CHAPTER 36

3.4K 468 203
                                    

"Rasmu Vampir 'kan, Roux?"

"Ya, Nona." Roux mengangguk.

"Ambilkan belatiku." Perintahku selagi diriku kembali duduk dan menggulung lengan gaunku sebelah kiri.

"Nona."

Aku menerima belati yang selalu kubawa ke manapun meski jarang kugunakan.

"Duduklah."

Roux terduduk di lantai, sungguh seperti anjing yang menuruti setiap perintah yang kulontarkan tanpa bicara dan tanpa keraguan sedikitpun.

"Sebagai vampir, apakah kau masih merasakan haus akan darah? Bagaimana dengan sinar matahari? Apakah kulitmu masih terbakar?" tanyaku bertubi-tubi, tanganku memutar-mutar belati yang kugenggam.

Diriku memiliki sedikit gambaran soal jawaban atas pertanyaanku sendiri. Roux kembali dengan selamat dari tugasku tanpa terlihat luka bakar sedikitpun, tak juga ia terlihat kurus kerontang sebab tidak meminum darah. Raganya telah tiada, yang tersisa dari dirinya hanyalah roh yang merasuki raga Mana padat.

Elemen adalah pemberian pada jiwa. Satu kalimat itulah yang menjelaskan mengapa kekuatan Roux masih tersisa meski raganya mati membusuk entah di mana. Selagi jiwanya tetap utuh, ia akan senantiasa memiliki kekuatannya.

"Tidak, Nona." Kepala Roux tertunduk. "Raga yang saya buat ini hanyalah sekumpulan Mana. Insting ataupun kebutuhan saya pada darah tidaklah eksis lagi, pun juga kelemahan yang biasa vampir miliki. Sinar matahari dan juga perak, saya tidak lagi memiliki kelemahan tersebut. Sebagai gantinya, saya sungguh sangat lemah pada area anti sihir atau Mana, dan sihir pengganggu seperti petir."

"Kau tidak butuh darah untuk hidup dan sinar matahari tak lagi membakarmu. Namun sebagai gantinya tamatlah riwayatmu jika kau terkena mantra anti sihir atau jika seseorang tiba-tiba memasang area anti sihir atau Mana," selaku setelah mengerti apa yang dimaksud oleh Roux.

Roux mendongak, menatapku. "Benar, Nona."

"Hmm," gumamku panjang. "Aku menjadi khawatir hadiah yang kuberikan ini tidak berguna bagimu, Roux."

Roux menggeleng cepat sepersekian detik diriku selesai mengatakannya, menolak keras apa yang kukatakan.

"Mana mungkin, Nona. Apapun yang Anda berikan adalah sesuatu yang berarti bagi saya."

Aku mengangguk samar.

Kubawa ujung belati yang kugenggam pada pergelangan tangan yang tak terlindungi oleh kain. Kutekan ujung belati itu pada kulit, dan tanpa ragu- CRAT! Terbukalah luka sayatan, belati itu mengenai tepat pada nadiku. Rasa perih dari luka itu menggerayangi tubuhku seketika, kukepalkan tanganku kuat agar lebih banyak lagi darah yang keluar, cairan merah pekat mengalir dengan deras hingga mengotori lantai.

Tanganku terasa semakin kebas, pusingnya kepalaku membuatku hampir kehilangan fokus, mataku teralihkan pada Roux yang terbelalak dengan mata yang merah menyala.

Matanya terpaku melihat darahku yang menetes, rona wajahnya kian memerah merona, napasnya terdengar berat hingga terlihat kepulan napasnya.

Bahkan ketika jantungnya tak lagi berdetak, vampir yang telah meminum darah sampai jantungnya membusuk tidak mungkin melupakan betapa sedapnya darah bagi mereka. Meski raganya tak lagi menginginkan darah, vampir tetaplah vampir. Darah adalah makanan ternikmat bagi mereka.

"Apa yang kau lakukan? Minum."

Roux terlonjak. Dia menatapku dengan matanya yang menampakkan dengan jelas kelaparannya akan cairan merah pekat ini. Rona wajahnya tak bisa ia sembunyikan, napas beratnya tak bisa ia tahan, dan air liurnya menetes kala mulutnya terbuka dengan menunjukkan taringnya. Dia seperti anjing yang begitu menginginkan camilan sedapnya.

THE DEMONIC YOUNGEST DAUGHTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang