CHAPTER 2

19.9K 1.7K 5
                                    

Rambut hitam kebiruan layaknya warna laut yang dalam di malam hari, matanya tajam mengintimidasi dengan warna kuning-oranye bak api, bentuk wajah yang tegas seolah menunjukkan siapakah dirinya di keluarga ini. Merikh Kaltain, Kepala Keluarga sekaligus Penguasa dari setengah benua ini. Ayahku—lebih tepatnya Ayah Libitina.

Sialan, padahal dia punya tujuh anak, tapi apa-apaan wajah menawannya itu?

Beberapa jam setelah keributan tadi, aku diseret oleh penjaga rumah ini ke ruangan yang lebih mirip perpustakaan ini. Ruangan yang luas dengan nuansa coklat kayu dan krem, berlantaikan pualam yang dilapisi oleh karpet berwarna merah darah, ruangan luas yang dipenuhi oleh rak buku berjejer, dan meja kerja serta kursi Kebesarannya di tengah ruangan. Sudah pasti ini adalah ruang kerja Merikh Kaltain.

Orang yang disebut sebagai Ayah Libitina ini sedang duduk santai di kursi kebesarannya sambil membaca buku yang lumayan tebal dengan tenang, sepertinya dia sedang dalam jam bersantainya. Dia bahkan sampai menggulung lengan kemejanya sangking santainya.

Sialan, bahkan sedang santai saja auranya sudah hampir membuatku tercekik ...

"Libitina, apakah kau tahu kesalahanmu?" Tanyanya dengan nada dingin dan mengintimidasiku, dia masih fokus membaca buku yang ada di tangannya itu.

... Ah, mendengar suaranya saja sudah membuatku muak ...

"Mohon maaf sebesar-besarnya, Ayah. Sayangnya saya tidak tahu apa kesalahan saya, bisakah Anda memberitahukannya?" Tanyaku balik dengan sesopan mungkin, aku tersenyum sambil menatapnya waswas.

Perkataanku ini terbilang tak sopan karena terkesan memerintah Kepala Keluarga. Dengan cepat aku bisa merasakan aura membunuh yang langsung menusuk ke relung hatiku, perasaan berat dan takut langsung membludak begitu aura membunuhnya memenuhi ruangan.

Bahkan tanpa melihatnya sekalipun, aku bisa tahu bahwa semua orang merasa tertekan dengan auranya. Tatapan dingin, aura membunuh, dan ekspresi seperti akan membunuhku bisa menandakan bahwa dirinya tak senang dengan perkataanku yang dinilai kurang ajar.

Hanya aura membunuh saja sudah membuatku tercekik hingga tak mampu bernafas dengan benar. Aku tak bisa merasakan kekuatan pada kakiku dan akhirnya tubuhku merosot, tangan kananku memegang leherku yang terasa seperti ada yang mencekik dan tangan kiriku menopang beban tubuhku.

Ini adalah bukti bahwa aku adalah orang yang lemah dan orang di hadapanku adalah orang yang benar-benar kuat, kenyataan yang benar-benar kubenci.

Suara tertutupnya sebuah buku terdengar setelah aura membunuhnya mereda, aku pun bisa bernafas dengan sedikit lega. Aku yakin bahwa wajahku pucat dan banyak keringat dingin seukuran biji jagung bercucuran di keningku.

"Kau menghancurkan kamarmu di pagi-pagi buta lalu memukul pelayan yang memperingatimu dengan vas bunga hingga mengeluarkan darah. Tak cukup dengan memukul pelayan yang tak bersalah, kau pun mengancam mereka. Apakah kelakuan itu adalah sesuatu yang kuajarkan?" Dia menyebutkan deretan kesalahanku yang terdengar seperti hanya menyudutkan diriku saja.

Bahkan jika aku menjelaskan sekalipun, dia tidak akan mendengarnya. Suara Libitina tidaklah penting karena dia adalah sampah.

"Kau mengecewakan, Libitina," Hinanya dengan nada yang dingin.

Libitina... Sepertinya aku mengerti bagaimana takdir memperlakukanmu, hahaha ... Hidupmu benar-benar malang.

Dalam sekejap aku bisa menebak hidup seperti apa yang dijalani oleh Libitina. Hidup penuh penganiayaan setiap harinya. Merasakan kelaparan yang begitu luar biasa, bahkan untuk berdiri saja gemetaran. Siksaan demi siksaan kau alami dan kau tumbuh seperti ini.

THE DEMONIC YOUNGEST DAUGHTERWhere stories live. Discover now