CHAPTER 8

11.9K 1.2K 48
                                    

"Nona, saya telah menemukan orang yang Anda pinta. Apakah saya harus memanggilnya kemari?" Tanya Tanith setelah kuizinkan masuk ke kamar.

Aku meliriknya dengan ekor mata, kemudian kembali menatap cermin. Terpantul diriku yang berada dalam tubuh baru yang tak pernah kuinginkan, mudah lelah dan bermanik putih layaknya orang buta. Meskipun mata ini sensitif terhadap cahaya, pengelihatannya ternilai lebih tajam dari diriku dulu. Dengan mudah menangkap detail-detail yang sulit ditemukan, membuatku lebih jeli.

"Tidak. Bawa saja dia ke ruang tamu lantai tiga. Semua tamuku akan berada di sana nantinya." Tanith mengangguk singkat lalu pergi meninggalkan ruangan.

"Telah selesai, Nona." Ujar Haemal yang selesai menjahit sedikit gaun tuaku. Dia membawanya kepadaku, aku menerimanya.

Kupakai gaun yang sedikit diubah bagian pinggangnya agar tidak sempit. Gaun biru kusam dengan desain lama, beberapa pitanya terlepas entah kemana. Gaun ini adalah satu-satunya yang layak kupakai untuk menemui tamu, alasannya hanya karena ada beberapa renda yang masih terpasang dengan cantik.

Aku melihat ke arah lemari tua yang berisi gaun-gaun tuaku.

"Buang semua gaun itu, bakar bila perlu." Perintahku sambil menunjuk lemari itu dengan jari telunjuk.

"Baik, Nona."

.

"Oh, Adik bungsu!" Seru Zagreus saat diriku memasuki ruangan.

Ruang tamu lantai tiga yang dapat digunakan oleh siapapun, namun jarang digunakan karena setiap kandidat memiliki ruang tamunya masing-masing, hanya diriku yang tidak; kamarku terlalu sempit.

Total enam orang dipanggil kemari termasuk orang yang dicari oleh Tanith atas perintahku. Pakaian mereka begitu rapi dan terkesan elegan, terutama para wanita yang mengenakan gaun mengembang penuh renda dan permata. Aku bisa mengatakan bahwa mereka adalah para ahli di bidangnya hanya dari penampilannya saja.

"Duduk sebelah sini." Zagreus menepuk tempat kosong di sebelahnya. Aku menurut.

"Seperti yang kalian telah ketahui, ini adik bungsuku, Libitina. Dialah yang memintaku untuk memanggil kalian, jadi urusan kalian di sini adalah dengan Libitina, bukan diriku—"

"Tunggu sebentar, Tuan Zagreus." Seorang pria buncit yang kuasumsikan sebagai Saudagar menginterupsi.

"Apa maksud Anda? Nona—saya bahkan tak tahu apakah Ia pantas disebut nona—inilah yang memiliki urusan dengan kami?" Tangannya bergerak menggambarkan dirinya dan orang-orang di sampingnya.

Zagreus mengangguk tanpa ragu.

"Tak mungkin. Memangnya—" dia menatapku, kemudian kembali menatap Zagreus. "—Memangnya apa yang dimiliki oleh keturunan sampah seperti dirinya? Saya bahkan takkan ragu untuk mengatakan bahwa nona ini," dia menunjukku, "memiliki uang."

Dia mengangkat kedua tangannya. "Saya tak bermaksud menyinggung, akan tetapi saya hanya tak mengerti. Bagaimana—bagaimana nona seperti dirinya mampu nan pantas untuk berurusan dengan kami? Saya yakin dengan segenap hati saya bahwa nona ini bahkan tak mengerti apa itu seni."

Nona ini, nona ini; dia selalu mengatakan itu. Seolah-olah namaku sangatlah tak layak untuk disebutkan. Dia memberi tatapan geli dan jijik setiap melihat ke arahku.

"Anda sebaiknya menjaga perkataan Anda, Saudagar." Aku memotongnya sebelum dirinya ingin berkata lebih lanjut.

Dia tertawa kecil meremehkan. "Wah, nona ini sudah besar ternyata."

Dia mendekat dua langkah, berkacak pinggang, menatap diriku dari bawah sampai atas. Meremehkan dan merendahkan diriku.

"Saya tak bermaksud menyinggung Anda, Nona. Maafkan saya bila perkataan saya membuat hati sensitif Anda terluka. Saya hanya tak mengira seseorang yang bahkan tak lebih kaya dari seorang pengemis dengan berani dan sok berurusan dengan saudagar kaya seperti saya." Dia meminta maaf namun tak menundukkan tatapannya.

THE DEMONIC YOUNGEST DAUGHTERHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin