahnya sembari mengatur emosiku. Perasaan ingin membunuhnya tak kunjung mereda, tetap membara. Membakar habis semua kewarasan yang terikat.

Tidak terlihat bagaimana ekspresinya karena ia menunduk, tapi melihat napasnya yang memburu, dia masih marah.

"KAU PIKIR AKAN SELAMAT SETELAH INI?! HAH?!" Percuma. Ternyata dia tidak cukup hanya dengan dihajar.

Dia hanya berteriak marah dan memberotak selagi para pelayannya mencoba menghentikannya. Tiga pelayan menahannya sekuat tenaga, yang lainnya menatapku ketakutan.

Dengan wajah pucat pasi, mulut bergetar, dan mata yang seperti akan menangis, para pelayan yang melihatku hanya berdiri diam bergetar ketakutan seolah-olah menyadari sesuatu yang mengerikan. Entahlah apa. Kurasa mereka tahu bahwa apa yang dilakukan oleh tuan mereka telah melewati batas.

"N-nona ... Kami mohon ... Ka-kami mohon maafkan Pangeran kedua kami... " salah seorang pelayan perempuan memohon dengan menyatukan kedua tangannya.

Aku menahan tawaku sebisa mungkin. Tuan mereka benar-benar tidak tahu diri, sedangkan pelayannya sangatlah mengerti di mana posisi mereka. Kontras sekali.

Diriku menatap tajam pelayan yang hampir menangis itu. Kupasang senyum manis, diriku berkata, "lebih baik... " aku berjongkok untuk menyamakan tinggiku dengannya, mengelus wajahnya yang pucat. "Kalian selalu berada di sisinya," ujarku.

Memperingati mereka, lebih baik untuk terus mendampingi tuannya, atau kepala mereka tertebas bersama dengan tuan yang mereka layani.

Pelayan itu menutup matanya rapat-rapat, bibirnya gemetar menahan tangis. Dia mengangguk kuat-kuat. Diriku yang puas semakin melebarkan senyumku.

THE DEMONIC YOUNGEST DAUGHTERWhere stories live. Discover now