CHAPTER 35

5.1K 559 110
                                    

'Semoga aku bisa bertahan di sini tanpa mengamuk.' lah yang kukatakan dalam hati beberapa menit yang lalu, dan hanya dalam beberapa menit itu kesabaranku telah berada di ujung tanduk.

Frederick terus mengoceh bak burung berkicau bising, bicara ini itu soal diriku, bertanya banyak hal; aku merasa sedang diinterogasi olehnya dan aku merasa sangat kesal!

Berbeda dengan perawakannya yang bertubuh tinggi besar dan berwajah dingin, dia begitu banyak bicara. Dia bicara seolah-olah akan mati jika berhenti laksana ikan tuna yang terus berenang dan akan mati jika berhenti berenang. Tak habis-habis topik yang ia bicarakan dan pertanyaan yang ia lontarkan.

Aku merasa telah menemukan kembaran Zagreus. Aku merasa kesal karena secara tidak langsung memiliki hubungan darah dengan orang seperti mereka, bukankah hidupku terlalu terkutuk?

Masuklah kau ke neraka, Libitina! Gara-gara kau aku harus berhadapan dengan mereka!

Aku merasa urat wajahku tegang dan seakan ingin pecah karena menahan kekesalan berlebih, kepalaku terasa memanas, dan dadaku dipenuhi gemuruh untuk menghajar pria di hadapanku.

"Jadi, bagaimana kau mendapatkan mata putih seperti yang kau katakan, Libitina?" dia mulai berani bertanya persoalan pribadi dan memanggil namaku seenaknya.

Dia ini karena terlalu lama berperang makanya otaknya bergeser atau bagaimana? Kelakuannya sangat tidak mencerminkan kelakuan bangsawan kelas atas.

"Takdir."

"Oh, menarik. Apakah kau tidak merasa terganggu dengan penutup mata itu? Kau tak ingin melepasnya?"

"Tidak dan ya."

Dia bergumam panjang. "Rambutmu sangat mirip dengan Marianne, dia entah bagaimana memiliki warna merah di ujung rambutnya, meski tak begitu terlihat." Jari telunjuknya menunjuk langsung ke kepalaku. "Rambutmu panjang pula seperti Marianne. Dia itu dulu sangatlah nakal, namun sejak mendapat Anugerah Dewa, dia merubah penampilannya."

Alisku terangkat, akhirnya tertarik dengan pembicaraan tidak berguna ini. "Anugerah Dewa?" tanyaku singkat.

Kurasa pertanyaan sesederhana itu cukup untuk menarik Frederick membeberkan banyak hal soal itu, dan benar saja.

"Benar, Anugerah Dewa. Kau tahu 'kan, soal orang biasa yang bukan Saintess atau Orang suci mendapatkan kekuatan dari Dewa? Kekuatan yang diberikan pada orang biasa itu disebut Anugerah. Ibumu mendapatkannya tepat di malam pesta kedewasaannya berakhir. Anugerah itu turun kepada ibumu yang merupakan Pengguna sihir. Aneh, bukan?" Frederick menyambar kukis yang tersedia di depan kami. Memakannya, menghentikan pembicaraan di tengah-tengah.

"Yah, yang namanya keajaiban itu bisa datang dalam situasi apapun. Kau tahu apa yang ibumu dapatkan?"

Aku menggeleng. Perasaan antusias dan rasa ingin tahu melonjak begitu saja menggantikan rasa kesal yang hampir membakar habis diriku.

"Ibumu bisa melihat masa depan." Satu kalimat itu menghantamku dengan keras. Pikiranku kosong seketika.

"Dengan Anugerah itu juga keluarga ini bisa sampai pada posisi ini, dengan Anugerah itu juga dia bertemu dengan ayahmu, dengan Anugerah itu dia bisa memiliki wadah untuk menampung Mana dalam tubuhnya yang sebanding dengan penyihir, dan dengan Anugerah itulah aku bisa menemukanmu kemarin. Semua itu berkat Anugerah yang ia terima. Ibumu dalam sekejap menjadi orang yang begitu istimewa di hari kedewasaannya." Frederick mengatakannya dengan sesekali terkekeh dan membayangkan sesuatu yang entah apa.

Pernyataannya menghantam diriku yang sedang mencoba mencerna. Sialan sialan sialan! Aku memang merasakan ada sesuatu dengan Libitina dan Marianne, tapi tidak sampai menjadi 'orang terpilih' Dewa. Bedebah! Itu artinya secara tidak langsung takdir yang menyatu di antara ibu dan anak itu akan berimbas kepadaku.

THE DEMONIC YOUNGEST DAUGHTERWhere stories live. Discover now