Season 2: CHAPTER 48

2.1K 342 53
                                    

"Karena kau lah kunci dari segalanya—"

Mataku mengerjap mencoba beradaptasi pada cahaya bulan yang seakan menusuk mataku. Suasana hatiku menjadi sangat buruk sebab bangun di dini hari padahal sedang kurang tidur. Diriku terdiam sesaat mencoba mengumpulkan kesadaran.

Lalu pendengaranku samar-samar menangkap suara napas seseorang. Benakku menerka-nerka siapakah orang bodoh yang datang ke kamarku di dini hari.

Diriku menggeram sebal kala dapat menebak siapa orang yang berada dalam kamarku.

"Ada apa?" Tanyaku pelan dengan suara serak.

Orang itu tak kunjung menjawab pertanyaanku, dan aku masa bodoh dengan hal itu. Sekarang tenggorokanku perlu dibasahi. Kakiku menyentuh lantai, kubawa ia menuju meja untuk mengambil air minum.

Orang yang tadi bernapas dengan sangat pelan dan hampir tidak bersuara kini bernapas dengan normal. Suara napasnya dan kucuran air minum pada gelas berpadu di ruangan yang dingin ini.

Ketenggak habis air minum dalam gelas, kuhantamkan kemudian gelas itu ke meja dengan kesal. Diriku menghela napas guna meredakan kekesalan.

"Apakah datang di dini hari seperti ini adalah hobimu?" Tanyaku penuh sindiran setelah duduk di kursi.

Pengelihatanku mengedar ke setiap sudut ruangan. Nihil, tak ada orang. Entah sihir, artefak, atau kemampuan khusus, dia menyembunyikan dirinya. Padahal tak perlu seperti itu, karena pada akhirnya ketahuan juga dia siapa.

"..."

Hembusan angin yang mampu membuat menggigil itu datang dari jendela yang terbuka. Lucu sekali, jika memang ingin menyusup, setidaknya lakukanlah dengan benar. Bisa-bisanya meninggalkan jendela terbuka.

Aku menghela napas, menyadari 'dia' tak kunjung menjawab. Padahal dia sendiri tahu bahwa seharusnya sudah ketahuan olehku. Tekadnya lumayan juga.

Yah, dia tidak akan mendapatkan gelarnya jika tidak memiliki tekad sekuat ini.

Karena kurang tidur, diriku menguap. Sial, aku tidak yakin bisa menghindari omelan Haemal jika bangun siang karena kurang tidur.

"Keluar saja, aku tidak akan melakukan apa-apa." Kuucapkan itu dengan sedikit keras.

".. Karena aku juga malas," pungkasku.

Suara tawa pelan mengetuk gendang telingaku. Akhirnya bersuara juga, rasanya aku bisa dianggap gila karena berbicara pada kekosongan.

Tanpa menunjukkan dirinya dan akhirnya membuat diriku semakin kesal, dia berkata, "hebat sekali, ya. Dari mana kau tahu?"

"Terprediksi, tahu. Mau bagaimanapun aku adalah keberadaan yang tiba-tiba terlihat dalam 'pandanganmu' tentu saja kau akan penasaran. Lalu dilihat dari posisimu, kau tentu harus waspada pada variabel yang tak terduga 'kan? Dan melihat dari sifat khas keluarga, kurasa setidaknya kau akan melakukan ini."

Aku memang berpikir dia suatu hari akan diam-diam mengawasi diriku secara langsung, tapi mengejutkan juga dia melakukannya di malam pertama kali kita bertemu. Yah, melihat kekhawatiran dan kehati-hatiannya pada sesuatu yang berpotensi mengganggu dirinya, kuyakin dia sedang terburu-buru saat ini.

Malam ini dia harus menemukan dua variabel yang berkemungkinan mengancamnya. Tapi kemungkinan anak yang baru datang itu tak begitu menarik sehingga dia datang padaku terlebih dahulu.

"..." Dia terdiam lagi. Entah karena diriku yang benar atau sedang kesal, suara napasnya terdengar lebih berat kali ini.

"Jadi, ada apa, Kak?" Tanpa adanya tanda ketertarikan, diriku bertanya dengan datar.

THE DEMONIC YOUNGEST DAUGHTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang