CHAPTER 31

7.1K 913 94
                                    

"Ayah, saya ingin pergi ke Kekaisaran-" Pyar! Aku terkejut melihat Merikh menjatuhkan cangkir kopinya.

Dia terkejut karena kupanggil ayah atau karena aku ingin pergi ke Kekaisaran?

Dia terbelalak sesaat namun langsung menormalkan ekspresinya sedetik kemudian. Oryn dengan sigap membersihkan kekacauan yang dibuat Merikh, sedangkan tuannya mencoba untuk bersikap senatural mungkin, padahal aku menilik setiap geraknya---semua berkat mata putih bak orang buta ini.

Merikh berdeham singkat. "Dengan alasan apa kau ke sana?" Tanyanya.

Aku tetap pada posisiku, berdiri dekat dengan pintu---hanya berjarak beberapa langkah---dengan postur tubuh tegak. Diriku menatapnya muak, meski dia tidak tahu karena terhalang oleh penutup mata.

"Saya ingin mencari pedang sihir di Kekaisaran, saya tahu seorang pandai besi yang menjual pedang sihir terbaik." Dan aku ingin pergi ke pelelangan. Tentu yang satu itu tidak terucap.

Merikh nampak berpikir sembari terus menyoroti wajahku. Apalah yang ia lakukan itu, aneh.

"Apakah pandai besi Kaltain kurang hebat menurutmu, Libitina?" Tanya Merikh menginterogasi. Ia menautkan kesepuluh jarinya.

Suasana mendadak menjadi tegang dan serius. Hanya terdengar napas tiga orang dalam ruangan.

"Hebat." Diriku mengangguk. "Namun tidak cukup hebat untuk pedang yang saya inginkan," tambahku setelahnya.

Merikh melepaskan tautan jarinya, menghela napas dan memilih untuk bersandar. Ia menyugar rambutnya ke belakang. "Berapa hari kau berencana di sana?"

"Tidak pasti, Yang mulia." Kening Merikh mengkerut seakan tidak suka terhadap sesuatu.

Diriku mengangkat alis samar melihatnya bereaksi begitu. "Mungkin sekitar seminggu. Oleh karena itu saya hendak meminta izin untuk pergi ke Kekaisaran."

"Tidak bisa." Jawabnya seketika sembari menatapku tajam.

Hening kembali menyapa. Kekesalan yang berhasil terpendam mulai tersulut lagi. Aku menyembunyikan kepalan tanganku di belakang punggung.

"Mengapa?" Tanyaku pelan sembari menyembunyikan kegeraman.

Pria tua sialan itu bersedekap dada, memandangku lurus seakan sedang menerka-nerka sesuatu dari wajahku.

Beberapa detik keheningan menguasai ruangan, diriku mulai kehabisan rasa sabar. Setelah ini aku yakin tensi darahku akan melonjak tinggi.

"Yang mulia?"

"Tidak, Libitina. Alasannya tidak perlu kau ketahui. Sekarang pergilah ke ruanganmu." Tolak dan perintah Merikh yang seketika membuatku langsung kehilangan kesabaran.

Aku berdecak kesal. Suaranya terdengar keras sekali. Suara decakan itu menjadi lebih keras dari biasanya akibat kesunyian ruangan. Ah, sialan. Persetan soal Merikh yang mungkin mendengarnya. Kurasa Merikh nampak terpaku mendengarnya. Aku tidak bisa menyembunyikan kerutan pada dahiku karena terlanjur merasa kesal.

"Aku benar-benar membencimu, Sialan." Gumamku sembari berbalik.

Blam!

.

.

Libitina kembali dengan perasaan dongkol yang tidak ia sembunyikan lagi. Dirinya merasa lelah karena menahan diri dan memilih untuk membiarkan dirinya memancarkan aura kemarahan yang kuat. Libitina berjalan menuju ruangannya sendiri dengan menghentakkan kakinya di setiap langkah.

Dia berniat mengamuk di kamarnya sendiri. Namun tanpa disadarinya desas-desus keributan yang ia buat beberapa waktu lalu mulai mengudara. Libitina yang merupakan topik utama dari desas-desus itu tidak menyadari apapun sebab ketidakpeduliannya kepada sekitar yang menurutnya tidak penting.

THE DEMONIC YOUNGEST DAUGHTERWhere stories live. Discover now