CHAPTER 12

11.2K 1K 15
                                    

Aku terbelalak ketika melihatnya. Tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Diriku menoleh ke Luell yang entah sejak kapan memperhatikan diriku, menunggu reaksi yang dia inginkan dariku.

Aku tertawa canggung. Satu-satunya tawaku setelah bertahun-tahun lamanya. Aku hampir tidak bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Perasaan puas.

Diriku mengambil isi dari kotak itu. Selembar kain hitam panjang dengan sulaman di pinggirnya dan dua tali simpul di ujungnya. Penutup mata dari Benua Timur yang kuanggap mahal dan luar biasa sulit ku dapatkan.

"Zagreus mengatakan kau memerlukan benda ini tapi tidak mampu mendapatkannya. Aku kalah taruhan darinya, dan aku berhutang ini," beber Luell.

Aku bergumam panjang. Meraba kain tipis nan panjang itu. Halus. Mungkin bahannya dari kain sutra paling mahal di benua ini.

Aku menoleh ke arah Luell. "Bagaimana Kakak mendapatnya?"

"Kamu senang?" Dia tidak menatapku melainkan menatap kain yang kupegang.

Aku menutup mata dan mengadahkan kepala. Tersenyum lebar.

"Jangan mengalihkan pembicaraan, Kak." Balasku sambil menatapnya.

Luell mendecih. "Pelelangan di Benua Barat. Mereka banyak menjual hal-hal yang mustahil didapatkan," jelasnya tak menatapku.

"Lalu, apa yang harus kulakukan untuk mengganti kain mahal ini?" Tanyaku.

Luell menghela nafas. Dia hanya menggeleng dan aku pun tidak berkata apa-apa. Apa boleh buat jika dia tidak menginginkan apapun.

"Aku ... " Luell ragu berkata.

Dia menutup matanya rapat-rapat seperti berusaha memantapkan diri untuk mengatakan sesuatu.

"Tidak perlu dipaksakan, Kak." Aku memberi saran.

Luell menggeleng dengan mata tertutupnya. "Tidak. Aku harus mengatakannya."

Beberapa saat kemudian dia membuka mata, tatapannya dipenuhi rasa sesal meskipun dia berusaha menyembunyikannya dengan tidak melihatku.

"Aku hanya merasa bersalah padamu. Aku ingin ... Meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan oleh Ayah dan Nyonya." Suaranya terdengar berat seakan setiap keluar, suara itu membawa berat hatinya Luell.

"Sejujurnya aku ingin bertindak jauh sebelum dirimu mulai diundang kembali ke makan malam bersama. Hanya saja ... "

"Kakak tidak punya cukup bukti," selaku. Luell seketika menatapku dengan manik simpatinya.

Aku hanya tersenyum menanggapi tatapannya.

"Benar." Suaranya bergetar.

"Aku selalu merasa ada yang salah setiap kali mendengarmu dihukum sedemikian rupa. Anak sekecil itu mana mungkin membuat keributan yang membuatnya dihukum dengan berat. Aku ingin mengajukan keberatan, tapi aku pun tidak memiliki bukti bahwa kamu tidak bersalah."

"Setiap aku lewat atau melihatmu, aku selalu prihatin. Kepada keluarga ini, orang-orangnya, dan dirimu. Tapi aku tidak bisa berbuat apapun." Luell benar-benar berusaha keras untuk mengeluarkan seluruh perasaannya dengan suaranya yang berat dan bergetar. Dia seperti akan menangis.

"Emosiku baru benar-benar meledak saat malam itu—malam di mana semua orang makan bersama dalam satu meja. Melihatmu muncul dengan keadaan memprihatinkan, berpakaian lusuh, dan wajah penuh lebam. Apalagi tatapanmu yang seperti mayat hidup." Dia melihatku. Aku terpaku menatap matanya.

Dia menangis.

"Jangan menangis, Kak." Lirihku sambil memeluk lututku.

Aku hampir linglung melihatnya menangis. Aku tidak tahu apa yang dilakukan ketika ada yang menangis. Aku tidak tahu bagaimana diriku harus bereaksi ketika ada yang menangis. Aku tidak tahu bagaimana perasaanku saat ini. Aku tidak tahu. Dalam situasi ini aku banyak tak tahu, dan aku benci ketidaktahuanku.

THE DEMONIC YOUNGEST DAUGHTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang