67 - Ingin Membalas ✨

1.1K 254 57
                                    

"Tujuan Nayla memang itu." Nayla tersenyum. "Bukannya bapak ... udah nggak peduli ya?"

"Nayla, udah nggak mau hidup," sambungnya.

"Nayla jangan gitu!"

"Nayla 'kan udah nyaris mati kemarin-kemarin, eh masih diselametin dong. Beban banget bukan? Ya udah, karena Nayla sekarang masih hidup, Nayla mau ngebebanin aja lagi," ujar Nayla dengan nada yang dibuat seceria mungkin. "Nayla minta lagi boleh?"

"Nayla." Marnita terlihat sudah pasrah dengan anak perempuannya itu sedangkan Wartoni merasa semakin menyesal tidak menjaga omongannya.

Bagaimanapun Nayla anaknya, kalimat apapun yang keluar dari mulutnya pasti akan diingat apalagi kalau menyakitkan.

"Tapi janji Nayla nggak bakal ngelakuin hal yang ngebuat diri Nayla kenapa-kenapa. Nayla nggak boleh lagi ngelakuin aksi yang mengancam nyawa," celetuk Mariska yang berdiri di belakang Wartoni.

"Nggak. Nayla nggak mau janji."

Wartoni menampakkan ekspresi kesalnya. "Ya sudah, kamu minta apa?"

"Ya, yang tadi. Nayla mau tinggal sendirian."

"Di mana? Jangan melantur kamu."

"Ngekos."

"Nggak bisa," tolak Wartoni.

"Pak ... dengerin Nayla dulu." Mariska mengelus bahu Wartoni. "Tenang dulu pak, tenang."

"Bukannya apa Nayl, begini, kalau kamu tinggal sendiri yang saya takutkan itu ketika kamu akan mengulangi aksi yang sama untuk menyakiti diri sendiri," ujar Danu setelah cukup lama diam, kali ini dengan bahasa lebih formal.

"Loh, justru karena perlakuan kalian semua yang ngebuat Nayla ngelukain diri sendiri," bantah Nayla, "mama waktu itu Nayla tungguin, Nayla kejar, Nayla cari, tetap nggak mau terima Nayla untuk ikut. Terus bapak juga, Nayla udah berusaha ini-itu, seenggaknya hargai walau sedikit. Pak Danu juga bilang, Nayla itu beban untuk ibu Nayla sendiri. Ah, nggak suka. Giliran udah kayak begini baru pada rebutan. Kalau Nayla tinggal sama kalian lagi, rasanya Nayla kayak balik ke masa-masa itu lagi. Nggak, nggak mau."

"Nayla butuh waktu untuk nenangin diri sendiri. Nayla butuh waktu untuk nemuin diri lagi. Nayla juga butuh waktu untuk ikhlas hidup lagi. Rasanya, kalau balik ke rumah, mungkin aksi kedua bakal Nayla lakuin lagi. Nggak bisa. Pokoknya nggak bisa. Nayla butuh waktu sementara aja sampai baikan. Udah, gitu aja," sambungnya.

Wartoni mengepalkan tangan dan membuang muka.

Marnita pun merespons, "Ya sudah, demi kebaikan kamu mama setuju aja. Kali ini mama bakal siapin kebutuhan kamu."

"Nggak usah," tolak Wartoni, "saya bisa sendiri."

"Nggak bisa, kali ini saya bisa ambil alih Nayla."

"Loh rebutan."

"Nayla, kapanpun kamu siap, kamu bisa ikut mama." Marnita menggenggam tangan Nayla kali ini. "Kamu bisa tinggal sama mama di Singapura dan mulai hidup baru lagi."

Wartoni tampak semakin marah, tetapi masih tetap disadarkan oleh Mariska. "Kamu juga bisa tetap tinggal sama bapak. Bapak bakal belajar dari pengalaman kali ini. Nayla nggak usah takut."

"Menurut saya, sih, lebih baik Nayla coba untuk tinggal sama saya dulu. Kalau balik ke rumah Mas Toni takutnya bakal ngingat kejadian lampau lagi," balas Marnita.

"Saya juga nggak terima anak saya dibawa ke sana. Saya nggak yakin dia bakal lebih aman." Wartoni mulai menyampaikan argumennya. "Walaupun saya terkesan pemaksa dan pengekang, itu semua demi kebaikan Nayla. Saya sekolahkan dia di Smantaraya karena saya tahu Nayla bakal tidak naik kelas, saya mau nikahkan dia dengan Agung ya karena saya tahu bahwa semuanya bila diteruskan bakal berujung kayak begini. Itu semua demi kebaikan kamu Nayl."

Heiyo Nayl! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang