23 - Tidak Terima ✨

1.7K 306 9
                                    

Nayla menatap lama ke jendela kelas yang menghadap ke area belakang sekolah. Ia merenungkan banyak hal. Apalagi akhir-akhir ini semangat belajarnya menurun lagi sejak kabur dari rumah dan bertemu dengan Agung di toko Mba Ici. Kemalasan dalam belajar itu seperti penyakit akut pada dirinya dan dapat kambuh kapan saja.

Nayla mulai mencorat-coret buku dan tidak memerhatikan penjelasan yang disampaikan oleh guru Bahasa Indonesia, Pak Tama. Sesekali ia menghela napas kasar yang berhasil menarik perhatian Sarah.

"Nay?" Sarah menyenggol Nayla.

"Hm?"

"Pak Tama," bisik Sarah dengan mata yang tertuju ke guru berperawakan tinggi dan berkumis itu. "Na-Nay!" Ia menarik pulpen yang dipakai Nayla. "Bapaknya ke sini!"

Pak Tama kini berdiri tepat di sebelah Sarah, membuat keadaan kelas yang awalnya ramai menjadi hening untuk memerhatikan masalah yang dibuat Nayla kesekian kali dalam sehari.

Nayla menyengir ke arah Pak Tama yang menunjukkan ekspresi kesal. "Ehehe, peace pak!" Ia mengangkat dua jari ke udara.

"Kamu nyatet omongan saya ya Nayla?" Pak Tama melirik pelan-pelan ke buku yang dicoret Nayla. "Saya sangat berusaha untuk berpikir positif bahwa kamu sedang mencatat apa yang saya katakan. Tapi ternyata, bukan. Wah, terharu sekali saya."

Nayla tertawa pahit.

"Gimana kalau kamu saya pindah ke bangku depan aja?" Pak Tama tersenyum semringah. "Hayo gimana?"

Sarah menggeleng ragu ke Pak Tama.

"Hayo gimana teman-teman?" tanya Pak Tama ke seluruh teman kelas.

"Boleh pak boleh," jawab Riko.

"Biar nggak ada lagi yang ditegur guru Pak. Dari kemarin Nayla terus perasaan," celetuk Valro.

Pak Tama kembali menatap Nayla dengan senyum. "Nayla, ayo berdiri!" pintanya pelan sambil menengadahkan tangan dan menaikkannya sebagai isyarat. "Hayu, duduk di depan yuk, biar asik belajarnya."

Untungnya Pak Tama adalah orang yang baik berusaha untuk sesopan mungkin dalam memberikan perintah. Nayla pun terpaksa luluh dalam perintahnya dan membereskan barang-barang tergeletak di meja.

"Nayla duduk di sana!" Pak Tama langsung menunjuk ke arah bangku di saf kedua dan baris kedua dari pintu, tepat di tengah-tengah papan tulis. "Itu yang duduk di sana namanya siapa?"

Calissa menunjuk dirinya dengan ragu. "Sa-saya?"

"Iya, benar sekali, kamu duduk di sebelah dia ya nduk." Pak Tama mengetuk meja Sarah yang semakin was-was tahu bahwa dirinya akan duduk dengan tukang labrak di kelas.

Mau tak mau, Calissa berdiri dan membawa seluruh barangnya ke bangku belakang yang tepat di ujung kelas itu.

Nayla menatap Sarah seolah mereka akan terpisah selama sepuluh tahun lamanya dan dengan ogah-ogahan duduk tepat di samping Clara, si juara kelas yang selalu diikuti Calissa ke manapun.

"Nah gini baru nyaman bapak lihatnya," ujar Pak Tama sembari melangkah kembali ke mejanya, "yuk lanjut! Sampai mana tadi?"

Di belakang, Calissa menatap Nayla penuh rasa dendam sedangkan Sarah mulai merasakan bau-bau yang akan membuatnya terpengaruh oleh teman sebangku barunya itu.

Calissa mengangkat tangan tiba-tiba. "Pak!"

Pak Tama mendongak. "Ya?"

"Saya kalau duduk di sini nggak bisa liat ke papan tulis."

"Lah, kenapa nggak bilang dari tadi?" Pak Tama kini beralih menatap Riko. "Leh, kamu pindah duduk di sana--"

"Saya nggak bisa duduk di ujung kelas depan pak. Mata saya juga nggak tahan cahaya," celetuk Calissa.

Heiyo Nayl! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang